3
Dokter Akandra memasuki lift menuju lantai Sembilan untuk melakukan visit seperti biasa. Saat dua orang berlari dari kejauhan melambaikan tangan. Ia segera menahan pintu agar tidak tertutup. Perempuan cantik bersama seseorang yang kelihatannya seperti asisten pribadi. Pria itu hanya membalas ucapan terima kasih dengan senyum ramah. Mungkin keluarga pasien, pikirnya.
Dilantai tiga seorang rekan sejawatnya, Dokter Anton memasuki lift. Wajah pria itu tampak sumringah saat melihat sosok yang ada bersamanya. Perempuan cantik tersebut hanya membalas senyuman sekilas. Seolah melakukan dengan terpaksa dan tidak tulus. Tipe perempuan seperti itu adalah yang paling dihindari oleh seorang Akandra. Anton sendiri akhirnya turun bersamanya di lantai Sembilan.
"Kok Dokter Andra santai banget sih satu lift bareng Alea?" tanya sang rekan saat mereka berdua sudah berada di koridor.
"Alea siapa?" tanyanya heran, merasa tidak mengenal nama itu.
"Itu yang berdiri dekat dokter tadi."
"Oh saya tidak kenal."
"Ya ampun, dokter kemana aja selama ini? Dia itu aktris terkenal. Lagi syuting dilantai lima belas."
Mendengar itu wajah Akandra seketika berubah dingin.
"Oh, ternyata dia yang sedang menjadi bahan pembicaraan disini? Apa tidak ada tempat lain sampai harus syuting di rumah sakit? Seharusnya ruangan bisa digunakan oleh orang lain. Pasien dan staf medis mestinya merasa tenang dirawat dan bekerja disini. Bukan malah ribut karena ada artis yang datang."
Selesai mengatakan itu, ia meninggalkan dokter Anton yang terpaku sendirian. Dokter Akandra memang terkenal sebagai dokter yang dingin. Namun pasiennya jangan ditanya, kalau ia bersedia. Sampai pagipun orang rela antri menunggu.
Anton menyayangkan, karena rekannya tersebut sangat membatasi jumlah pasien. Sampai-sampai pasiennya kadang harus menunggu dua hari. Sementara sang dokter malah sibuk dengan pasien di daerah kumuh pada akhir pekan. Meski disana ia tidak mendapatkan apa-apa.
Dokter Akandra seolah tidak butuh uang. Tapi sepertinya pria itu sudah cukup kaya meski gaya hidupnya tidak mencerminkan hal tersebut. Pria itu juga sangat tertutup tentang kehidupan pribadi. Tidak pernah ada yang diundang ke rumahnya pada hari ulang tahun atapun perayaan keagamaan. Kalaupun banyak yang minta traktir, mereka akan dibawa ke restoran.
Anton menatap tubuh yang segera menghilang memasuki salah satu ruangan VIP. Ia hanya bisa menggeleng kepala, saat melihat seorang laki-laki yang sama sekali tidak bersedia menjual apa yang melekat pada dirinya.
***
Akandra memasuki area parkir khusus dokter. Hari ini kebetulan ia membawa mobil, karena tadi pagi hujan deras. Sementara ia harus visit di tiga rumah sakit hari ini. Meski sebenarnya sangat malas membawa mobil dengan alasan efisiensi waktu. Tapi hari ini adalah pengecualian.
Sayang sebuah mobil mewah sudah terparkir ditempat parkir yang biasa bertuliskan namanya. Sementara tidak ada lagi area kosong didekat situ. Dengan kesal ia mengklakson juru parkir yang datang tergopoh-gopoh sambil membawa payung.
"Ini mobil siapa?"
"Mobil Mbak Alea, Dok. Sedang syuting di lantai lima belas. Tadi katanya cuma sebentar, tapi ini sudah lumayan lama."
"Supirnya kemana?"
"Tadi disupiri manajernya, Dok. Ikut ke atas juga."
Dengan kesal Akandra memarkirkan mobilnya tepat dibelakang mobil Alea. Hanya menyisakan sedikit saja ruang kosong, sehingga mobil artis tersebut tidak akan bisa pindah kemanapun. Setelah itu bergegas ia mengambil payung dan memasuki rumah sakit sekaligus mengabaikan teriakan sang juru parkir.
"Dok, rem tangannya dilepas, kan?"
Akandra mengabaikan pertanyaan itu.
***
Empat jam kemudian, saat hujan reda dengan santai dokter berusia tiga puluh enam tahun tersebut melangkah menuju mobilnya. Disana ada dua orang perempuan yang tengah menunggu dengan wajah marah. Apalagi sosok yang diketahuinya bernama Alea.
"Dok, mesti banget ya anda parkir dibelakang mobil saya? Apa nggak ada tempat lain? Saya sudah menunggu sampai satu jam lebih dan anda datang tidak dengan rasa bersalah?" teriaknya saat Akandra mendekat.
"Justru seharusnya saya yang bertanya, kenapa anda tidak berpikir lebih dulu saat menggunakan parkiran khusus untuk saya? Jangan anda kira wajah anda bisa digunakan untuk melobby segala hal dimanapun. Produser anda mungkin bisa, tapi saya tidak. Anda sudah melanggar aturan, jadi terima konsekuensinya." Selesai mengucapkan itu, Akandra memasuki mobilnya.
Membiarkan Alea yang wajahnya memerah karena marah. Gadis itu tidak mau kalah, ia menggedor jendela mobil pria itu sampai akhirnya terbuka.
"Anda jangan sembarangan menuduh ya. Anda kira anda siapa? Dokter nggak terkenal aja belagu. Anda kira cuma anda yang butuh waktu disini?" teriaknya.
Akandra menatap wajah itu dengan tenang.
"Ada perbedaan kata waktu yang anda maksud. Kalau anda terlambat, paling cuma dapat omelan. Bahkan bisa saja semua orang memaklumi. Tapi kalau saya yang terlambat, nyawa orang lain adalah taruhannya. Sampai disini anda paham?!
Saya percaya anda cukup cerdas untuk memahami kesalahan atas kalimat yang anda ucapkan. Selamat sore!" selesai menutup jendela kembali, Akandra menjalankan mobilnya.
Meninggalkan Alea yang sampai pada puncak kemarahannya. Akhirnya gadis itu menoleh pada manajernya yang hanya diam.
"Lo hubungin Tante Rianti, bilang gue mau ketemu. Biar dokter songong itu tahu siapa gue. Tempat parkirnya bisa aja gue rubah besok pagi."
***
Diakhir pekan, seperti biasa Akandra akan datang ke sebuah area pemukiman pemulung di dekat sebuah pembuangan sampah. Ini merupakan kegiatan rutin yang berlangsung sejak ia menyandang gelar dokter. Sayang hari ini ia datang sangat terlambat. Karena ada beberapa kegiatan. Ditambah lagi hujan deras, membuatnya harus berteduh. Begitu turun dari motor beberapa orang langsung merubungnya.
"Keadaan pak Hamid semakin parah. Bagaimana ya, dok?"
"Apa kemarin perawat yang saya suruh memasang infusnya belum datang?"
"Sudah dok, tapi tubuhnya semakin lemah."
Bergegas ia memasuki salah satu gubuk yang ada disana. Tubuh lelaki renta itu terlihat lemah. Tidak mampu lagi berkata-kata. Namun sorot matanya terlihat lega saat melihat Akandra datang.Sang dokter segera meraba tubuh yang terasa dingin itu.
"Kita bawa ke rumah sakit saja. Apa mobil Pak Sugeng ada?"
"Mereka sedang pulang kampung, Dok." Jawab seseorang yang ada diruangan.
Akandra menyesal tidak membawa mobil tadi. Mencoba mencari taksi online, ternyata tidak dapat. Karena hujan sangat deras. Menunggu beberapa saat, sayang hujan tak juga berhenti. Akhirnya seseorang berkata,
"Bawa pakai motor pengangkut sampah bisa, Dok? Ditutup pakai terpal saja. Yang penting bisa sampai di rumah sakit."
Tidak ada pilihan lain, Akandra mengangguk setuju. Setelah membantu sebagian warga mengangkat tubuh Pak Hamid. Ia mengikuti dari belakang.
***
Kembali memasuki rumah sakit untuk praktek sore itu, Akandra cukup heran saat mengetahui tempat parkirnya berubah. Namun ia tidak sempat memikirkan hal remeh tersebut. Bergegas tubuh bertinggi seratus delapan puluh lima sentimeter itu memasuki ruang prakteknya. Ada banyak pasien yang sudah menunggu. Ia memberi senyum ramah pada mereka semua.
Dua orang perawat menunggu di ruangan. Siap memanggil pasien pertama. Pria itu segera sibuk dengan rutinitas disore hingga malam hari. Pukul sepuluh malam barulah pasien terakhir pulang. Bergegas ia meninggalkan ruangan. Namun langkahnya terhenti saat seorang perawat memanggil namanya.
"Ada apa sus?"
"Ada undangan untuk malam minggu nanti, dok. Dari pihak rumah sakit. Perkenalan dengan Ibu Rianti, pemilik rumah sakit yang baru."
"Terima kasih." Jawab Akandra sambil meneruskan langkahnya. Sekilas ia melihat tanggal, jam dan tempat diadakannya acara. Hanya itu yang ia butuhkan untuk dicatat diagenda.
Acara seperti itu hanya untuk basa basi, namun demi menghormati sang pemilik acara ia akan hadir. Orang kaya memang selalu punya cara untuk menghabiskan uang mereka, pikirnya.
***
Alea memasuki ballroom hotel berbintang lima, tempat Rianti merayakan pesta ulang tahun. Tentu saja ia wajib hadir, karena memang sudah dianggap anak perempuan satu-satunya ditengah keluarga sahabat sang ibu. Seperti biasa, gadis itu menebarkan senyum terbaiknya pada para tamu undangan.
Ketika hendak menemui kedua orangtuanya, langkah perempuan bertinggi seratus tujuh puluh sentimeter itu terhenti. Matanya tertumbuk pada tubuh seorang laki-laki dibalut kemeja batik berwarna dasar hitam. Terlihat berbeda, karena tingginya diatas rata-rata. Dengan rambut yang baru dirapikan. Dokter Akandra!
Senyum pria itu mengembang sempurna saat dengan penuh perhatian menatap lawan bicaranya. Sesekali mengangguk, dan tertawa. Ia kelihatan jauh lebih tampan dibanding saat bertemu dirumah sakit. Mungkin karena gaya berpakaian yang berbeda dengan sehari-hari.
Satu yang menarik perhatiannya, saat melihat dokter itu berinteraksi dengan lawan jenis. Tidak ada tatapan memuja khas player, dan juga gerakan yang berlebihan. Dokter Akandra seolah menjaga jarak dan juga menghindari sentuhan berlebihan. Sesuatu yang sangat jarang ditemuinya dalam kehidupan sehari-hari.
Alea segera menjauh, dan menghampiri meja kedua orangtuanya. Beberapa kenalan langsung menyapa ramah. Kembali ia sibuk dengan para tamu undangan yang sebagian juga dikenalnya.
Sampai kemudian terdengar panggilan MC agar sang empu acara menyampaikan sepatah kata. Penuh senyum bahagia Tante Rianti melangkah penuh percaya diri menuju panggung didampingi suaminya Om Ilham. Senyum lebarnya membuat wajah teduh itu semakin terlihat cantik. Bagi Alea penampilan sahabat ibunya itu sangat sempurna malam ini. Semua orang seolah tersihir dengan kata-katanya.
"Terima kasih atas kehadiran anda semua. Terutama staf dan dokter Rumah Sakit Graha Medika. Sedikit mau bercerita, sebetulnya dulu saya adalah seorang dokter, pernah bertugas juga. Hanya saja semenjak menikah dengan suami saya yang tampan ini. Beliau meminta untuk fokus pada anak-anak dan rumah tangga. Karena memang begitu menikah saya langsung mengandung anak pertama kami.
Ketika itu, saya harus memilih. Dan akhirnya memutuskan bahwa keluarga lebih penting. Saya pikir, setelah anak saya berusia empat tahun, saya bisa kembali bekerja. Ternyata saya salah, Tuhan memberikan kami empat orang anak laki-laki. Yang membuat saya harus terus menerus berada di rumah."
Semua hadirin tertawa, apalagi Tante Rianti mengatakan dengan mimik lucu.
"Setelah mereka mulai besar, giliran suami saya yang kesehatannya mulai menurun. Jadilah saya merawatnya, mencoba melupakan keinginan tersebut. Saya harus menggantungkan keinginan. Namun sampai sekarang mimpi itu terus ada. Beberapa bulan lalu, suami saya mengatakan, kalau ia ingin membeli sebagian besar saham rumah sakit ini. Dan itu adalah hadiah untuk ulang tahun saya yang tetap punya mimpi menjadi dokter."
Kali ini mata itu berkaca-kaca. Om Ilham segera memeluk bahu tante dengan erat. Kemesraan mereka membuat seluruh hadirin tersenyum. Sambutan itu masih berlanjut.
"Saya tahu, bahwa saya tidak akan pernah menjadi dokter yang sesungguhnya. Tapi menjadi bagian dalam sebuah rumah sakit adalah mimpi saya. Karena itu malam ini secara khusus saya mau mengucapkan terimah kasih pada suami saya."
Tepat saat itu tak sengaja mata Alea melirik Dokter Akandra. Wajah pria itu seolah terpaku namun terlalu datar. Tidak ada senyum atau kebahagiaan disana. Baru kali ini Alea tidak bisa menilai raut apa yang tengah diperlihatkannya. Sesekali sang dokter menggigit bibirnya, sampai kemudian sebuah helaan nafas panjang terlihat jelas. Ada sesuatu yang mengganggunya?
Alea tidak lagi bisa fokus menatap keatas panggung. Ia malah mencuri pandang pada dokter tersebut dari samping. Memperhatikan gerakan tubuhnya yang seolah mengatakan tidak nyaman berada disana. Bahkan ketika acara masih panjang, sosok pria itu terlihat meninggalkan ruangan dengan terburu-buru. Sayang kemudian salah seorang rekannya memanggil dan meminta bergabung bersama Tante Rianti. Ternyata mereka hendak foto bersama. Dokter Akandra kembali, meski terlihat jelas berusaha bersikap biasa saja.
Ia kemudian mengambil posisi paling pinggir sambil memberikan senyum terpaksa. Alea yang berdiri tak jauh dari mereka tiba-tiba dipanggil untuk bergabung. Ia menurut kemudian berdiri tepat disebelah sahabat ibunya tersebut. Selesai semua, dokter itu meninggalkan ruangan setelah menyalami sang pemilik baru rumah sakit. Ada sesuatu yang disembunyikan nya.
***
Minggu pagi dihabiskan Alea dengan bermalasan di rumah. Setelah seminggu terakhir disibukkan dengan banyak kegiatan. Gadis itu mengambil beberapa buku yang hendak dibaca. Ia merasa bahwa ini adalah waktu yang tepat untuk melakukan hobbynya.
Sayang, belum lagi beberapa lembar terbaca, pintu kamarnya sudah diketuk.
"Alea, temenin mami ke rumah sakit yuk."
"Siapa yang sakit, mi?"
"Bukan membesuk orang sakit. Ada acara untuk anak-anak penderita kanker. Dipusatkan di rumah sakit milik Rianti. Mereka pasti senang kalau kamu datang."
"Sebenarnya sih aku senang, mi. Tapi sepanjang hari aku sudah disana buat syuting. Masak hari ini kesitu lagi."
"Anggap ini ladang pahala buat kamu. Menyenangkan anak-anak yang sedang menderita."
Akhirnya gadis itu mengangguk. Meski tubuhnya sangat lelah. Rasanya memang membutuhkan istirahat lebih. Selesai memoles wajah, Alea mengganti pakaian yang lebih casual. Memilih mengenakan celana jeans dan kemeja besar berwarna putih. Cukuplah seperti ini kalau hanya untuk menghadiri acara seperti itu.
Sesampai di rumah sakit, acara ternyata dipusatkan disebuah ruangan dilantai dua. Tante Rianti membuat keputusan yang sangat humanis. Ada sebuah ruangan besar yang akan digunakan sebagai tempat untuk para pasien bermain.
Tempat itu dicat berwarna warni layaknya sebuah taman kanak-kanak. Ada banyak buku dan aneka permainan untuk membuat pasien merasa senyaman mungkin. Seketika hatinya terenyuh saat melihat sekelompok anak-anak dengan penutup kepala memanggil namanya sambil berteriak.
Meski dalam kehidupan sehari-hari ia bukanlah seorang yang ramah. Namun melihat mereka membuatnya terenyuh. Ia segera bergabung, menerima banyak permintaan untuk berfoto. Membacakan buku cerita, juga ikut beberapa permainan.
Sampai kemudian Alea kembali melihat sosok dokter Akandra hadir. Pria itu langsung menuju meja mewarnai dan duduk disana. Memangku seorang anak dan membiarkan yang lain mengelilingi. Beberapa dari mereka bergantian menaiki punggungnya. Tidak tampak ada kesenjangan. Meski Alea tahu bahwa Akandra bukanlah dokter yang menangani mereka. namun interaksi itu menandakan bahwa ia mengenal para pasien dengan baik.
Entah karena ruangan terlalu penuh, atau memang kondisi tubuhnya yang kurang fit, tiba-tiba Alea merasa pusing. Ia segera meletakkan buku yang baru selesai dibaca dan mencoba berdiri. Dengan maksud turun dan beristirahat di mobil. Namun ruangan terasa berputar sampai kemudian ia tidak ingat apa-apa lagi.
Saat membuka mata, mami dan Tante Rianti ada didekatnya. Mencoba menatap sekeliling, barulah gadis itu menyadari kalau ternyata dia ada di ruang rawat inap.
"Kamu sudah sadar?" tanya sang mami.
Alea hanya mengangguk pelan.
"Maafin mami ya, tadi memaksa kamu untuk ikut."
"Nggak apa-apa, mi. Sudah lumayan lama aku nggak fit."
"Untung tadi ada dokter Akandra. Biasanya kan jarang ada dokter spesialis yang masuk kalau minggu begini."
"Dia bilang aku kenapa?"
"Untuk sementara cuma kecapekan, tapi besok akan ada beberapa test untuk kepastian."
Gadis itu hanya mengangguk, kemudian ibunya pamit mengantarkan Tante Rianti keluar. Tak lama terdengar pintu diketuk, sosok Dokter Akandra masuk bersama seorang perawat. Wajah itu kembali terlihat dingin, meski masih ada senyum yang sangat dipaksakan.
"Bagaimana? Sudah sadar?"
"Sudah dok, sampai kapan saya harus istirahat?"
"Kita lihat perkembangan kamu. Kalau semua stabil ya cepat."
"Apa dokter nggak bisa memastikan?"
"Saya akan tunggu hasil lab besok."
"Saya harus bekerja, dok. Syuting nggak bisa ditinggal."
"Kalau saya bilang kamu harus beristirahat satu minggu, bagaimana?"
"Masak sih harus selama itu? Ini cuma kurang istirahat saja. Saya tidur sampai besok juga akan sembuh. Kenapa harus ditahan disini?!"
"Kalau begitu rasanya kamu tidak butuh dokter, karena mampu mendiagnosa diri kamu sendiri. Dengar Nona Alea, kalau kamu tidak bisa mengasihani tubuhmu, berpikirlah. Bahwa seluruh organ tubuhmu sudah bekerja sejak kamu lahir. Tidak ada yang berhenti sejenak sampai sekarang. Apa kamu tidak kasihan pada mereka yang sudah bekerja keras untuk menopang seluruh kegiatanmu? Biarkan mereka bekerja dengan santai sejenak saat kamu beristirahat. Paling tidak, berterima kasihlah pada mereka dengan cara itu."
Kalimat yang disampaikan dengan lembut oleh Akandra, sukses membuat Alea yang keras kepala terdiam.
***
Happy reading
Maaf untuk typo
191220
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top