Dini
Dini menyeringai lebar ketika melihat kakak lelakinya berada di lantai satu ketika ia turun bersama Uci setelah meeting bersama papanya. Gadis Sunda yang memilih tinggal di Surabaya selepas kuliah tersebut mencengkeram lengannya. Dini geli melihat pipi perempuan di sebelahnya bersemu merah.
“Ya ampun, Din. Calon imamku ganteng banget,” kata Uci yang semakin salah tingkah ketika pandangan Bram tertuju pada mereka berdua.
“Asal kamu tahu, Ci. Aku enggak sudi punya kakak ipar macem kamu,” jawab Dini yang selalu menggoda Uci setiap kali Bram ada di sekitar mereka.
“Jancuk!” umpat Uci dengan fasih. “Kurang apa, coba, punya kakak ipar cantik dan menggemaskan sepertiku.”
Dini menghentikan langkah dan menatap. “Kurang ibadah kalau akhirnya Brambang dapet istri kamu.”
“Jan—Hai, Mas Bram. Apa kabar, lama banget enggak kelihatan,” sapa Uci yang berubah jadi lemah lembut. Berbeda dengan Uci yang ia kenal selama ini. Tidak ada Uci yang suka mengumpat. Hilang sudah suara melengking yang membuat Dini pusing, saat ini perempuan berambut pendek itu tersenyum genit. “Mau jemput aku atau Dindin?” tanya Uci memanggilnya dengan nama kecil pemberian Bram.
“Sorry, Ci. Aku mau jemput Dindin, kita ada janji makan malam, karena tadi siang disergap Mama.”
“Hah! Tante mau ngenalin kamu sama anak siapa lagi, Din? Kok enggak cerita-cerita, Cuk?!” tanya Uci yang sudah kembali ke setelan pabriknya. Suara melengking dan sesekali ada umpatan khas Surabaya terselip di kalimatnya. Hilang sudah sandiwara untuk menggoda Bram, karena sahabatnya tersebut selalu semangat setiap kali mamanya menyodorkan salah satu anak sahabatnya.
“Besok ajalah ceritanya,” jawabnya menarik lengan Bram. Teriakan protes Uci pun tak membuatnya ingin memutar tumit melayani teriakan itu.
“Kamu berangkat ke Bali, besok!” teriak Uci.
“Iya iya … sepulang dari Bali aku cerita!” teriaknya sebelum membuka pintu kantor menuju kendaraan Bram yang terparkir rapi di sebelah mobil SUV hadiah kelulusan dari kedua orang tuanya.
“Tumben jemput?” tanyanya sesaat setelah menutup pintu mobil. “Bukannya tadi siang lagi rapat?”
Bram meliriknya sebelum mengarahkan mobil ke arah rumah makan kesukaan mereka berdua. “Tadi rapatnya di kantor Surabaya, Dek,” jawab Bram tanpa mengalihkan pandangan dari jalanan yang masih terlihat padat. “Gimana tadi? Mama nawarin siapa lagi?” tanya Bram yang tertawa melihatnya cemberut karena diingatkan tentang perkenlaan yang mama mereka inginkan.
“Males banget, sih, Mas. Padahal Sabtu sore itu aku baru balik dari Bali, tapi Mama bilang wajib. Dan kamu juga bakalan pulang.” Nada jengkel yang terdengar jelas tak membuat tawa kakaknya mereda. “Ojo ngguyu[1]!”
“Sebelum kamu punya ide Mama bakalan ngenalin aku sama salah satu anak temannya, aku kasih tau kamu, Dek. Kebanyakan anak-anak teman Mama atau Papa itu laki-laki. Kalaupun ada yang perempuan, rata-rata sudah punya suami.”
Tawa penuh kemenangan Bram semakin membuatnya meradang. Hingga mobil berhenti di depan rumah makan Padang di daerah Kertajaya, jejak tawa masih terlihat di wajah kakak lelakinya. “Ayo makan dulu, abis itu baru ngomel lagi.”
“You know me so well, Bro,” kata Dini mengikuti langkah Bram memasuki tempat makan yang tak pernah terlihat sepi. Serbuan aroma berbagai menu khas Sumatera Barat membuatnya melupakan kejengkelannya hari ini. Tidak ada Meila ataupun rencana mamanya di kepalanya.
Air liurnya terbit ketika asap bakaran sate Padang memasuki indera penciumannya. Bahkan martabak mesir dengan potongan cabe bisa membuat langkahnya terhenti. “Dek, ayo!”
“Mas, ntar bawain Mama Sate Padang sama Martabak, ya,” pintanya ketika keduanya sudah duduk dan menanti jajaran lauk tertata rapi di atas meja mereka.
“Halah! Yang pengen Sate Padang atau Martabak, kan, kamu!” Bram mengenalnya seperti layaknya kakak lelaki yang memiliki pertalian darah dengannya. Walaupun ia dan Bram tidak memiliki hubungan saudara kandung.
“Dek, kenapa kamu nolak banget ide perkenalan itu?” tanya Bram dengan wajah serius.
Dini memundurkan kepala, membatalkan meraih potongan daging rendang dan menatap curiga pria yang tak terlihat lelah meski seharian berpindah dari rapat ke rapat—menurut cerita Bram.
“Aku jadi curiga,” kata Dini. “Makan malam ini bukan karena Mas Bram pengen ngehibur aku, tapi karena Mama yang minta!”
“Kalau sampai kamu punya pikiran seperti itu, berarti kamu bukan adikku!” kata Bram ketus tanpa mengalihkan tatapannya.
“Sorry, Mas,” kata Dini yang mengakui dia melewati batas. Di antara keluarganya, Bram adalah tempatnya berkeluh kesah tentang keinginannya selama ini. Dini kerap kali mengatakan mimpi dan tujuan yang ingin dicapainya. Keinginan Wita yang ingin mengenalkannya pada Andy membuatnya tak bisa berpikir lurus. Bukan karena ia menolak pria yang belum pernah ditemui, tapi membayangkan tentang kembali menjalin hubungan membuatnya kembali teringat masa lalu. “Mungkin karena capek dan agak gugup karena besok mau ke Bali.”
“Sama siapa berangkat?” tanya Bram yang terdengar kuatir. “Uci?”
Dini menggeleng, “Sama Mas Galuh. Mas Bram bisa tenang. Selain kamu, dia orang nomor dua yang pengen gorok leher si bangsat itu.” Untuk sesaat, jawaban yang diberikannya tak membuat kekuatiran Bram berkurang. Terlihat dari kening yang mengernyit dengan mata tertuju padanya. “Beneran, Mas. Mas Galuh bakalan jaga aku. Lagian aku mau tengok Ika sekalian, kali aja abis ini dapet klien bule lagi. Lumayan, dapet bonusnya Dollar kalau enggak Euro.”
Keduanya menyelesaikan makan tanpa membahas tentang Bali, rencana mama mereka ataupun pekerjaan. Dini menikmati kebersamaan bersama pria yang tak pernah lelah menjadi pelindung sejak kedatangannya dua puluh tahun lalu. Sesekali ia melirik kakaknya yang sibuk membalas pesan tanpa menghentikan makan.
“Kerjaan atau Nindy?” tanyanya penasaran
“Nindy, siapa?” jawab Bram tanpa memandangnya. “Makan, Dek! Kalau tanya lagi, ganti kamu yang bayar,” ancam Bram yang pandangannya masih terpaku pada ponsel di tangannya.
“Pasti Nindy,” kata Dini yang masih belum mau menyerah. “Aku enggak ngerti, apa enaknya pacaran beda kota? Ketemu juga enggak bisa tiap hari.” Wajah masam Bram tidak menyurutkan niatnya untuk mencari tahu siapa kekasih kakaknya saat ini.
“Dek!” kata Bram. “Ayo, ambil pesenan sate sama martabakmu, Mas bayar dulu.”
Mengikuti langkah kakaknya, ia menuju pintu keluar, menunggu hingga pria yang terlihat menarik meski jam kerja sudah lewat beberapa jam tersebut. Ia menyadari lirikan beberapa perempuan setiap kali berjalan di samping Bram. Tubuh tinggi, dengan senyum menawan dan mata yang terlihat tajam membuat kakak lelakinya menjadi perhatian kaumnya.
“Mampir toko dulu, ada yang mau aku beli,” pintanya dalam perjalanan pulang.
“Jangan lama-lama, Din!” perintah Bram mengikuti langkahnya memasuki toko swalayan yang terdapat beberapa bangku di bagian depan. “Satemu berair, ntar!” Dini menuju lorong yang harus ia tuju tanpa menjawab perintah kakaknya dan kembali ke depan menuju kasir di mana Bram menantinya.
“Selamat malam, ini aja, kak?” tanya pelayan di balik mesin kasir yang cekatan menghitung semua yang dibelinya. Saat itulah dari sudut matanya, ia melihat perempuan berjilbab keluar dari bagian belakang toko.
“Aku tinggal ke depan dulu, Da,” sapa perempuan yang membuat keningnya mengernyit. Ada sesuatu yang membuatnya tak bisa berpaling hingga salam meluncur dari bibir orang asing tersebut.
Hingga ia menutup pintu mobil Bram, pandangannya kembali tertuju pada perempuan yang saat ini terlihat duduk di kursi dan sibuk memandang ponselnya.
“Aku kok kayak pernah ketemu sama perempuan itu, ya, Mas,” katanya.
“Yang pakai jilbab?” Dini mengangguk menjawab pertanyaan kakaknya. “Cantik.” Pujian yang meluncur dari bibir Bram untuk perempuan itu membuat hatinya merasa ada sesuatu yang berbeda.
“Naksir?!” tanyanya ketus.
Bram menatapnya dan tertawa lepas. “Kenal aja enggak, Dek. Gimana mau naksir? Tambah malam kok tambah aneh.”
[1] Jangan ketawa
Semalam dapat email layout dua judul yang siap untuk open PO. Aku kasih sneak peek halaman pertama Dini dan Anisa yang bikin aku kegirangan.
Di sini ada gombalan maut yang enggak ada di versi awal.
Ada jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang muncul di sepanjang cerita.
Ada banyak hal yang memberi nuansa baru di perjalanan kedua perempuan dengan sifat yang bertolak belakang.
Tunggin yaaaa ...
Makasih
😘😘😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top