6

Akandra melangkah memasuki klinik sore itu. Hari ini ia praktek bersama Dokter Rita, seorang dokter gigi. Sudah banyak pasien menunggu. Dengan ramah pria itu menyapa mereka satu persatu.

Bekerja disini tidak sama dengan di rumah sakit. Semua serba sederhana. Masyarakat sekitar lebih suka datang kemari karena berobat ke Puskesmas sekarang lebih rumit. Kebanyakan tidak memiliki tanda pengenal di daerah tempat mereka tinggal. Karena sebagian besar adalah  perantau dari daerah yang mengadu nasib di Jakarta.

Kehadiran klinik ini, menjadi solusi terbaik untuk kesehatan  mereka. Bahkan biasanya dari sore sudah banyak yang mengantri. Apalagi jika hari itu ada Dokter Akandra datang. Yang menurut mereka bertangan dingin. Ia menjadi idola bagi masyarakat di daerah tersebut. Bahkan sampai sekarang sudah ada lima orang yang menamai anak mereka dengan nama yang sama. Dengan harapan kelak sang anak bisa menjadi seorang dokter.

Bagi Akandra , sebenarnya ia lebih suka berada ditempat ini. Dimana ia benar-benar merasa dibutuhkan. Kalau di rumah sakit, maka akan ada gengsi bermain disana. Ia mengerti banyak rekannya enggan melakukan hal ini. Karena memang biaya untuk menjadi seorang dokter tidaklah murah. Tapi sekali lagi, suara hati mengalahkan logika seorang Akandra.

***

Suasana malam hari selalu memberikan ketenangan bagi seorang Akandra. Saat dimana ia bersyukur atas kesempatan hidup atas satu hari yang telah berlalu. Selesai mandi pria itu meraih ponsel diatas nakas. Ia tersenyum lebar melihat ada pesan dari Alea. Gadis itu menanyakan keberadaannya. Malas mengetik, akhirnya ia menghubungi langsung.

"Aku sudah sampai di rumah , kamu dimana?"

"Baru pulang dari sebuah ajang pemberian penghargaan, baca nominasi tadi disana. Ini baru sampai di rumah. Sudah pulang dari klinik?"

"Sudah, baru selesai mandi. Kamu sudah makan?"

"Belum, lagi nggak nafsu makan. Dari siang belum makan apa-apa. Enaknya makan apa ya?" Tanya Alea bingung.

"Aku tadi makan gado-gado lontong. Dianterin sama salah satu warga. Enak banget lho."

"Iya, kebayang ada sayur dan tahu tempe goreng."

"Kamu suka bumbu kacang, Lea?"

"Suka banget sih enggak, lebih suka sambal tomat. Aku nggak penggemar makanan manis."

"Kalau begitu kapan-kapan aku buatkan kamu. Banyak yang bilang sambal tomat buatanku segar dan enak."

"Aku nggak butuh nanti, aku butuhnya sekarang." Suara Alea terdengar manja.

"Ya jangan sekarang, ini sudah hampir tengah malam."

"Tapi kalau aku laparnya sekarang, gimana?" rajuk gadis itu.

Akandra diam sejenak.

"Kalau begitu, aku antar atau kamu ambil. Yang penting jangan melewatkan makan malam dengan alasan takut gemuk."

"Kalau aku suruh supir yang ambil, boleh?"

"Kamu mau temen sambalnya apa? Sayur atau ikan?"

"Sayur deh."

"Ya sudah, suruh supir kamu jalan. Aku buatkan sekarang."

Selesai mengucapkan kalimat tersebut, sang dokter memutuskan panggilan telepon. Beranjak menuju dapur, dan memasakkan sesuatu yagn diinginkan Alea. Sejenak ia terpaku, kenapa bisa dengan mudah mengiyakan permintaan gadis itu?

Ada apa dengannya? Ini jelas bukan hubungan biasa antara pasien dengan dokter. Status pertemanan mereka sudah meningkat. Bagaimana kalau ini adalah sebuah kesalahan? Akandra menggelengkan kepala.

Dengan lincah tangan itu meracik sambal tomat dengan menggunakan sedikit cabai. Merebus beberapa jenis sayur dengan teliti agar terlihat tetap hijau. Semua selesai bertepatan dengan kedatangan supir Alea.

Kini ia kembali pada kesendirian. Akandra bertanya pada dirinya sendiri, ada apa dengan perasaannya? Kalaupun cinta itu datang, kenapa harus Alea? Seseorang yang tidak mungkin diraihnya. Mimpi kalau sampai menginginkan gadis itu untuk dibawa ke pelaminan kemudian dijadikan teman hidup.

Tak lama kembali sebuah panggilan video muncul. Ada wajah gadis itu disana sedang menyantap sayuran yang tadi dimasaknya.

"Sambal tomat kamu enak banget. Kamu jago buatnya, beneran lho. Sejak kapan belajar masak?"

"Dulu aku selalu bertugas memasak di rumah, karena tidak ada orang lain dan aku harus makan kalau tidak ingin kelaparan."

"Oh ya? Aku selalu kagum pada orang yang jago di dapur. Apalagi kamu cowok. Aku sendiri paling malas kalau sudah berurusan dengan bumbu. Belum lagi minyak goreng yang sering meletup."

"Mungkin kamu nggak pernah mengalami the power of kepepet. Saat lapar tidak ada makanan. Mau beli diluar nggak punya uang. Jadilah hanya harus mengolah apa yang ada di kulkas." Jawab Akandra sambil tertawa.

"Bisa jadi sih, mami juga nggak suka ke dapur. Mungkin nurun ke aku. Tapi kamu ahli banget, tingkat kematangan sayurnya pas warnanya juga masih bagus."

"Ya sudah dinikmati saja kalau begitu. Yang penting kamu jadi selera makan."

Alea menyantap makan malamnya. Ia terlihat cantik tanpa make up. Akandra menikmati wajah yang terlihat puas setelah selesai makan itu. Kenapa kamu terlalu jauh Alea?

***

"Dok, setelah ini akan ada meeting dengan Ibu Rianty." Kalimat itu disampaikan ketika Akandra baru selesai visit. Ia hanya mengangguk sambil memasuki ruang prakteknya untuk beristirahat sejenak.

Haruskah kembali bertemu dengan ibunya? Ini terlalu menyesakkan buat seorang Akandra. Kenapa sekarang? Saat ia sudah berhasil melupakan masa lalu ? Meski kini ia bisa bertemu dengan kepala tegak. Karena ayahnya sudah menjadikannya sebagai seseorang yang layak untuk ditemui Rianty.

Kembali pria itu terhempas. Ia akan melihat kebahagiaan ibunya. Mata yang berbinar bahagia, kulit halus dan terawat. Outfit yang mampu menggambarkan dengan jelas status sosialnya. Dan semua itu takkan mampu diberikan oleh ayahnya dulu.

Teringat bagaimana mereka melewati hari. Kadang hanya memiliki sedikit kesempatan untuk berbincang. Saat ayahnya ada di rumah, maka ia akan berada di sekolah. Ketika pulang sekolah, mereka memanfaatkan sedikit waktu yang ada. Karena jam enam sore, ayahnya harus bekerja kemudian pulang saat pagi menjelang.

Ia pernah menatap kagum pada teman-temannya yang memiliki orangtua lengkap. Berharap suatu hari ibunya akan datang mencari keberadaannya. Seperti yang pernah dibaca pada majalah-majalah dijaman itu. Tapi kini Akandra menyadari, bahwa mimpi itu tidak mungkin. Karena saat itu ibunya pasti sedang sangat bahagia dengan rumah tangganya. Mana mungkin mengingat mereka?

Itu juga yang membuatnya selalu berhati-hati terhadap lawan jenis. Memilih untuk tidak dekat dengan salah satu dari mereka. Ia takut kecewa seperti ayahnya. Yang seumur hidup tidak pernah bisa memiliki cintanya. Bagaimana bisa? Kalau status mereka terlalu jauh? Tidak mungkin membawa ibunya kedalam kehidupan sederhana mereka.

Selama ini ia berhasil menata hidupnya, sampai beberapa orang mengira ia memiliki penyimpangan seksual. Ia masih suka perempuan. Hanya tidak ingin patah hati seperti ayahnya. Namun saat ini adalah pengecualian. Hatinya berdebar saat melihat Alea. Mendengar nama itu disebutkan sudah bisa membuat dunia sepinya terbalik. Ia tahu ini tidak akan berhasil.

Saat melirik jam tangan, ia tahu sudah waktunya. Segera pria itu beranjak dari kursi menuju ruang meeting di lantai enam. Saat memasuki ruangan, sudah ada Ibu Rianty disana. Seperti biasa dengan senyum teduh khas seorang ibu. Ia menyalami dengan sopan, berbasa basi saling bertanya tentang kabar masing-masing. Setelah itu, Akandra duduk di kursi yang telah tertulis namanya.

***

Yang dokter itu tidak tahu, Rianty merasakan sesuatu yang berbeda ketika menjabat tangannya. Entah kenapa naluri keibuannya terusik saat netra mereka bertemu. Ia tidak pernah mengenal Dokter Akandra sebelumnya. Tapi kenapa ia merasakan sesuatu?

Ini bukan tentang cinta terhadap lawan jenis, Rianty sudah membuang jauh hal tersebut dari kehidupannya. Tidak mungkin jatuh cinta pada pria yang jauh lebih muda, ia bukan tipe  seperti itu. Hanya merasa terbuang ke masa lalu. Seperti mengenal tatapan tajam dari bola mata berwarna hazel tersebut.

Dulu sekali, ia pernah mengenal seseorang dengan netra yang sama. Laki-laki yang pergi setelah meninggalkan noda. Ia tidak ingin mengingat lagi tentang itu. Toh bayi yang dikandungnya selama Sembilan bulan juga ikut pergi. Itu satu-satunya kenangan yang sitinggalkan pria itu.

Seseorang yang ditemuinya pada sebuah pesta dimasa remaja. Laki-laki tampan yang mampu meruntuhkan imannya untuk berbuat terlalu jauh. Ia pernah merasakan dimana cinta begitu dahsyat merubah hidupnya yang datar. Pria itu membawanya kepada dunia yang tidak pernah dipijaknya. Namun seorang DJ bukanlah menantu yang diharapkan oleh keluarga besarnya. Apalagi ia masih terlalu muda. Nama pria itu masih terukir indah didalam lubuk hatinya yang terdalam, Edwin.

"Ibu rianty, bisa kita mulai meetingnya?" sekretarisnya menghentakkan lamunannya.

Ia hanya mengangguk dan kembali menatap seluruh peserta yang hadir. Mata hazel itu juga menatap fokus padanya. Ada detak tak biasa dalam dadanya. Sebisa mungkin perempuan paruh baya itu fokus pada materi yang akan disampaikannya. Mengabaikan konsentrasi yang sebenarnya sudah terpecah sejak tadi. 

***

Happy reading
Maaf untuk typo
1121

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top