Bab 6

Anisa

Anisa memandang perempuan yang berdiri di depan meja kasir sekali lagi, ketika pandangan mereka bertemu untuk sesaat sebelum keluar dari toko. Ia mengerutkan kening ketika sekali lagi mendapati pandangan itu tertuju padanya. Anisa mengedikkan pundak dan duduk menanti kedatangan Andy. Namun, hingga beberapa saat, ia masih tak bisa menghapus bayangan perempuan itu. Anisa mencoba untuk menggali ingatannya, mencari sosok berambut lurus sepundak tersebut. Namun, hingga beberapa saat, ia masih tak bisa menemukannya.

“Ini toko kamu?” Suara lembut membuyarkan lamunan itu berasal dari pria yang beberapa jam lalu mendominasi isi kepalanya. “Sorry, aku udah salam, tapi kayaknya kamu lagi mikir sampai enggak dengar.”

Pipinya pasti bersemu merah karena kedapatan melamun, dan ia harus memalingkan wajah menyembunyikannya. “Mau minum apa, Mas?” tanya Anisa menyembunyikam kegugupannya.

“Yang enggak ngrepoti aja, An,” jawab Andy membuatnya terdiam. Hanya Andy yang memanggilnya An, disaat semua orang selalu memanggilnya Nis.

Ia kembali memasuki toko dan mengambilkan dia kaleng kopi sebelum bertemu pandang dengan gadis di balik mesin kasir mengedipkan mata.

“Pacar Mbak Anisa, ya?” tanpa menjawabnya, ia berjalan kembali. Semua orang yang mengenalnya pasti tahu, tidak ada pria dalam hidupnya, kecuali ayahnya,

“Om dan Tante apa kabar, Mas?” tanyanya setelah meletakkan minum. “Mereka sehat?” Malam yang

“Alhamdulillah, sehat semua. Ibu apa kabar, An. Tadi lupa mau tanya.” Tidak semua orang tahu tentang kepergian ibunya. Kedua orang tuanya memutuskan untuk pindah ke Surabaya ketika ibunya didiagnosa kanker payudara.

“Ibu meninggal sepuluh tahun lalu,” jawabnya. “Waktu itu kita pindah ke Surabaya karena memudahkan Ibu mendapatkan perawatan, Mas.” Anisa tersenyum lembut mengingat ibunya. Ia tahu Andy pun merasa kehilangan, karena saat keduanya masih tinggal bersebelahan, kedua ibu mereka menjadi dekat. Seperti halnya mereka berdua saat itu.

Raut sedih terlihat jelas di wajah Andy yang mengucap doa untuk ibunya. “Jadi agak nyesel kenapa enggak berusaha untuk nyari tahu. Setiap kali tanya Mama selalu dijawab bukan urusanku.”

Dini menggeleng dan tersenyum. “Buat apa nyesel, enggak ada gunanya. Kita emang harus terpisah dan ketemu lagi saat ini.” Pikirannya kembali ke masa ketika pertama kali mendengar tentang penyakit ibunya. “Kepindahan kita bertiga memang terasa cepat. Seolah semua jalan menuju ke Surabaya terbuka lebar setelah dokter mengatakan tentang penyakit Ibu.”

Anisa menolak untuk menatap Andy. Ia menengadah melihat jajaran bintang, mencari penghiburan dari semua sedih yang terkadang membuatnya sulit untuk berjalan. Kehilangan dua orang yang berharga terkadang membuatnya sulit untuk mempercayai sebuah kebahagiaan.

“Kamu sudah menemukan ….” Ia tersentak dari lamunannya. “Sorry,” ucap Andy yang terlihat segan.

Selain kedua orang tuanya, Andy adalah satu-satunya teman yang mengetahui tentang janjinya selama ini.

“Enggak masalah, Mas. Makasih udah tanya,” kata Anisa yang berhasil menguasai diri. “Kamu adalah satu-satunya orang yang menanyakan hal itu.” Anis terdiam sesaat. “Aku tahu kalau Ayah juga mikirin dia. Tapi selama ini, Ayah enggak pernah menanyakan hal itu padaku.” Ia mengedikkan pundak dan berusaha untuk meringankan suasana antara mereka.

“Udah, ah! Cukup tentang cerita sedihku. Ceritakan tentang dokter Andy Wijanarko,” pintanya. “Udah punya istri, belum? Kalau belum, ada berapa pacarnya? Kalau belum juga, kenapa enggak punya pacar?” pertanyaan demi pertanyaan ia ajukan pada pria yang sesaat lalu terlihat prihatin padanya. Namun, setelah rentetan pertanyaannya, senyum yang selalu membuat jantungnya berulah kini kembali terlihat.

“Pertanyaanmu, An. Mulai kapan jadi petugas sensus!”

“Jawab aja!” perintahnya. “Aku kan penasaran.”

Jarak yang terbentang di antara mereka berdua tak membuat mereka merasa jauh. Persahabatan yang terjalin sejak Andy menempati bangunan tepat di samping rumahnya, membuat keduanya selalu berangkat dan pulang bersama hampir setiap hari. Andy bersikap layaknya pria selalu melindunginya, menganggapnya adik yang tak pernah dimilikinya. Sedangkan Anisa harus menahan rasa yang timbul sejak pertama kali mendapat perhatian Andy.

“Istri … belum,” jawabnya. “Pacar … juga belum.”

“Lha kok melas, Mas” ejek Anisa yang mendapat tendangan di kaki kursinya. “Bener, kan. Kurang apa, coba? Ganteng, calon dokter spesialis, baik hati,” pujinya yang membuat Andy tertawa terbahak-bahak. “Jangan jangan ….” Anisa menyipitkan kedua mata dan mengusap dagu.

“Enak aja! Aku masih doyan perempuan, An!” hardik Andy membuatnya tak bisa menahan tawa. “Kalau kamu mau tahu, hari Minggu besok, Mama mau kenalin aku sama anak salah satu temannya.” Anisa terdiam tanpa kata mendengarnya, karena ada rasa sedih yang tiba-tiba muncul mengisi hatinya.

Saat Andy tidak ada dalam kehidupannya, ia tak pernah memiliki rasa tertarik pada seseorang sebesar yang dirasakannya saat ini. Namun, semenjak pertemuan mereka beberapa jam lalu, Anisa kembali merasakan apa yang tersimpan dalam hati selama ini.

“Dijodohin?” tanyanya pelan dengan penuh tanda tanya. Namun, ketika melihat gelengan kepala Andy, hatinya kembali melonjak. “Kalau enggak dijodohin terus apa?”

Andy menghabiskan isi kaleng minumannya sebelum menatapnya lembut. “Selama ini, Mama selalu memintaku untuk berkenalan dengan anak temannya atau Papa. Tapi selama ini aku selalu menolaknya.” Anisa mendengarkan cerita tanpa menyela. “Tapi ada sesuatu yang membuatku enggak bisa menolak keinginan Mama untuk hari Minggu besok.”

“Apa yang membuatmu enggak bisa nolak, Mas?” tanyanya penasaran. Ia berharap mendengar keraguan atau bahkan sebuah pengakuan tentang rasa yang tersimpan di hati Andy untuk dirinya selama ini. Namun, semua itu hanya sebuah harapan kosong.

“Enggak tahu,” jawab Andy dengan pandangan menerawang. “Aku seperti enggak bisa nolak aja.” Andy kembali terdiam sebelum menoleh ke arahnya. Dengan mata tajam tertuju padanya, pria itu membuat jantungnya melonjak. “Kamu tahu, aku sempat naksir kamu.”[u1] 

“Hah?!” respons Anisa tidak percaya. “Sempat … berarti udah enggak, dong?” tanyanya memberanikan diri.

Tawa Andy dan gelengan halus itu membuat harapannya hancur berantakan. “Saat ngelihat kamu, dan saat ini … ngabisi waktu ngobrol berdua. Jujur, aku kangen. Tapi bukan rasa kangen seperti ini yang kuharapkan terjad—"

“Aku enggak ngerti maksudmu,” katanya menyela penjelasan Andy. Jantungnya berdetak kencang menanti jawaban. Anisa menyadari keadaan mereka berdua yang sudah berbeda, tapi di dalam hati, ia berdoa semoga rasa itu masih ada.

“Kita terbiasa menghabiskan waktu berdua, dan wajar kalau ada rasa yang muncul di antara kita, kan?” Ia mengangguk pelan. “Saat itu, aku merasakannya. Namun, sejak kepindahanmu, semua terasa berbeda.” Andy menatapnya lembut. “Saat kita ketemu tadi pagi, rasa itu kembali datang, tapi … setelah aku duduk berdua, mendengarkan ceritamu … rasa kangen itu ternyata berbeda bentuk.”

Anisa mengangguk mencoba untuk mengerti, meski saat ini ia merasa sedih untuk sesuatu yang tak pernah menjadi miliknya. “Kangen memiliki seseorang untuk mengisi posisi adik di hatimu. Kangen memiliki teman untuk bercerita tanpa takut ada kemungkinan baper. Gitu, kan?”

Andy menepuk tangan, membuyarkan pikirannya. “Betul. Kamu pinter sekarang,” puji Andy membuatnya tersipu malu. “Karena aku tahu, bersamamu enggak bakalan ada baper di antara kita berdua.”

Mendengar hal itu, Anisa kembali menahan rasa yang beberapa saat lalu menyeruak. Mengancam keberadaan hatinya. Membuatnya melupakan tentang janji yang dibuatnya, meski untuk sesaat.

Insya Allah enggak ada terbawa perasaan di antara kita berdua, Mas,” katanya diselingi tawa, meski hatinya bersedih. “Karena aku memilih bawaan laper daripada terbawa perasaan.“ Suasana yang beberapa saat lalu terasa berat, kini kembali ringan setelah Andy menertawakannya.

Setelah malam ini, Anisa tak akan membiarkan siapa pun mengetahui tentang perasaan yang ia simpan untuk Andy. Bertemu dengan pria itu membuatnya menyadari bahwa ia tak punya kuasa, karena hanya Sang Pembolak-balik hati lah yang memilikinya.

“Ngelihat kamu senyum gini, aku jadi lega, An.” Anisa kembali tercengang mendengarnya. “Aku enggak tahu kenapa enggak nolak perkenalan kali ini. Mungkin dia jodohku. Mungkin kehadiran perempuan itu akan membawa kebaikan untukku, kamu, dan orang-orang di sekitarku. Siapa tahu. Iya, kan?”

“Ceritakan padaku tentang dia kalau kamu sudah kenalan, Mas,” pintanya tulus. “Aku pengen tahu tentang perempuan yang enggak bisa Andy Wijanarko tolak, meski belum pernah bertemu.”

 

Kaget yaaaa ... kok ada update lagi. 😂😂
Aku update lagi karena dalam satu dua hari ini, InsyaAllah DH dan DBB bakalan open PO ya guys.

Selama masa PO, bakalan masih ada update, enggak?
InsyaAllah bakalan masih update, tapi ... begitu close PO akan langsung di unpub.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top