5
Alea menatap pintu yang sudah tertutup. Aroma Dokter Akandra masih tertinggal. Ia tahu parfum yang digunakan pria itu sama dengan milik papinya. Maskulin dan sangat menenangkan. Tutur katanya terdengar lembut. Juga tatapan yang sanggup membuat detak jantung Alea meningkat.
Dokter Akandra tidak tampan. Malah terlihat biasa saja, kecuali tinggi badannya yang menjulang. Kulitnya juga cenderung gelap. Mungkin tidak pernah ke salon untuk merawat diri. Padahal menurut Alea, fisik pria itu masih bisa dipoles.
Dokter Akandra. Berkali-kali Alea mengulang nama itu dalam hati. Tadi merupakan pertemuan pertama dimana ia tidak lagi memiliki kesan dingin plus arogan terhadap pria itu. Apalagi mengingat sikapnya pada anak-anak. Pantas ia menjadi salah satu dokter terbaik disini meski masih cukup muda.
Pria itu memiliki kharisma tersendiri yang tidak mungkin ditoak oleh siapapun. Ada kesan humble dalam setiap tuturnya. Seorang pendengar yang baik, malah ada kesan kalau sebenarnya pendiam. Sikapnya sangat sopan terhadap siapapun termasuk perawat yang selalu menemaninya. Bahkan mami Alea sudah jatuh cinta padanya. Sampai pernah bilang,
[Kalau saja Dokter Akandra mau jadi menantu mami. Langsung akan mami setujui.]
Maminya yang sangat jarang memuji laki-laki saja bisa mengatakan itu pada pertemuan ketiga. Bayangkan bagaimana sikap pria itu tidak hanya meluluhkan hati maminya, namun juga Alea! Sayang ia tidak tahu apapun tentang laki-laki itu selain tidak ada cincin dijari manisnya. Untuk bertanya ia masih malu, takut menimbulkan banyak gosip diluar sana.
***
Akhirnya Alea keluar dari rumah sakit seminggu kemudian. Sakit saluran pencernaanya benar-benar parah, ditambah lagi tekanan darah dan kolesterolnya juga bermasalah. Membuatnya harus beristirahat total. Namun rasanya hari-hari tidak terlalu membosankan, apalagi saat Akandra mengunjunginya. Meski statusnya hanya sebagai pasien.
Pria yang selalu muncul dengan tutur kata lembut dan senyum yang teduh. Tidak ada tatapan memuja pada netra pria itu, membuat Alea merasa sedikit kesal. Karena baru kali ini ada pria yang tidak penasaran atau ingin berlama-lama mengobrol dengannya. Semua hanya sekadar pertanyaan tentang penyakit dan sedikit saran. Setelah itu sang dokter akan meninggalkan ruangan, selalu seperti itu.
Sore hari saat Alea baru turun dari lantai lima belas, ia kembali berpapasan dengan sosok Akandra di lobby.
"Hai, sudah syuting?" sapa pria itu.
"Sudah dok, dokter mau visit?"
"Ya, bagaimana kesehatan kamu?"
"Lebih baik sih sekarang. Meski kadang masih lemas."
Dokter Akandra hanya tertawa,
"Jaga stamina ya. Jangan sampai dirawat lagi, kecuali kepingin ketemu terus dengan saya."
"Mau sih ketemu terus, tapi saya jangan tidur di rumah sakit. Mending ketemu sambil makan siang, dok." Alea mencoba memancing.
"Kamu terlalu sibuk, pasti waktunya susah. Nggak pusing lagi?"
"Udah enggak sih, tapi kolesterolnya yang susah banget turun."
"Ya selain memperbaiki pola makan harus rajin olahraga juga. Kalau belum kuat, jalan kaki boleh , yang ringan-ringan saja asal rutin."
"Kadang malas kalau sendirian, aku tuh kepengen ngajak seseorang. Tapi yang disekitarku semua malas olahraga ringan."
"Supaya tidak bosan, kamu kan bisa panggil personal trainer. Atau perlu saya yang ajakin kamu?" ujar Akandra sambil tertawa.
"Dokter serius? Nanti malam ada waktu nggak" kejar Alea.
Kini dokter Akandra menatapnya lekat. Seakan tak percaya pada apa yang ia dengar.
"Saya ada waktu cuma dipagi hari saja, terutama sabtu dan minggu. Mau dihari itu aja?"
"Dokter serius?" Kini giliran Alea yang tak percaya.
"Saya serius, atau mau sekalian sepedaan?"
"Rumah dokter dimana?"
Dokter Akandra menyebutkan alamat yang sebenarnya tidak terlalu jauh dari kediaman gadis itu. Akhirnya keduanya sepakat bertemu diminggu pagi. Setelah sebelumnya mereka bertukar nomor ponsel. Membuat hati Alea berbunga-bunga.
Yang tidak diketahuinya, debar yang jauh lebih kencang ada pada detak jantung Akandra. Ia tidak percaya, bahwa baru saja menerima ajakan Alea.
***
Jadilah minggu pagi itu keduanya berkeliling dengan mengendarai sepeda. Mengenakan pakaian olahraga yang cukup tertutup membuat Alea tidak mudah dikenali. Gadis itu tidak menyangka kalau stamina Dokter Akandra sangat baik. Ia sendiri sudah tiga kali meminta berhenti sementara partnernya belum apa-apa. Meski demikian tidak nampak raut kesal diwajah sang dokter.
"Lain kali nggak usah jauh-jauh, mending di dekat kompleks kamu saja." Nasehat Akandra saat mereka berhenti untuk yang keempat kali.
"Penasaran dok, lihat orang sudah bisa sampai Bogor. Saya kira tadinya bersepeda dijalan datar seperti ini tidak terlalu menguras tenaga, ternyata--"
"Setiap manusia punya stamina berbeda. Apalagi kamu nggak terlalu rajin olahraga dan baru sakit. Kalau sampai bisa Jakarta-Bogor, pasti merupakan hasil latihan yang cukup lama."
"Jadi bagusnya saya harus kayak apa dong, dok."
"Pelan-pelan saja. Nanti juga stamina kamu pulih sendiri. Masih minum susu kan?"
Alea menggeleng.
"Susu baik untuk perempuan, tulang kamu harus kuat dimasa depan."
"Dari kecil saya nggak suka susu. Dulu sering saya kasih ke kucing atau buang dikoleksi kaktus mami, dok. Akhirnya ketahuan waktu kaktus mami mati. Jadi deh saya dimarahi habis-habisan."
Keduanya tertawa lebar. Alea bisa melihat kerut disudut mata dan bibir sang dokter. Kali ini tidak membuatnya ilfil, tapi malah memberikan nilai lebih. Biasanya Alea paling cerewet saat melihat garis diwajah seseorang. Buru-buru menyarankan agar orang tersebut mengunjungi dokter kecantikan langganannya. Tapi entah kenapa ia malah suka ketika garis itu hadir diwajah Akandra.
"Kenapa? kok ngelihatin saya kayak gitu?"
"Nggak sih dok, apa saya nggak mengggangu istirahat dokter hari ini?"
"Saya tidak pernah beristirahat dalam arti bermalas-malasan dihari libur. Mulai minggu siang sampai malam saya akan praktek di beberapa tempat."
"Tumben, ada dokter yang praktek saat weekend?"
"Bukan praktek resmi. Kebetulan saya dan beberapa teman membuka semacam klinik dipemukiman kumuh dan daerah dekat pembuangan sampah akhir. Niat awalnya sih untuk mengamalkan sumpah kami."
"Wow, masih ada ya dokter yang begitu?"
"Banyak kok, karena tidak ada yang memblow up ke media. Jadi nggak ada yang tahu."
"Apa mereka harus membayar?"
"Ya, tapi tidak mahal. Hanya sebagai pengganti obat dan kebersihan klinik saja. Paling mereka bayar 10 sampai 20 ribu saja."
"Apa itu cukup? Maksud saya untuk biaya rutin."
"Saya dan beberapa teman menyisihkan dari penghasilan kami. Kadang juga ada kenalan yang memberikan sumbangan misal dalam bentuk susu dan vitamin. "
"Seru ya, dok."
"Lumayanlah, bukan seru sih sebenarnya. Tapi panggilan jiwa. Karena setiap orang berhak untuk sehat, kan?"
Alea menatap Akandra sambil tersenyum.
"Kapan-kapan saya boleh ikut?"
"Sekalian mau live?"
"Kok negative thinking gitu sih. Enggaklah, saya memang kepingin lihat. Pernah dulu nggak sengaja lihat dokter malam-malam keluar dari daerah seperti itu."
"Oh ya? Bukan karena kamu stalker saya, kan?"
"Ngapain juga stalker orang yang senyum aja susahnya minta ampun."
Akandra hanya mengangguk-angguk sambil menahan senyuman. Membuat mata bening milik Alea tak berhenti menatap dibalik kacamata hitamnya.
"Kita lanjut, dok?"
"Langsung pulang saja. Sudah terlalu siang. Nanti kulit kamu gosong."
Alea hanya bisa menyetujui, meski hati kecilnya merasa enggan. Masih ingin berdekatan dengan Akandra lebih lama lagi. Mendengarkan cerita-cerita tentang hal yang tidak pernah ada dalam pikirannya. Entah kenapa pria sederhana itu justru terlihat menarik dimatanya. Tidak seperti laki-laki yang selama ini ditemui. Pria ini mampu menjaga mata dan tangannya dengan baik. Tidak pernah sekalipun, dengan sengaja menyentuh tubuhnya.
Menyusuri jalanan Jakarta di pagi hari bersama Akandra memberi energi baru untuk Alea. Kadang mereka berdampingan, kadang juga dokter tersebut memimpin di depan. Tak lama mereka tiba di rumah Alea.
"Saya sudah antar kamu dengan selamat. Jangan lupa makan dan istirahat. Terima kasih untuk hari ini."
"Saya yang harus ucapkan terima kasih dok."
"Boleh nggak jangan panggil saya nggak pakai kata, dok. Berasa sedang konsultasi di ruang praktek."
Alea hanya bisa tertawa.
"Ok, mau dipanggil apa?"
"Cukup nama saya saja."
"Kalau begitu jangan pakai kata saya, kayak lagi ngomong sama pasien rasanya."
Akandra tertawa kecil. Kemudian tersenyum.
"Baiklah Alea, aku pamit."
"Silahkan, tapi ingat aku serius tentang mau lihat tempat praktek kamu di daerah kumuh itu."
"Kapan-kapan aku akan ajak kamu. Siapkan stamina saja, karena disana tidak ada pengharum ruangan."
Alea melambaikan tangan diakhir pertemuan mereka. Entah kenapa kaktus koleksi mami jadi terlihat lebih indah dimatanya. Apalagi bunga mawar jenis Roald Dahl dan Boule de Parfum. Semua karena senyum Akandra. Sampai kemudian ia bertanya dalam hati, apakah perasaannya tidak berlebihan?
***
Happy reading
Maaf untuk typo
301220
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top