4

Dari jauh Akandra menatap perempuan yang baru saja genap berusia lima puluh lima tahun itu. Tak menyangka ini adalah pertemuan pertama mereka secara langsung. Ada luka saat melihat betapa bahagia Ibunya saat ini. Mungkin di dalam ruangan hanya dia yang tahu kalau perempuan itu adalah Ibu kandung yang melahirkannya. Mereka memang tidak pernah bertemu secara langsung, karena akses itu selama ini tertutup untuknya. Ia sudah tahu kalau ibu kandungnya menikah dengan pria kaya raya yang setara dengan keluarganya.

Pemandangan di area depan dekat panggung sungguh indah. Sebuah keluarga yang terlihat tengah merasakan bahagia yang sempurna. Akandra tidak pernah membayangkan kalau ibunya akan membeli saham rumah sakit yang menjadi tempatnya bekerja. Tidak tahu mau melakukan apa, perlahan ia mendekati sekumpulan rekan kerjanya. Mencoba pura-pura larut dalam pembicaraan. Lalu ikut antrian untuk bersalaman. Saat tepat berada dihadapan sang, ia mengulurkan tangan.

"Selamat ulang tahun, ibu."

"Terima kasih, bagaimana saya harus memanggil anda?"

"Panggil saya dokter Akandra."

"Oh, baiklah. Senang bertemu dengan anda."

Sebuah percakapan yang sangat standard. Namun sanggup membuat tangannya menjadi sedingin es. Akandra ingin segera keluar dari ruangan. Sayang langkahnya tertahan saat beberapa rekan memanggil namanya untuk berfoto bersama. Tidak enak, ia menurut. Entah siapa yang memanggil, akhirnya ada sosok Alea ikut menemani mereka. dengan posisi Rianti dan aktris itu berada ditengah-tengah mereka. Selesai semua, Akandra benar-benar berlalu. Disini bukan tempatnya.

***

Lelaki itu membiarkan kamarnya diselimuti kegelapan. Sepanjang tiga puluh lima tahun usia, baru kali ini bisa dekat dan bersentuhan langsung. Dulu ayahnya selalu menyembunyikan identitas ibunya. Ia baru tahu saat berusia tujuh belas tahun. Dulu ada sebuah perjanjian, bahwa Ibu Rianti tidak boleh mengetahui keberadaannya. Itu merupakan syarat dari kakek dan nenek pihak ibunya,  saat sang ayah  membawanya pergi. Edwin adalah orang yang selalu memegang janji. Maka ia juga harus begitu.

Dicatatan kelahiran, hanya ada nama ayahnya. Namun dirapot atau surat penting lainnya nama itu tertulis, Marianty S. Dulu ia membayangkan, alangkah senangnya punya ibu. Terutama saat sedang sakit dan ayahnya harus bekerja dimalam hari. Atau sebaliknya, ayahnya sedang sakit dan ia harus merawat sendirian.

Kembali teringat kebersamaan dengan ayahnya. Pada awal pekan mereka akan mencuci pakaian bersama sekaligus membersihkan rumah. Akhir pekan adalah hari tersibuk bagi ayahnya karena harus datang ke tempat bekerja lebih cepat dan pulang lebih lama. Keduanya tidak pernah menyinggung nama sang ibu saat bersama.

Mereka juga kerap belanja mingguan. Disaat itu, Akandra kecil boleh meminta apa saja. Sebuah kenangan yang takkan pernah lekang. Ayahnya mengambil tugas sebagai ibu dan ayah dengan sempurna dimatanya. Sayang kebahagiaan itu harus meredup seiring menurunnya kesehatan Edwin.

Ia tidak percaya kalau Ibu Rianty yang selama ini diperbincangkan di rumah sakit adalah ibunya. Kalaulah tahu, ia memilih untuk tidak berada disana tadi. Banyak alasan yang ia miliki. Masih terbayang bagaimana senyum itu mengembang sempurna. Ibunya sangat cantik diusia senjanya. Ia mengetahui kisah usang itu, namun tak pernah ingin mengenang lebih lama. Bagaimana cinta sepasang remaja beda kasta harus berakhir.

Perlahan Akandra bangkit membuka lemari. Ada beberapa barang pribadi ayahnya yang masih tersimpan rapi. Salah satunya adalah dompet. Dibukanya benda tersebut. Ada foto ibunya disana. Bukan yang asli karena merupakan hasil reproduksi. Karena foto aslinya sudah rusak. Itulah bukti cinta dalam diam ayahnya.

Malam itu, Akandra tidak bisa tidur lagi. Akhirnya ia beranjak menuju dapur dan mengambil minuman berkadar alkohol rendah dari lemari pendingin. Ingin butuh sesuatu untuk menenangkan diri. Masa lalu tidak harus indah untuk dikenang. Pertemuan tadi menggores kembali luka lama yang telah disimpannya. Setelah ini mungkin mereka akan sering bertemu. Dan ia harus menyiapkan diri untuk mengenakan topengnya kembali.

Ini sulit, bersikap profesional disaat hatinya berantakan. Tapi jelas ini bukan yang pertama. Lagipula tidak banyak rapat yang harus diikuti. Jadi sedikit lebih amanlah. Karena memang rumah sakit milik Ibu Rianty adalah yang terbesar.

***

Pagi itu, Akandra bangun dengan terburu-buru. Ia punya beberapa agenda yang harus dikerjakan. Pak Salim yang sudah lama ikut dengannya tengah menyiapkan sarapan.

"Mau berangkat sekarang. Ndra?"

"Ia, pak. Saya harus ke klinik habis itu langsung ke rumah sakit. Ada acara disana. Bapak sudah selesai?"

"Sudah, barusan dibantu sama istrinya Agus. Tinggal bersihkan halaman belakang. Nanti malam mau dimasakkan apa?"

"Sayur bening saja dengan tumis tahu jamur. Jangan lupa sambelnya pak."

"Baik, nanti habis masak bapak langsung pulang ya. Kamu ambil kunci di rumah."

Akandra mengangguk. Pak Salim sudah lama bekerja padanya. Beliau adalah mantan penjaga sekolahnya dulu. Kebetulan bertemu dan ia menawari pekerjaan membersihkan rumah dan halaman. Kadang juga memasak. Paling tidak ia bisa tenang karena rumah selalu terlihat bersih dan rapi. Pak Salim tidak sekuat dulu, karena itu ia dibantu oleh menantunya. Itu menjadi jalan bagi Akandra untuk membantu pria yang sudah berjasa menjadikannya seorang dokter.

***

Memasuki area rumah sakit, ada beberapa papan bunga yang terpampang di beberapa tempat. Ucapan selamat atas dibukanya area bermain untuk anak-anak penderita kanker. Ada beberapa rekannya juga yang hadir. Kelihatannya acara pembukaan sudah selesai. Akandra memang terlambat karena harus menghadiri beberapa acara di luar.

Di lantai dua masih banyak anak-anak yang bermain. Setelah meminta maaf atas keterlambatannya pada Ibu Rianty, Akandra menuju area mewarnai. Disana terlihat beberapa anak yang masih asyik dengan kegiatan mereka. Ia mendekat dan segera mendapat sambutan hangat. Mereka memang sering bertemu.

Dokter Akandra adalah penyuka anak-anak. Ia bisa berbincang lama dengan mereka. Bahkan seorang rekannya pernah berkata, kenapa ia tidak menjadi dokter anak saja? Karena anak kecil akan selalu menuruti apa yang ia katakan. Masih asyik dengan para teman kecilnya saat terdengar beberapa teriakan disudut berbeda yang tadi luput dari perhatiannya.

[Mbak Alea yang pingsan!]

***

Akandra menatap wajah yang tadinya mengeras itu seketika melunak. Mata indahnya terlihat kesal dan bibir merahnya mengerucut  menggemaskan. Pria itu tersenyum dalam hati, disaat seperti ini Alea terlihat bagai anak kecil yang gagal mendapatkan permen. Ia tahu tengah berhadapan dengan siapa. Alea Bratadiredja bukan perempuan sembarangan. Mereka sudah pernah berkonfrontasi, dan jelas dimenangkan oleh perempuan itu. Masih teringat bagaimana Alea berhasil memindahkan lokasi parkir seorang dokter hanya karena Akandra menghalangi mobilnya. Jadi tidak aneh kalau dalam keadaan sakitpun, perempuan manja dihadapannya tidak akan bersedia mengalah.

"Anda mau cepat sembuh atau nanti bolak balik seperti ini terus?" tanya Akandra dengan nada lembut seperti biasa, saat menghadapi pasien-pasiennya.

Wajah didepannya sedikit merengut. Memang benar-benar cantik. Bisik pria itu dalam hati.

"Tapi kan nggak harus selama itu, dok. Saya janji akan sering-sering istirahat."

"Kita lihat saja bagaimana hasil lab besok ya." Entah kenapa hanya kata itu yang bisa diucapkan Akandra setelah merasa sisi kelaki-lakiannya tidak akan pernah menang berdebat dengan perempuan yang tengah berbaring di depannya. Selesai mengucapkan kalimat tersebut ia pamit diiringi oleh perawat yang menemani tadi.

Menyusuri lorong rumah sakit sendirian, membuat Akandra menyadari bahwa ini benar-benar hari minggu. Suasana terlihat sepi dan tidak banyak aktifitas. Sesampai dimobil beberapa kali ponselnya berdenting. Dari Dokter Anton mengirimi beberapa foto saat ulang tahun Ibu Rianty.

Matanya segera tetumbuk pada sebuah foto dimana mereka berdiri sejajar dengan sang pemilik rumah sakit dan Alea. Entah kenapa tangannya merasa gatal untuk mengotak atik foto tersebut. Sehingga tinggal dua wajah yang terlihat jelas.

Selesai semua Akandra kembali berada di jalan raya. Hari ini pria itu menggunakan mobilnya. Karena cuaca Jakarta tengah tidak bersahabat. Entah apa yang terjadi, rasanya ia ingin tersenyum terus menerus. Ada rasa bahagia yang datang entah darimana saat menatap sosok Alea tadi. Membuatnya selalu ingin tersenyum. Kenapa jadi seperti ini?

Ada yang aneh dalam dirinya setelah pertemuan tadi. Awalnya sekedar merasa kasihan saat tubuh putih itu terlihat lemah. Namun hanya dalam beberapa saat kenapa malah menjadi rasa yang lain? Wajah cantik itu seolah mengikutinya. Juga bayangan saat Alea marah-marah di area parkir. Kembali Akandra menggelengkan kepala. Kenapa rasa itu kembali muncul? Alea bukanlah levelnya. Perbedaan mereka terlalu jauh, dan ia takkan mampu melewati semuanya. Ini hanya kekaguman terhadap perempuan cantik Ndra, jangan berharap lebih. Karena itu takkan pernah berhasil.

***

Happy reading

Maaf untuk typo

26 des 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top