Bab 3

Haaaaiii ....

Kayaknya, dari semua cerita yang pernah aku publish di wp, hanya Dua Hati yang selalu diiringi dengan banyak notes. Padahal baru bab 3, nih.

Pertama, terima kasih banget sudah baca semua cerita-ceritaku. Komen dan semua vote yang aku dapet, buat aku makin semangat untuk terus nulis. 

Kedua, aku cuma mau bilang, kalau teman-teman baca versi awal dan ngebandingin sama versi baru, it's fine. Wajar banget kalau ngebandingin dua karya dengan judul dan nama tokoh  yang sama. Tapi, sejak semula aku udah kasih info kalau tulisanku akan berbeda dengan versi awal.
Seperti notes di bab sebelumnya aku sudah kasih tahu, interaksi antar tokoh bakalan berbeda dengan versi awal. Jadi intinya, versi baru akan berbeda. 

Saranku, baca Dua Hati seperti baca cerita-ceritaku yang lain, mulai dari 0 tanpa ada sangkut paut dengan versi awal akan jauh lebih enak. Jadi enggak capek ngebandingin sama versi lama, karena meski ada banyak kesamaan, perbedaan di versi baru InsyaAllah enggak bikin kecewa.
Matur nuwun

Happy reading beautiful people
Love, ya!


Dini

Dini memandang tak percaya ke arah mamanya yang selalu bisa merubah arah pembicaraan dengan cepat. Tidak memberinya kesempatan untuk menghindar. Menutup semua celah yang bisa digunakannya untuk menyelamatkan diri dari misinya. Ia harus menahan diri untuk tidak menghela napas panjang dan menunjukkan ketidaksetujuannya saat ini.

"Setahu Mama, dia lagi nyelesaikan spesialis di rumah sakit Dr Soetomo. Tante Ratna bilang barusan selesaikan stase di RSPAD minggu kemarin, jadi Minggu besok bisa main ke rumah."

Ia masih menutup bibir, menahan diri untuk tidak melayangkan protes. Meski Dini kesulitan untuk tidak melakukan itu, karena hal terakhir yang ia butuhkan saat ini adalah berkenalan dengan salah satu anak sahabat mamanya. Ini bukan pertama kali ia berkenalan dengan pria sempurna yang mamanya bawa, bahkan saat ini, Dini sudah lupa berapa kali ia sudah menolak.

"Mama kenal kok sama anaknya. Adek kan suka sama cowok yang tinggi gitu, kan?" Wajah berbinar mamanya sulit untuk diabaikannya, tapi membayangkan harus melakukan perkenalan itu, membuat suasana hatinya semakin hancur. "Nah, Andy ini badannya tinggi. Ramah. Ibadahnya juga bagus. Sayang sama Mamanya. Pokoknya, pas kalau menurut Mama."

Dini masih tak berencana untuk menjawab, meski sesekali ia mengangguk agar mamanya tahu saat ini ia mendengarkan. Walaupun kenyataannya adalah, ia sibuk menikmati makan siang dan menyingkirkan informasi apapun tantang calon dokter spesialis anak yang mamanya promosikan.

"Kamu manthuk-mantukberarti mau kenalan sama Andy, ya?!" tanya Wita memastikan. "Kalau sudah bilang oke, enggak boleh mundur, lho, Dek!"

"Lah ... sik sik , kapan Adek bilang oke, Ma?" tanyanya yang hampir tersedak ayam goreng di mulutnya. Dini membelalak tidak percaya dengan keputusan sepihak yang Wita ambil.

"Kamu manthuk, berarti iya, kan?" jawab mamanya terlihat serius tak ingin dibantah. "Jangan bilang itu cuma alasan biar Mama tahu kamu dengerin dari tadi. Karena Mama tahu kamu cuma sambil lalu dengerinnya. Dan Mama enggak terima jawaban selain Iya."

Dini meletakkan sendok dan meraih es jeruk di depannya. "Kalau jawaban Insya Allah, boleh dong."

"Pokoknya hari Minggu kamu enggak boleh pergi kemana-mana. Makan siang di rumah!" kata Wita kembali meraih sendok makannya. "Mas Bram juga pulang, jadi kamu enggak ada alasan pengen main ke tempat mas-mu."

Dini mengumpat dalam hati mendengar kakak lelakinya sepakat untuk membantu mamanya, karena dari semua orang, ia berharap Bram paling bisa mengerti alasannya. "Tapi, Ma ... aku ke Bali besok."

Wita menatapnya tajam. "Mama sudah tahu jadwal pulangu," katanya lemas karena wanita di depannya sudah memastikan kehadirannya di hari Minggu. "Mama sudah tanya Papa," kata Dini sambil menepuk kening dan menggelengkan kepala.

"Mama sudah tahu jadwal kamu selama di Bali, termasuk keinginanmu untuk ketemu Ika." Dini tak bisa berkata apa-apa kecuali mengangguk. "Ingetin Mama untuk bawain kamu sambal teri untuk Ika." Dinginnya AC yang terasa di kulit tak bisa menurunkan jengkel yang muncul di hatinya. Terlebih lagi ketika melihat wajah puas mamanya.

"Ya ampun Mama, masa iya aku kerja ama bawa-bawa sambel, sih! Kirim aja kenapa?!" protesnya karena selalu menjadi kurir sambal setiap kali dia ada pekerjaan di Bali. Ika adalah sahabatnya sejak TK yang saat ini tinggal di Bali bersama suaminya. Pria berkebangsaan Australia tersebut pengusaha hotel dengan banyak relasi yang terkadang bermanfaat baginya.

"Kan udah di kemasin, Dek. Enggak bakalan bau! Lagian ini bukan pertama kali kamu bawa sambel Mama, kan," kata mamanya yang tertawa geli melihat wajah cemberutnya. "Jadi fix, ya. Hari Minggu makan siang di rumah, kenalan sama Andy anaknya tante Ratna!" Sekali lagi mamanya memastikan rencana perkenalan yang hingga saat ini terpaksa ia setujui.

Dini membuka mulut siap untuk membantah ketika ponselnya bergetar dan melihat wajah papanya muncul. "Ya, Pa," jawabnya.

"Masih sama Mama?" tanya Abhi di ujung sambungan. "Udah selesai makan siang? Papa laper ini." Dini tertawa karena Papanya menahan lapar menunggunya selesai makan siang.

"Adek harus balik kantor sekarang?" tanyanya dengan nada panik yang terdengar jelas dibuat-buat, dan ia tahu mamanya mengetahui rencananya. Namun, Dini tetap meneruskannya. "Adek masih makan siang sama Mama, Pa," katanya lagi ketika dari ujung mata ia melihat tiga kotak paket makan siang di letakkan di atas meja.

"Harus sekarang, ya, Pa?" terdengar tawa di ujung sambungan tapi Dini tetap meneruskan sandiwaranya.

"Ya sudah, bilang Mama kalau Papa udah lapar. Mama pasti ngelepas Adek pergi." Mendapat lampu hijau dari pria yang sudah menjadi sandarannya—selain Bram—selama ini, Dini harus menahan diri untuk tidak tersenyum lebar.

"Ma, Adek harus balik kantor dulu. Mama, kan, tahu, bos Adek itu galak," katanya memasukkan ponsel ke dalam saku rok pendeknya. Sebelum meraih kantong berisi makan siang, ia menunduk untuk mencium punggung tangan wanita yang menggeleng melihat kelakuannya.

"Anak edan, yang kamu bilang galak itu Papa kamu sendiri!" Dini memeluk singkat mamanya dan menyeringai lebar. "Jangan lupa hari Minggu!"

Ia membatalkan langkah dan memutar badan, "Harus?" tanyanya mencoba sekali lagi.

"Wajib!" jawab Wita dengan senyum di bibir.

"Iya iya ... hari Minggu kenalan sama anak tante Ratna." Langkahnya berat meninggalkan mamanya yang terlihat bersinar setelah ia menyetujui rencana perkenalan itu.

Panasnya cuaca Surabaya tak menyurutkan keinginan orang untuk mencari makan siang dan meninggalkan kesejukan yang ditawarkan AC si setiap kantor di kota ini. terlihat dari penuhnya area parkir di depan rumah makan tempatnya meninggalkan mamanya.

Dini tersenyum ke arah perempuan berjilbab yang melewatinya saat memasuki parkir ia tinggalkan beberapa detik lalu dan segera menuju kantor. Sepanjang jalan, Dini berusaha untuk mencari jalan untuk menghindari acara hari Minggu. Ia punya banyak pekerjaan yang bisa dijasikan alasan, tapi melihat antusias mamanya, Dini ragu alasan itu akan berhasil.

Memasuki kantor konsultan yang Papanya rintis sejak selesai kuliah, Dini segera menuju kubikel Uci dan meletakkan kotak makan siang sebelum menuju ruangan Galuh—kakak sepupunya. "Thank you, Din!"

"Mama yang bayar, kok. Aku cuma kurir," jawabnya sebelum menuju lantai tiga dengan langkah ringan. Berbeda dengan beberapa saat lalu ketika meninggalkan mamanya.

Kantor yang terlihat sepi meski jam makan siang sudah berakhir bukan pemandangan aneh, karena sebagian orang berada di lapangan hingga sore hari. "Assalamu'alaikum, Papa sayang," sapanya sambil membuka pintu kaca ruangan Abhi yang menjawabnya tanpa mengangkat kepala dari berkas di tangannya.

"Pap," katanya setelah menyiapkan makan siang untuk papanya. "Kenal sama anaknya tante Ratna?" Dini memberanikan diri untuk bertanya meski di dalam hati, ia bisa menebak jawaban Papanya.

Abhi yang beberapa saat lalu terlihat sibuk, kini memberikan perhatian penuh padanya. "Kenal. Pernah ketemu sekali, tapi udah lama sih," jawab papanya meraih uluran sendok darinya. "Anaknya ganteng, lho, Dek." Mendengar jawaban papanya, bibirnya semakin cemberut karena kedua orang tuanya kompak untuk mengenalkan Andy padanya. "Kenapa?"

"Lihat ntar Minggu aja, deh. Lagian besok aku berangkat ke Bali, kan." Dini melesakkan tubuh di sofa di seberang meja kerja Papanya. Kembali mencoba untuk mencari jalan keluar.

"Ya wis, tadi gimana sama Bu Mei?" Terbiasa dengan mode atasan papanya yang setiap saat bisa muncul, Dini menjawab setiap pertanyaan yang Abhi ajukan.

"Ribet, Pa. Keinginan mereka berdua itu berbeda banget. Padahal kan kemarin sudah oke sama Pak Jun. Terus gimana?" tanyanya tanpa melihat ke arah papanya. Dini terlalu lelah mengingat pertemuannya bersama Meila dan mamanya, saat ini ia telentang di atas sofa tempat Abhi beristirahat. "Papa aja yang kasih laporan ke Pak Jun, ya," pintanya.

Ketika tidak mendapat jawaban dari Papanya, Dini melirik dan mendapati Abhi menatapnya. "Adek sama siapa ke Bali besok?" kalimat tanya penuh nada kuatir membuatnya menegakkan punggung dan memandang pria yang terlihat meantinya. Tanpa menjawabnya, Dini melangkah menuju Abhi dan melingkarkan lengannya.

"Papa bisa tenang, ada Mas Galuh."


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top