1
Ini adalah pengganti Ettore. Dengan konsep yang sebenarnya sama. Selamat menikmati...
***
1995
Pagi itu seluruh sekolah dikejutkan dengan meninggalnya Ibu Eneng, istri dari Pak Salim, penjaga sekolah. Perempuan yang sudah lama terbaring sakit namun tak kunjung sembuh. Akandra menatap tubuh yang terbujur kaku dari pintu. Pak Salim terlihat menangis tanpa suara. Juga kedua putra putri mereka yang duduk disisi jenazah.
Seingatnya Bu Eneng adalah perempuan yang rajin. Ia menjadi saksi, saat sakitpun masih membersihkan seluruh kelas yang sudah kosong. Sementara Pak Salim akan menyapu halaman dan membersihkan kamar mandi. Lalu sekarang, siapa yang akan membantu? Anak mereka masih kecil-kecil. Tubuh Akandra malah lebih besar daripada mereka.
Setiap siang saat papa belum menjemputnya, Akandra akan bermain di bawah pohon. Ia selalu mendapat suguhan segelas teh, kadang juga diajak ikut makan siang. Bukan makanan mewah, tak jarang hanya telur dadar yang digoreng menjadi sangat tipis agar cukup untuk mereka semua. Terasa nikmat saat bisa makan sambil bercanda.
Sampai kemudian, ada beberapa teman yang melarangnya memasuki rumah Pak Salim. Kata mereka Bu Eneng menderita TBC, nanti menular dan tidak bisa sembuh. Ia juga mendengar kalau ada sekelompok orangtua siswa yang meminta keluarga itu diberhentikan.
Pernah Pak Salim diberhentikan, namun tak lama kembali diminta bekerja. Karena penggantinya tidak mampu membersihkan lingkungan sekolah sebersih ysng dilakukannya. Halaman dan kelas terlihat masih kotor saat pagi. Akhirnya mereka kembali dengan syarat Bu Eneng tidak boleh keluar dari rumah.
Akandra pernah menguping dari balik pintu, saat petugas kebersihan itu meminjam uang pada kepala sekolah. Permintaannya ditolak mentah-mentah dengan alasan tidak ada dana untuk Pak Salim. Karena hutangnya pada pihak sekolah sudah menumpuk.
Kembali ditatapnya tubuh kaku itu. Ia adalah saksi saat Pak Salim menarik nafas dalam karena terlalu letih bekerja. Harus mengurus istri yang sakit sekaligus menjalankan tugasnya. Kadang Akandra ikut membantu, sambil bekerja penjaga sekolahnya itu bercerita kalau biaya berobat itu mahal sekali. Berharap agar ia rajin sekolah supaya bisa mengobati orang miskin seperti Pak Salim.
Sampai pada suatu hari ia berkata, bahwa kelak akan menjadi dokter. Dan pada saat itu ia akan mengobati Bu Eneng secara gratis. Pria itu hanya tertawa dan segera mengaminkan cita-citanya.
***
"Kenapa tidak mau makan?" tanya Edwin sang ayah pada Akandra malam harinya.
"Aku mau jadi dokter, supaya nanti bisa mengobati orang yang tidak punya uang."
"Itu bagus, papa akan dukung kamu. Tapi ingat untuk menjadi dokter kamu harus pintar. Supaya nanti tidak salah dalam mengobati orang dan memberi obat. Kamu juga harus lebih rajin belajar jangan cuma main game sepanjang hari. Mulailah ikut les pelajaran dari sekarang."
"Apa papa punya uang untuk membayar lesku nanti?"
Pria itu tertawa kecil.
"Papa akan berusaha cari uang supaya kamu bisa mencapai cita-citamu. Jangan lupa kalau nanti sudah jadi dokter obati papa ya."
Akandra kecil mengangguk penuh semangat. Sementara sang ayah hanya menatap putra tunggalnya penuh haru. Ia tahu tidak akan mudah mewujudkan mimpi itu. Tapi ia akan selalu berusaha. Sebagai orangtua tunggal sekaligus seorang DJ disebuah diskotik. Sangat sulit membagi waktu untuk menemani Akandra belajar.
Saat menjelang malam, Edwin harus bekerja. Akandra dititipkan pada tetangga sebelah yang merupakan suami istri tua, mantan pensiunan tentara. Ia akan pulang saat hari sudah menjelang pagi. Sengaja tidak tidur lagi supaya bisa memasak sarapan dan membereskan rumah. Beruntung sekarang putranya sudah mulai besar. Jadi bisa membantu membersihkan rumah.
Sebagai orangtua tunggal Edwin sedikit mengalami kesulitan. Dulu ketika Akandra masih bayi, ia mempekerjakan seseorang untuk menjaga, sementara ia pergi bekerja. Kehidupan mereka memang tidak mudah. Akandra lahir dari sebuah hubungan yang tidak direstui orangtua kekasihnya. Ia harus membawa Akandra pergi jauh begitu sang kekasih melahirkan. Itulah perjanjian mereka. Tapi masih bersyukur, karena bisa memiliki putranya.
Edwin mengingat masa-masa sulit itu, ia tidak pernah mengurus bayi. Saat itu, beruntung ibunya membantu mengurus bayi Akandra. Entah kenapa bisa bertahan sampai sekarang. Bahkan putranya tumbuh dengan sehat meski tidak pernah mengenal ibunya. Sulit memposisikan diri menjadi ayah sekaligus ibu dengan pekerjaannya sekarang. Tapi mau bagaimana lagi? Kadang ia bangun kesorean untuk menjemput Akandra pulang sekolah.
Sekarang putranya sudah bisa pergi dan pulang sendiri. Ia tidak akan pernah lupa jasa keluarga Pak Salim. Saat pria itu dan istrinya tetap mengawasi putranya ketika belum dijemput. Beberapa kali ia membantu keluarga tersebut. Meski bukan jumlah yang banyak, karena ia sendiri harus berhemat. Sebagai laki-laki ia tahu bagaimana rasanya kehilangan pasangan hidup. Bahkan sampai saat inipun Edwin tidak pernah sembuh dari patah hatinya.
***
Perjalanan menjadi dokter itu tidak mudah bagi seorang Akandra. Edwin meninggal saat ia masih kuliah semester empat karena kanker usus. Beruntung uang asuransi pendidikannya keluar tepat waktu. Ia harus mencari uang tambahan sebagai guru privat disela kesibukan kuliah. Karena tidak ingin mengambil tabungan untuk sesuatu yang tidak penting.
Ia sudah berjanji pada ayahnya untuk tidak berharap pada siapapun, termasuk ibu kandungnya yang sangat kaya namun tidak pernah mengenalnya. Akandra mengalami malam tidak bisa tidur karena harus mengerjakan tugas dari kampus. Di siang hari ia tidak punya waktu banyak, karena tempat mengajarnya cukup jauh. Ia juga tidak pernah bisa bergabung bersama teman-temannya untuk sekedar duduk di cafe menghabiskan waktu. Karena itu berarti harus mengeluarkan uang yang cukup besar. Makanan disana lumayan mahal. Kebanyakan temannya sesama mahasiswa kedokteran memang anak orang kaya.
Bukan tidak tahu kalau ia menjadi bahan pembicaraan kala itu. Disaat mereka selalu mengendarai mobil ke kampus. Ia harus puas berangkat dengan bis. Kadang ada rasa rendah diri dan malu. Tapi tekadnya sudah kuat, ia harus bisa menggapai cita-citanya. Agar bisa membuat papanya bangga ditempat yang abadi.
Menyelesaikan Sarjana Kedokteran tepat waktu, Akandra segera menjalani Program Profesi Dokter di sebuah rumah sakit pemerintah. Disanalah ia belajar menangani ratusan kasus langsung. Selesai masa dua tahun ia mengikuti Ujian Kompetensi Dokter. Sampai akhirnya resmi menyandang gelar dokter didepan namanya.
Selesai mengikrarkan sumpah sebagai dokter, sendirian ia menuju makam sang ayah. Ada tangis sedih sekaligus bahagia. Sedih karena papanya tidak sempat melihat keberhasilannya. Hari yang terus diingat sepanjang hidup Akandra. Bahwa sendirian itu ternyata menyakitkan. Saat tidak ada teman yang bisa diajak berbagi bahagia bersama.
Merayakan keberhasilannya sore itu hanya dengan membeli mie goreng favoritnya bersama sang ayah saat masih hidup. Sambil menatap sekeliling rumah yang sebentar lagi harus ditinggalkan karena mengikuti program PTT. Beruntung ia bertemu kembali dengan Pak Salim yang bersedia tinggal di rumahnya untuk membantu bersih-bersih bersama anak bungsunya.
Selesai menjalani seluruh jenjang pendidikan, akhirnya ia berhasil pulang ke Jakarta dan membuka praktek sendiri. Selain juga bekerja di beberapa rumah sakit swasta. Di rumahnya, setiap hari sabtu dan minggu pasien dari kalangan bawah selalu datang berobat. meski kadang dibayar ala kadarnya ia sudah merasa senang. Apalagi saat melihat pasien yang ditanganinya bisa sembuh.
Atas dorongan terus menerus seorang professor yang sejak dulu membimbingnya, Akandra menempuh pendidikan untuk menjadi dokter spesialis. Kali ini ia memilih penyakit dalam. Bukan hal mudah, karena biaya pendidikan yang harus dibayar cukup besar. Dengan berat hati ia menjual rumah yang merupakan peninggalan papanya. Itu adalah satu-satunya jalan untuk meraih mimpinya. Beruntung, tak lama setelah meraih gelar spesialis, rumah itu kembali dijual oleh pemiliknya. Sehingga Akandra bisa memiliki kenangan itu kembali.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top