Bab 4
Anisa
"Andy hebat, ya, Nduk. Ganteng lagi," kata Rizal ketika mobil yang Anisa kendarai berhenti tepat di depan restoran terlihat ramai
"Hah! Maksud ayah apa to?" tanyanya terkejut mendengar kalimat ayahnya. Anisa mengalihkan pandangan dan melambai mengucapkan terima kasih pada perempuan yang memundurkan mobil dan memberikan tempat parkir padanya. "Namanya juga laki-laki, Yah. Kalau perempuan, ya, cantik," jawabnya asal sebelum mematikan mesin mobil dan segera keluar sebelum mendengar kalimat tentang pria yang membuat jantungnya berdetak kencang beberapa saat lalu.
"Emangnya jantungnya enggak berdebar gitu lihat Andy lagi?" Anisa menatap tidak percaya pada pria yang menyeringai lebar ke arahnya.
"Ya ampun, Ayah! Berdebar?" tanyanya. "Sinetron banget sih, Yah," katanya sambil tertawa dan berharap ayahnya tidak melihat gugup yang ada di dirinya. Anisa bersyukur ketika pelayan menjeda pembicaraan mereka dan bahasan tentang Andy berlalu begitu saja.
"Nis, Ayah mulai tertarik sama ide vertical garden-mu." Anisa tidak terkejut mendengarnya, karena ayahnya adalah pria yang menolak untuk menjadi pengangguran. Meski sudah tidak aktif bekerja, pria yang rajin untuk berolahraga jalan pagi tersebut selalu memiliki sesuatu untuk dikerjakan. Seperti saat ini, makan siang yang biasanya diisi dengan pertanyaan seputar toko, kini diwarnai dengan pembicaraan tentang persiapan melaksanakan rencana untuk bercocok tanam.
Anisa tersenyum lega melihat ayahnya yang terlihat bersemangat. Melupakan tentang kesedihan kehilangan separuh nyawanya yang terkadang muncul ke permukaan. Menyisihkan kekuatiran tentang keengganannya untuk menikah sebelum ia menemukan apa yang hilang dari keluarga mereka. Ia bersyukur saat ini bisa membuat ayahnya sibuk, dan Anisa bertekad untuk melakukan itu hingga pikiran pria tercintanya teralihkan dari pencarian yang selalu dilakuaknnya selama ini.
"Balik ke toko?" tanya Rizal ketika Anisa menghentikan mobil tepat di depan rumah sederhana mereka.
"Iya, Yah," jawabnya. "Ada barang masuk yang harus di awasi. Anak-anak kadang enggak teliti, takutnya ada barang yang sudah kadaluwarsa."
Kedua orang tuanya mendidiknya dengan keras. Sejak kecil ia terbiasa melakukan semuanya sendiri, terlebih lagi ketika adiknya lahir saat ia berusia dua tahun. Perhatian ibu dan ayahnya tercurah pada gadis kecil yang ia sayangi sepenuh hati, membuatnya bersemangat untuk bisa melakukan sendiri tanpa bantuan kedua orang tuanya.
Di usia dua puluh sembilan, Anisa memiliki usaha yang dimulai dari nol sejak ia lulus kuliah. Hingga kini, ia selalu melakukan semuanya sendiri, meski terkadang tugasnya hanya mengawasi anak buahnya.
"Ya wis, hati-hati," pesan ayahnya tak lama setelah ia mengucapkan salam.
Toko yang tak terlalu jauh dari rumah, tidak memerlukan waktu lama hingga Anisa menghentikan mobil di lahan parkir yang berada tepat di samping pintu loading barang masuk. "Dita, jangan taruh barang yang masuk duluan di depan!" teriaknya tak lama setelah memastikan pintu mobil terkunci sempurna.
"Sesuaikan dengan tanggal masuk atau cek tanggal kadaluarsanya!" perintahnya pada gadis yang terkadang tidak teliti saat menerima barang. "Yang baru masuk, taruh di bagian belakang." Anisa melewati tumpukan kardus yang masih harus mereka cek satu persatu ketika mendengar jawaban Dita.
"Agung belum datang?" tanyanya heran ketika melihat Ria membantu Dita. Kedua gadis tersebut saling menukar pandang dan menggeleng bersamaan. "Dari tadi pagi?!" tanya semakin heran.
"Akhir-akhir ini mas Agung sering terlambat, Mbak. Kadang lebih dari lima belas menit," kata Ria yang menjawabnya tanpa menghentikan menghitung isi kardus di depannya.
"Pernah juga malah lebih dari jam sembilan kalau pas jadwal masuk pagi, Mbak. Ups. " Ria menutup mulut setelah sadar kalau dia keceplosan. Anisa membelalak tidak percaya. "Tapi kalau Mbak udah bilang mau datang siang seperti hari ini, biasanya malah lebih siang. Ups." Anisa menggelengkan kepala menanggapi laporan tersebut.
Tanpa mengatakan apapun, Anisa masuk ke dalam ruang kerjanya. Berisi meja dan kursi sederhana, ruangan yang hanya di sekat tersebut menjadi ruang kerjanya selama ini. Tanpa AC ataupun kemewahan, ruangan berukuran 6 m2 tersebut sudah menjadi tempat tujuannya setiap hari.
Setelah menyalakan exhaust fan yang terdapat di dinding belakangnya, Anisa mulai merapikan permukaan meja yang penuh dengan kertas dan menghela napas ketika menyadari ia membutuhkan meja tambahan. Komputer dan printer menjadikan area kerjanya semakin kecil terkadang membuatnya malas bekerja. Namun, ketika menyadari ada laporan penjualan belum ia kerjakan, membuatnya menyisihkan pikiran tentang meja tambahan yang sangat dibutuhkannya.
Punggungnya terasa kaku ketika hampir dua jam dia berkutat dengan laporan penjualan. Anisa menggerakkan punggung dan juga leher ketika teringat kejadian beberapa jam lalu.
"Astaghfirullah," teriaknya ketika tanpa sengaja menginjak kaki seseorang yang berada di belakangnya. "Maaf, saya enggak senga—" Anis terdiam dengan bibir menganga ketika ia mengangkat kepala. Ia harus mengedipkan mata mencoba untuk meyakinkan diri. "Mas Andy."
"Anisa," kata pria berkacamata di depannya. "Ya Allah ... Anisa apa kabar?"
"Alhamdulillah baik. Kamu?" Anisa menahan diri untuk tidak berteriak girang ketika melihat senyum yang selama beberapa tahun mengisi mimpinya. Pria yang lebih dari sepuluh tahun tak pernah dilihatnya, kini berada di depannya. "Praktek di sini?" tanyanya tanpa menyadari Andy belum menjawab pertanyaan sebelumnya.
"Alhamdulillah kabarku baik," jawab Andy membuat jantungnya berdetak kencang. "Residen. Siapa yang sakit?" tanya pria yang berusia dua tahun di atasnya tersebut.
Anisa sempat tergagap ketika pertanyaan Andy memecah lamunannya. "Ayah," jawabnya gugupnya. "Aku anter Ayah kontrol." Andy melihat ke arah yang ia tunjuk dan tanpa menantinya, pria yang masih berhasil membuatnya tampak bodoh itu meninggalkannya.
Ada rasa bahagia mengisi hatinya ketika melihat Andy yang terlihat dewasa membungkuk dan mencium punggung tangan ayahnya. Senyum kedua pria yang terlihat bahagia membuatnya tak bisa menahan diri. Dengan langkah ringan ia menghampiri sang ayah yang menceritakan tentang kepergian ibunya.
"Ayah hubungi Andy kalau ada apa-apa," kata Andy tanpa melihat ke arahnya. "Aku bisa minta nomermu?" tanya Andy ke arahnya. "Anisa!"
"Mbak Anisa!" panggilan Dita di ambang pintu membuyarkan lamunannya. "Dari tadi aku manggil, lho! Ngelamun cowok pasti, nih!" sindir gadis yang tak terlihat segan padanya sambil tertawa lebar.
"Ngapain to?!" tanyanya berusaha menutupi kegugupan mengingat tentang Andy. Pria yang selama ini mendiami hatinya. Pria yang hampir ia lupakan setelah kepindahannya ke Surabaya. "Kamu ganggu orang kerja!"
"Kerja atau ngelamun?" goda Dita. "Ojo ngamuk, sik, Mbak. Itu ada orang dari perusahaan rokok nyari."
Memutuskan untuk meninggalkan Dita dan melupakan tentang sesosok pria yang kembali menyita pikirannya, Anisa menuju pintu.
Pekerjaan yang tak pernah usai membuatnya bersyukur, karena mengisi waktu dengan mengulang pertemuannya bersama Andy hanya akan menghabiskan waktu. Ia tidak membangun usaha hanya untuk duduk manis tanpa melakukan apapun. Ketika memutuskan untuk berwirausaha dengan membuka toko, Anisa menginginkan kesibukan yang bisa menghasilkan uang tanpa harus bekerja untuk orang lain.
Anisa menemui dua orang dari perusahaan rokok yang menawarkan kerjasama ketika ponsel di saku gamisnya bergetar. Ia mengindahkan hingga kedua orang yang meminta izin untuk melihat bagian dalam toko meninggalkannya sendiri.
+6282331******
Assalamu'alaikum
Anisa membuka foto profil nomor tak dikenal itu dan senyumnya terbit tanpa bisa ditahannya ketika melihat Andy dengan seragam scrub berwarna hijau muda. Bersedekap sambil membawa stetoskop di tangannya. Namun yang membuatnya terpaku adalah senyum yang masih melekat dalam ingatannya.
Wa'alaikumsallam pak dokter. Ada yang bisa aku banting?
Andy Wijanarko
Pancet ae. Sibuk?
Lumayan
Andy Wijanarko
Bisa ketemuan, enggak?
Menulis ulang cerita, bukan sesuatu yang mudah. Apalagi menulis ulang cerita orang lain. Aku mencoba membuat Anisa dan Dini enggak terlalu jauh dengan karakter pertama mereka, tapi lebih berwarna. Sesuai dengan gaya penulisanku.
Enggak pake notes panjang-panjang sekarang.
Happy reading guys.
Love, ya!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top