18

Novel ini sudah bisa dinikmati dalam versi ebook ya. Yang penasaran silahkan meluncur ke playstore.

Di wattpad akan tetap saya lanjutkan. Tapi, versi lengkap tetap di ebook ya....♥️♥️♥️

***

Keluar dari ruangan, Akandra berusaha bersikap biasa saja. Memberi senyuman pada petugas cleaning survice dan beberapa rekan medis yang berpapasan dengannya. Seolah semua baik-baik saja menuju ruang praktek. Mencabut namanya dari pintu dan memasuki ruangan tersebut. Mengambil beberapa barang pribadinya yang masih tertinggal di dalam.

Tempat ini tidak membutuhkannya, sama seperti ibunya yang tidak pernah menginginkannya. Seorang perawat memasuki ruangan. Wajahnya tampak sedih.

"Hai.." Sapa Akandra.

Perawat bernama Yuli itu menangis.

"Dok--"

"Jangan menagis, saya baik-baik saja."

"Tapi saya yakin dokter tidak melakukan itu. Saya bisa menjadi saksi."

Pria itu tersenyum, "Saya tidak tahu kebenarannya, Yul. Tapi untuk saat ini pergi adalah yang terbaik. Sehat terus ya."

"Dokter pindah kemana?"

"Jangan lupa saya masih bekerja di dua rumah sakit lain. Dimana juga sama saja kok." Ucap pria itu sambil bangkit berdiri. Membawa beberapa barang pribadinya dalam sebuah karton.

Tidak ada yang tahu, kalau ia juga berniat mengundurkan diri dari kedua rumah sakit lainnya. Karena mendapat tekanan yang cukup hebat. Ia kehilangan cukup banyak pasien. Begitu mudah semua berubah. Ia tidak punya pekerjaan sekarang selain diklinik. Beruntung masih ada tabungan.

***

Akandra menunggu Alea di luar lokasi syuting. Sudah cukup lama mereka tidak bertemu. Kali ini ia ingin berbicara sebelum mengambil langkah selanjutnya. Kehidupannya kacau kariernya hancur entahlah sepertinya disengaja. Semenjak keluar dari rumah sakit milik Ibu Rianty, banyak pasiennya yang pindah ke dokter lain. Seolah ada yang ingin menjatuhkan reputasinya.

Ponselnya berdenting, pesan dari Ratry masuk.

[Alea baru keluar, dia akan langsung ke mobil anda, Dok.]

Benar, tak lama kekasihnya sudah membuka pintu dan masuk. Wajahnya tertutup make up cukup tebal. Namun matanya jelas terlihat kelabu.

"Hai, apa kabar?" tanya Akandra.

"Baik, kenapa minta ketemuan?"

"Kangen aja, nggak boleh?"

Mau tidak mau, Alea tersenyum, meski tipis.

"Bagaimana keadaan kamu? Maksudku keadaan rumah dan orangtua kamu."

"Seperti yang kamu lihat, aku masih beraktifitas seperti biasa, tidak ada perubahan."

"Syukurlah, aku senang kalau melihat kamu baik-baik saja. Masih harus syuting lagi?"

"Ya, tapi aku lagi istirahat makan siang."

"Sudah makan? Pasti belum."

"Lagi nggak nafsu makan."

"Ya harus dipaksa, nanti kamu sakit. Aku nggak bisa ngobatin."

Keduanya kembali terdiam dan menatap jalanan dikejauhan.

"Sorry, kemarin- kemarin aku nggak menghubungi."

"Nggak apa-apa, kamu pasti sibuk. Aku maklum kok."

"Kamu lagi free?"

"Ya." Jawab Akandra dengan mata menerawang. Alea mungkin tidak tahu kalau ia hampir pengangguran sekarang. Pria itu menelan salivanya.

"Aku mau ngomong sesuatu, apa kamu masih ada waktu?"

Alea mengangguk cepat.

"Apa aku masih punya kesempatan untuk memperjuangkan kamu."

Gadis disampingnya mengalihkan pandangan, kemudian meremas kuat tisyu yang ada ditangannya. Kalimat Yng diucapkan dengan pelan dan nada penuh harap itu mengguncang perasaannya. Mata itu kembali basah dan tangisannya semakin keras. Akandra merasa bahwa kesempatannya sudah habis. Pria itu menggigit bibirnya, sambil berusaha mengucapkan seesuatu sebagai salam perpisahan.

"Tidak usah dijawab, aku tahu apa yang ada didalam pikiran kamu. Memang berat kalau harus memilih. Dan aku tidak ingin kamu—"

"Bukan begitu, ini akan sangat menyakitkan."

"Aku akan mendengar."

Tangisan Alea semakin keras, namun Akandra tahu ia tidak lagi berhak memeluk tubuh itu. Karena itu justru akan menyakitkan mereka berdua.

"Aku tidak bisa kehilangan orangtuaku, Ndra. Aku bisa kehilangan seluruh dunia, tapi bukan restu dan cinta mereka. aku sayang kamu—"

Akhirnya ia mendengar juga kalimat itu. Pada awalnya Akandra berharap kalau Alea akan mengatakan sesuatu yang sebaliknya. Memberikan sebuah harapan disaat ia sendiri bingung menghadapi kehidupannya. Namun semua hanya mimpi. Alea tidak memilihnya seperti dulu yang pernah dijanjikan. Semua harus diakhiri sekarang.

"Terima kasih sudah mau jujur, dan terima kasih karena kamu sudah bersedia menemaniku selama ini. Jangan lupa makan dan jaga kesehatan. Jangan merasa bersalah, karena ini adalah perjalanan takdir. Aku tidak ingin kamu menjadi anak yang tidak menghormati orangtua."

Alea masih menatapnya sekilas sebelum akhirnya benar-benar keluar dari mobil. Setengah berlari menuju mobilnya sendiri yang terparkir tidak jauh dari situ. Kembali Akandra menjalankan mobilnya dengan penuh rasa bersalah. Tidak ada lagi yang tersisa semua sudah selesai. Membelah keramaian Jakarta tanpa tujuan. Akhirnya pria itu berhenti disebuah taman.membuka kembali ponselnya. Meneliti setiap nama yang ada. Dan akhirnya menekan salah satu nama dan segera menghubungi orang tersebut.

***

Rasanya hari itu berjalan dengan sangat lambat. Ale masih ada. Meski akhirnya menyadari kalau usahanya sia-sia. Beruntung, adegan yang harus diperankan hari ini adalah tentang kesedihan, yang mewajibkannya menangis terus menerus. Jadilah ia bisa melakukan hal itu tanpa dicurigai banyak orang.

Sesampai di rumah, kedua orangtuanya ada diruang tengah.

"Baru pulang?" sapa mami.

"Iya, Mi." Balasnya sambil tersenyum.

"Kok mata kamu bengkak?"

"Adegannya menguras airmata dan cukup lama tadi. Aku keatas dulu ya, mau mandi dulu." ucapnya sambil mencium pipi ayahnya seperti biasa. Alea berusaha keras agar semua terlihat kembali seperti semula. Seolah tidak ada apapun yang terjadi. Cukup ia dan Akandra yang merasa sakit. Dan itu sudah lebih dari cukup.

Kedua orangtuanya mengangguk. Perlahan gadis itu melangkah dengan gontai ke lantai dua. Ia sedang ingin sendiri, rasanya belum puas menangis tadi. Ia masih mengenang tatapan Akandra saat di mobil. Entah kenapa hati kecilnya berkata, mata itu menyiratkan tentang sebuah perpisahan.

Meletakkan tas di atas sofa, kembali dibukanya ponsel. Mencoba mencari nomor Akandra disana. Masih aktif! Ia bisa bernafas lega. Setiap hari saat senggang ia akan memeriksa nomor pria itu. Namun sama sekali tidak berani menghubungi atau bertanya. Takut kalau ia akan mengkhianati keputusannya. Ditatapnya foto pria yang masih menghiasi galerynya.

[Kenapa seberat ini, Ndra. Kenapa sesulit ini melupakan kamu? Aku capek menangis di kamar mandi. Aku ingin seperti dulu. Kamu baik, kamu tidak punya kesalahan apapun. Salahkan aku yang tidak mampu memenangkan kamu dalam pertarungan hatiku. Aku seperti berada ditengah jurang. Dimana ada kamu dan papi disetiap sisinya.

Kemanapun pilihanku, aku tetap akan jatuh kedalamnya. Aku lelah seperti ini, Ndra. Aku tidak punya keberanian untuk melukai orangtuaku sekaligus tidak sanggup melihat kamu terluka. Salahkan aku, Ndra. Aku akan tetap mengenang kamu. Aku berjanji tidak akan ada yang pernah menggantikan kamu. Kamu satu-satunya orang yang mengenalkanku pada dunia lain yang tidak pernah kusentuh.

Pada kamu yang selalu tulus menolong orang disekitar tanpa menjadikan mereka sebagai beban. Pada kamu yang tidak pernah takut pada situasi apapun dan berani menghadapi apapun dengan kejujuran. Aku tidak akan sekuat kamu. Aku terlalu lemah, bahkan untuk meraih mimpiku sendiri. Aku capek menangis, Ndra. Bener-bener capek.

***

Akandra duduk dihadapan Pak Salim. Menatap pria tua yang Sudah seperti pengganti ayahnya.

"Pak, saya mau bicara sesuatu."

"Ada apa?"

"Saya menerima tawaran seorang teman untuk bekerja disebuah rumah sakit yang baru dibangun di Kepulauan Mentawai. Mereka sedang membutuhkan saya."

Pak Salim menatapnya tak percaya.

"Apa harus sejauh itu? Kamu kan masih bisa bekerja di dua rumah sakit lain? Pikirkan juga pasienmu diklinik. Mereka akan sangat kehilangan. Kalau kamu sabar, semua pasti akan kembali seperti semula."

"Yang diklinik sudah jalan, pak. Banyak teman-teman yang bisa bekerja disana. Di rumah sakit juga akan banyak dokter pengganti. Tapi di pedalaman, akan sulit menemukan dokter yang mau bertugas."

"Apa ini karena Alea?"

Akandra tersenyum miris,

"Sebagian, ternyata saya tidak sekuat yang saya pikirkan. Tapi intinya, menjadi dokter di daerah terpencil adalah mimpi saya dari dulu. Sebenarnya sudah ditawarkan sejak beberapa tahun yang lalu. Tapi saya belum bisa meninggalkan pekerjaan disini. Sekarang semua sudah berjalan dengan baik, Pak."

"Apa rumah ini akan kamu jual?"

"Enggaklah, rumah ini adalah kenangan bersama papa. Saya malah sudah susah payah membeli kembali kemarin. Kalau bapak tidak kuat membersihkan, bisa minta bantuan anak dan menantu bapak.

"Kamu mau bapak ikut? Bapak bisa menemani kamu disana supaya tidak kesepian. Disini juga bapak tidak punya pekerjaan lagi."

"Bapak yakin? Saya akan sangat senang. Tapi perjalanan kesana tidak mudah. Harus melewati laut. Dan belum tentu anak bapak mengijinkan"

"Tidak apa-apa. Seumur hidup bapak belum pernah naik kapal dan pesawat. Siapa tahu sekarang waktunya? Kalau nanti saya tidak betah, kan bisa pulang."

"Terima kasih pak, semoga Lilis dan Agus, anak dan menantu bapak mau membantu saya mengurus rumah ini. Dan memberi ijin bapak untuk ikut saya."

***

Happy reading

Maaf untuk typo

190221

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top