Bab 8

Dini

Galuh berjalan di samping kanan, menutupi pandangan dari pria yang bisa melihatnya sejak ia membuka pintu mobil.

“Langsung naik ke kamar. Kunci pintu, jangan di buka, kecuali aku!” perintah Galuh membawanya segera menuju pintu. Langkah cepat keduanya tak membuat pria yang ia benci mengurungkan niatnya.

“Dini, bisa bicara sebentar.” Dini tak mengurangi kecepatan langkahnya, ia masih terus berjalan berusahan untuk menghindari Bagas. “Please. Setidaknya aku berhak memiliki kesempatan untuk menjelaskan semuanya.”

“Jangan dekati dia lagi, Gas!” ancam Galuh menyembunyikan tubuhnya di balik tubuh lebar pria yang terlihat menahan marah.

“Aku hanya ingin minta maaf, Mas. Setelah itu aku enggak akan ganggu dia lagi. Kamu tahu aku berhak untuk didengar.” Bagas berusaha untuk melewati tubuh Galuh, tapi kakak sepupunya tersebut dengan sigap membuatnya jauh dari jangkaukan mantan tunangannya tersebut.

“Pergi ke kamarmu, Dek!” perintah Galuh bersamaan dengan teriakan Bagas mengundang banyak mata.

“Aku berhak untuk menjelaskan, dan kamu tahu itu, Din!”

Mendengar permintaan itu membuat kakinya berhenti. Bahkan perintah Galuh untuk terus berjalan pun tak ia indahkan. Masih dengan marah yang terasa memenuhi hati, ia memutar badan, dan berhadapan dengan pria yang pernah ada di dalam doanya setiap saat.

“Berhak. Serius?” tanya Dini dengan nada mencemooh. “Kamu mau ngomongin hak sama aku?!” katanya tak memedulikan saat ini berada di tengah lobi hotel. “Kamu kehilangan hak waktu ngilang enggak ada kabar, dan kembali hanya untuk mengatakan kamu sudah menikah dengannya. Perempuan yang selama ini kamu katakan sahabat kecilmu.” Ia mengacungkan jari telunjuk ke arah Bagas yang terlihat menahan marah, tapi Dini tak memedulikan, karena ia tahu Galuh berada di belakangnya.

“Dan kamu kehilangan hak ketika dengan sadar menampar pipiku. Kamu kehilangan hak untuk semuanya!” Dini membalik badan dan meraih lengan Galuh. “Satu lagi,” katanya menghentikan langkah. “Jangan pernah nyari aku setiap kali aku berada di sini. Aku tahu kamu bakalan dengan mudah mencari informasi tentangku, tapi bukan berarti kamu boleh mencariku!”

Galuh tak memberinya kesempatan untuk kembali berhenti, pria yang masih terlihat marah itu hampir menyeretnya untuk meinggalkan Bagas. Napasnya memburu dan saat ini air mata kembali menetes membasahi pipinya.

“Sudah dibilangin, enggak usah ngomong sama celeng itu!” bentak Galuh ketika keduanya sudah berada di dalam kamar Dini.

“Aku harus telepon Bram, biar masmu yang ngurusi celeng itu. Kalau perlu, kita datangi rumah keluarganya.” Galuh masih terlihat marah padanya, karena pria yang saat ini mengeluarkan ponsel tak melihat ke arahnya sejak ia melanggar perintahnya.

“Maaf, Mas,” katanya pelan. “Aku enggak mau selalu merasa takut dan diawasi setiap kali datang ke Bali. Aku ngerti Mas Gal pengen ngelindungi aku, tapi ada sesuatu yang harus dilakukan sendiri. Ngomong sama dia, itu urusanku. Meski Mas Gal dan Mas Bram enggak bakalan setuju.”

“Ya iyalah!” jawab Galuh. “Bram, celeng itu nunggu di lobi waktu kita berdua baru balik dari proyek.” Dini mengerang ketika mengetahui Galuh sudah menghubungi kakaknya. Ia tak ingin mendengar isi pembicaraan mereka berdua, karena Dini bisa menduga setelah ini ponselnya tak akan berhenti berdering.

Mengunci diri di dalam kamar mandi menjadi pilihannya setelah menulis pesan untuk Galuh yang masih sibuk menjawab pertanyaan Bram di atas secarik kertas. Badannya terasa lelah, tapi saat ini hatinya terasa lebih lelah setelah bertemu dengan Bagas.

“Aku sayang sama kamu, Din. Enggak ada satu perempuan yang bisa membuatku bahagia, kecuali kamu. Senyum kamu. Kebaikan hatimu. Dukunganmu selama ini, dan semua hal tentangmu adalah sesuatu yang aku cari selama ini. Menikah denganku, Din. Kita bisa membangun kehidupan kita berdua di mana pun kamu mau. Aku akan membantumu untuk wujudkan semua mimpi-mimpi kamu.”

Dini mengusap kasar wajahnya ketika ingatan tentang janji yang Bagas ucapkan ketika memintanya di depan kedua orang tuanya beberapa bulan sebelum menghilang. Perasaan dibodohi membuatnya semakin marah, dan Bagas tak membuat semuanya menjadi mudah dengan muncul di depannya setiap kali ia berada di Bali.

“Maaf, Yang. Dia hamil, dan aku harus bertanggung jawab.” Alasan yang Bagas berikan setelah hampir tiga bulan menghilang darinya kembali teringat. “Kamu harus tahu, aku tidak mencintainya, tapi—”

Lamunannya buyar ketika mendengar ketukan dari balik pintu kamar mandi. “Dek, aku balik kamar! Bram nunggu telepon kamu. Jangan lupa telepon, kalau enggak dia bakalan muncul di depan pintu kamar kamu besok pagi.”

Dini hanya berteriak iya, sebelum kembali ke bawah guyuran air hangat membawa semua lelahnya pergi. Ia tak ingin menelepon kakaknya atau siapa pun, tapi itu bukan pilihan. Selama ini Bram selalu melindunginya, tapi sejak kejadian Bagas, terkadang perlindungan yang kakak lelakinya berikan terkadang berlebihan.

“Siapa yang berani bilang kalau Dini anak pungut!” teriak Bram ke arah tiga orang anak laki-laki yang terlihat takut dan menahan tangis. “Sekali lagi aku dengar kalian ngejek Dini, aku datangi kamar kalian satu per satu. Aku sunat kalian sampai habis!”

Dini selalu mengingat ancaman Bram ketika suatu hari ia pulang ke rumah dalam keadaan menangis. Sejak hari itu, ia tak pernah menceritakan pada kakaknya meski terkadang masih mendapat ejekan dari beberapa teman mainnya.

Setelah mengganti baju dan nyaman di balik selimut, Dini menghubungi Bram yang menjawab teleponnya seketika.

“Kenapa enggak nurut Galuh, Dek!” Suara tajam Bram yang menolak memanggil Galuh dengan sebutan Mas. “Aku sudah bilang kalau kamu enggak boleh ngomong sama dia lagi. Kita enggak pernah tahu emosi Bagas seperti apa.”

Dini menghela napas mendengarkan omelan kakaknya. Ia tahu pria yang saat ini pasti ingin terbang ke Bali karena sayang padanya, tapi terkadang rasa itu menyekiknya. Menahannya untuk bisa menyelesaikan masalahnya sendiri.

“Kamu enggak berhutang apa-apa sama Bagas, kita sudah selesaikan urusan kalian dengan keluarganya.”

“Mas!” katanya menghentikan rentetan omelan Bram. “Aku ngerti itu. Tapi coba ngertiin aku juga. Bagas itu masalahku yang belum selesai, meski semua orang selalu mengatakan sudah menyelesaikannya bersama keluarga dia.”

“Tapi, Dek—”

“Aku harus menyelesaikan ini sendiri untuk aku, bukan untuk Mas Bram, Papa, ataupun Mama. Aku harus selesaikan ini, ngerti enggak, sih!” bentaknya menyela apa pun yang akan Bram ucapkan. “Aku tahu semua orang menyayangiku, dan enggak mau kejadian itu terulang kembali. Tapi ini peperanganku, Mas. Semua orang sudah melakukan bagiannya, tinggal aku yang belum. Dan malam ini, aku mendapatkan kesempatan itu.”

Keduanya terdiam, hanya napas keduanya mengisi ruang dengar yang terpisah jarak. “Aku enggak mau kejadian itu terulang kembali, Dek. Kamu tahu marah yang hingga saat ini mungkin belum sepenuhnya hilang setiap kali nama Bagas muncul ke permukaan. Aku sayang kamu, sejak Mama dan Papa membawamu ke rumah. Aku menjagamu dengan penuh kasih sayang dan dia datang bersiap untuk membawamu pergi. Tapi yang paling membuatku marah adalah dia dengan sadar menamparmu.”

Dini mengerti dengan kemarahan yang semua orang rasakan. Terlebih lagi Bram yang selama ini selalu menjadi penjaga dan pelindungnya. Namun, selama ini ia merasa semua orang terlalu menjaganya dan tak mengijinkannya untuk menyelesaikan masalahnya sendiri.

Malam ini, ada kepuasan di hati ketika mengatakan semua yang harus ia katakan pada Bagas. Ia tidak takut pria itu akan menampar atau memukulnya. Ia bukan Andini yang lemah dan hanya diam saja seperti waktu itu. Masih segar dalam ingatannya kejadian itu, ia terlalu terkejut hingga hanya bisa diam tanpa kata, walaupun Bagas segera meminta maaf padanya.

Malam itu, Bagas menemuinya setelah menghilang dan segera menjelaskan tentang dirinya dan perempuan yang selama ini selalu ada di antara mereka berdua. Emosi yang memuncak membuat keduanya tak bisa menahan diri, Dini meraih kemeja Bagas dan menariknya hingga tubuh pria tu terhuyung karena tak siap menghadapi kemarahannya. Cercaan dan teriakan Dini membuat Bagas menampar pipinya, dan setelah malam itu pria yang menyematkan cincin di jari manisnya tidak diterima di dalam rumahnya.

“Mas, aku sayang kamu. Sampai kapan pun rasa sayang itu enggak bakalan hilang. Kamu yang pernah bilang, family is not always by blood. It is by heart.

Sesuai janji ... DH masih update sampai masa close PO. Teman-teman masih bisa baca 😁
Happy reading
😘😘😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top