10
Akandra baru saja memasukkan mobil ke garasi saat Pak Salim membuka pintu.
"Lho, bapak belum pulang?"
"Belum, itu di rumah sana ada keluarga menantu bapak yang sedang menginap. Jadi bapak minta ijin menginap disini."
"Oh nggak apa-apa. Malah bagus saya jadi ada yang nemenin."
Kadang kalau Akandra keluar kota, Pak Salim memang menginap disini. Baginya itu sudah biasa. Hubungan yang terjalin sejak pria itu masih kecil, membuat mereka sudah seperti sebuah keluarga. Memasuki ruang makan, Pak Salim yang mengikuti dari belakang segera berkata.
"Tadi sore ada yang kirim makanan lewat kurir." Ucap pria tua itu sambil menunjukkan sebuah wadah makanan yang masih terbungkus.
Akandra segera membuka, dan tersenyum saat melihat sebuah kartu bertuliskan
[Selamat makan, ini bukan masakanku. Tapi masakan eyang. Aku tidak ahli di dapur. Tapi percaya deh, ini pepes jamur terenak sedunia.
Alea]
"Makan yuk pak, enak nih." Ajak pria itu pada Pak Salim. Segera keduanya duduk di meja makan.
"Mau bapak ambilkan nasi?"
"Nggak usah, takut kekenyangan."
Keduanya menikmati makanan kiriman Alea tersebut. Selesai makan, pria itu segera masuk kekamar dan menghubungi sang gadis.
"Halo Alea, terima kasih, makanannya enak banget."
"Sama-sama, sudah dimakan?"
"Sudah habis malah. Tadinya aku rencana makan sama daun pisangnya sekalian. Untung disadarkan Pak Salim, kalau daun pisang nggak bisa dimakan."
Kalimat itu terdengar sangat serius sebenarnya, dan diucapkan dengan nada lembut khas seorang Akandra. Namun tak urung membuat Alea tertawa diujung sana.
"Sudah tengah malam, kok masih bercanda sih?"
"Lho, memang enak banget. Tapi kamu tahu nggak apa yang bikin tambah enak."
"Apa?"
"Karena aku makannya sambil bayangin kamu."
Tawa Alea semakin keras,
"Kamu tuh dokter atau komedian sih?"
"Kalau di rumah sakit aku dokter penyakit dalam, tapi kalau di rumah aku akan jadi dokter buat hati kamu, supaya kamu ketawa terus."
Keduanya tertawa bersama. Pria itu sendiri tidak habis pikir, kenapa ia bisa mengatakan hal tersebut. Padahal dulu joke kampungan seperti tadi hanya diucapkan di kantin sekolah. Ketika hidupnya belum mengenal apa itu sengsara. Saat papanya masih hidup dan masih punya waktu untuk menjadi kapten basket disekolahnya.
"Ndra, aku minta maaf ya tentang yang waktu itu." panggilan Alea menyadarkannya.
"Nggak apa-apa, aku juga salah. Seharusnya aku ngomong langsung saja ke kamu kan lebih baik. Sorry sejak kecil aku hidup bersama papa. Ibuku tidak tinggal bersama kami. Jadi pola pikirku benar-benar logis. Tidak suka bertanya tentang hal-hal remeh, juga tidak pernah peduli pada media sosial milik orang lain. Dan satu lagi, nggak suka ditanya-tanyai tentang sesuatu yang buat aku bukan masalah."
Lama keduanya terdiam.
"Tapi aku senang, artinya kamu peduli pada kehidupan pribadiku. Kamu jaga kesehatan ya, jangan bekerja terlalu keras. Nggak suka aja melihat kamu sakit." Ucap pria itu akhirnya.
"Kan ada kamu, yang akan ngobatin. Sorry bercanda. Kamu juga, jangan ngurusin orang terus, takutnya nanti malah kamu yang sakit."
"Kita sudah jadian nih?" tanya Akandra dengan suara lebih pelan lagi.
"Menurut kamu?"
"Kalau aku bilang sih sudah, sorry aku bukan pria romantis. Mungkin para kekasih kamu dulu adalah pria yang punya waktu dan tempat yang khusus untuk mengatakan cinta. Sementara aku malah lewat telepon. Aku menyebalkan ya, karena sibuk mengobati orang lain, malah nggak punya waktu banyak buat kamu."
"Kamu romantis kok, dengan cara kamu sendiri. Lagian sepanjang orang lain yang kamu sebutkan tadi adalah pasien aku nggak masalah. Tapi kalau tentang perempuan lain, aku akan marah. Aku mau jadi satu-satunya."
"Kamu jangan takut, aku akan pegang kata-kataku. Jangan terlalu dekat juga dengan laki-laki lain. Aku akan cemburu."
"Aku janji, kamu sudah mau istirahat?"
"Belum sih, masih mau memeriksa stok obat. Supaya besok bisa belanja."
"Oh iya lupa, kamu kan jadi volunteer juga ya. Aku boleh bantu nggak?"
"Boleh banget, mau dalam bentuk apa?"
"Kalian butuhnya apa? Yang urgent maksudku."
Akandra berpikir sejenak, baru kemudian berkata.
"Bidan Rita butuh beberapa alat untuk memeriksa ibu hamil dan bayi. Kalau kamu mau nanti aku hubungi dia."
"Boleh, kabarin aku ya."
"Ok, kamu tidur sekarang, jangan lupa mimpiin aku, dengan senang hati lho aku akan datang ke mimpi kamu."
Alea kembali tertawa lebar.
"Pede amat kamu? Mana bisa kamu atur mimpi aku."
"Bisa, yakin aja sama aku. Ya sudah aku tutup ya. Selamat malam pacar."
"Malam juga. Awas jangan tidur malam-malam atau menelepon perempuan lain.
Kamu tenang aja, aku itu pria baik-baik dan paling setia nomor dua. Karena nomor satunya sudah meninggal."
Alea kembali tertawa. Akhirnya Akandra memutuskan sambungan. Sama sekali tidak menyangka kalau saat ini ia tidak bisa menghindar dari pesona Alea. Setelah sekian lama sanggup menjalani hidup sendirian. Berkali-kali ia menggumamkan nama itu dalam hati. Tidak bisa menghindar dari kemanjaannya. Apakah benar ini saatnya?
Seumur hidup, ia tidak pernah membiarkan pesona perempuan mengganggu tidurnya. Bukan apa-apa kenangan akan kehidupan dimasa lalu membuatnya enggan menjalani sebuah hubungan. Takut kalau kelak mengalami nasib seperti ayahnya. Tapi saat melihat Alea yang terbaring lemah di rumah sakit membuat keheningan hatinya terusik. Ia ingin melindungi gadis itu. Rela mengorbankan saat istirahatnya untuk menanyakan kabar Alea.
Akandra tidak bisa memprediksi seperti apa hubungan ini kedepannya. Masih terlalu jauh untuk berpikir tentang hal tersebut. Atau memang ia sudah lelah sendiri dan iri menatap teman-temannya sudah punya pasangan dan menggandeng tangan anak mereka. Bisa saja semua berhenti ditengah jalan. Ia tidak ingin berharap banyak, namun tetap akan memperjuangkan kebahagiaannya.
Ditatapnya wajah Alea dalam bingkai kaca diatas tempat tidur. Senyum itu bisa membuatnya bahagia saat memulai hari. Dan menjadi mimpi indah saat menutup hari. Tidak ingin larut dalam pikiran, akhirnya ia memilih mengerjakan pekerjaan yang terbengkalai.
***
Baru saja pasien terakhir di klinik pulang. Saatnya kembali beres-beres. Bidan Rita dan beberapa perawat sibuk membersihkan ruangan. Ia sendiri meneliti tanggal tanggal kadaluarsa beberapa jenis obat bersama seorang perawat bernama Dwi. Tak lama Bidan Rita ikut nimbrung.
"Dok, Bilang terima kasih ya sama temennya, buat timbangan bayi dan alat lainnya. Merk bagus lho itu, pasti mahal."
"Ia, bu. Nanti saya sampaikan sama orangnya."
"Oh Iya dok, kemarin artis yang namanya Alea itu dirawat di rumah sakit tempat dokter praktek ya." Tanya Dwi.
"Iya, kebetulan dokternya saya. Kenapa?"
"Waduh, tahu begitu tadinya mau minta foto dok."
"Diinternet kan banyak."
"Maunya yang langsung sama dokter, kan bangga kalau ada dokter kenalan saya yang foto sama artis. Dia sakit lambung ya katanya dok. Sekarang kok banyak ya yang sakit itu?"
"Ya bisa saja, pola makan, stress, kurang tidur. Kan penyebabnya banyak."
"Iya sih, secara Alea itu kan artis tenar. Sinetron dan iklannya banyak banget. Mungkin kurang istirahat kali ya dok."
"Bisa jadi sih."
"Saya fans beratnya lho, dok. Suka lihat dia yang kelihatannya nggak sombong. Pakaiannnya juga sopan, katanya anak orang kaya ya."
"Kalau itu saya kurang tahu, tidak pernah nonton sinetron."
"Sayang sekali dok, padahal orangnya cantik banget. Cara ngomongnya juga nggak dibuat-buat. Saya yakin pasti dokter akan jatuh cinta kalau lihat acting dia. Ini saya menyimpan fotonya." Jelas Suster Dwi sambil mengeluarkan ponselnya memperlihatkan salah satu foto Alea.
Akandra hanya mengangguk-angguk pura-pura tertarik.
"Iya, cantik banget. Waktu di rumah sakit juga kelihatan cantiknya."
"Ah pokoknya kalau suatu saat nanti dia dirawat lagi, saya mau ikut dokter. Foto sebentar juga boleh. Supaya bisa saya bagikan ke teman-teman. Saya benar-benar fans garis kerasnya dok."
"Jangan doakan orang sakit dong Dwi. Kasihan dia nanti." Ia mencoba memperingakan rekan satu timnya itu. Ia lebih suka melihat Alea sehat. Meski ketika perempuan itu sakit mereka dengan mudah bisa bertemu.
***
14 jan 2021
Happy reading
Maaf untuk typo.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top