Bab 2
Teman-teman pasti ada yang sempat mencari versi asli dan membacanya sampai selesai, dan sudah tahu ending dari cerita dua hati ini.
Aku yakin ada yang bertanya apa bedanya sama dua hati versi lama?
Dua hati versi terbaru memang tidak mengubah ending dan jalan cerita, tapi ....
1. Alur lebih bagus
2. Penokohan lebih jelas. Sampai-sampai ada pembaca KK yang jengkel dengan salah satu tokoh.
3. Ada beberapa konflik yang enggak ada di versi awal hanya tersedia di versi cetak, KK dan juga ebook.
4. Interaksi tiap tokoh jadi lebih hidup.
5. Versi terbaru terdapat jawaban yang enggak ada di versi awal.
6. Lebih enak dibaca karena lebih rapi.
Anyway ... selamat membaca guys.
Thank you
Love, ya!
Dini
Menyusuri jalan dengan nama-nama pahlawan di kota kelahirannya, menjadi hal yang biasa Dini lakukan semenjak duduk di bangku kuliah. Mengagumi keindahan bangunan peninggalan jaman Belanda selalu berhasil menaikkan suasana hati dan memberinya inspirasi. Tembok pendek di teras rumah, kusen pintu, bahkan angin-angin di sepanjang dinding tepat di bawah plafon terlihat menarik baginya. Namun, ia selalu lebih bersemangat ketika melihat rumah tersebut masih dalam kondisi asli tanpa ada perubahan terlalu besar yang menghilangkan keindahan bangunan tersebut.
Seperti saat dia berhenti di salah satu rumah yang terletak tak jauh dari Jalan Darmo. Senyumnya terkembang ketika mendapati lantai terasso berwarna putih ketika ia melangkah di teras rumah klien barunya. Seringai di wajahnya semakin lebar ketika melihat teralis jendela rumah tersebut masih dalam keadaan terawat.
"Mbak Dini, ya?" sapa wanita berkulit putih bersih menyambutnya. "Saya Meila. Panggil saja Bu Mei," ucap Meila dengan senyum ramah di bibir. "Di dalam sini saja, saya ndak kuat kalau kena panas, isa merah-merah dan gatel kulit saya. Makanya paling males kalau Pak Jun ngajak liburan ke Bali. Padahal ya, kita udah sering liburan ke Bali, tapi kok yo senengane ke sana. Mbok ya ganti suasana, nek sama-sama panas, kan, isa ke Maldives atau St Tropez. Gitu kan, ya?"
"Eh ... iya, Bu," jawabnya terbata karena sepanjang Meila menceritakan tentang liburan, Dini terlalu larut memandang setiap sudut bangunan. Ia terlalu bersemangat ketika mendapati proyek ini menjadi miliknya.
"Maaf, Bu. Saya mulai sekarang atau tunggu Bapak?" tanyanya yang berharap bertemu dengan pria yang sudah memberinya garis besar pekerjaannya.
"Aduh ... kalau tunggu Bapak, ndak selesai-selesai nanti. Sama saya aja ndak apa-apa," jawab Meila memintanya untuk duduk. "Dini isa kasih tahu desainnya sekarang?" Dini mengangguk dan mulai membuka laptop dan memperlihatkan perubahan apa saja yang akan dibuatnya pada rumah di atas tanah 500 m².
Berhadapan dengan istri klien yang banyak maunya bukan sesuatu yang aneh baginya. Namun, itu sebelum ia bertemu Meila. Wanita itu menyela setiap kali ia mulai memperlihatkan desain yang sudah dikerjakan semalam.
"Aduh, ini sama saja aja ndak direnovasi!" protes Meila. "Gini, lho, ya. Saya maunya dinding depan itu berubah, jadi orang liatnya sudah bukan bangunan lama. Saya maunya, pintu kaca bukan kayu begitu," kata Meila menunjuk pintu ruang tamunya. "Lantai juga harus diganti. Kalau bisa pakai parket kayu motif herringbone." Dini hanya bisa mengangguk tanpa merasa perlu untuk menjawab.
"Kalau untuk dapur, saya suka desain kamu." Jari lentik wanita itu menunjuk layar laptopnya. "Kalau bisa, saya mau meja dapurnya sedikit lebih besar."
"Ibu pasti suka masak, ya," tebak Dini.
"Yang masak tetap pembantu di dapur basah. Dapur kering, kan, untuk showcase aja." Dini mengunci bibir, mengangguk, dan tersenyum mencoba terlihat profesional. Walaupun ia tak mengerti kenapa memerlukan dua dapur. "Saya mau counter top pakai marmer hitam dan kurangi elemen kayu, dan buat jadi lebih modern. Tapi jangan terlalu modern atau industrial looks banget. Saya ndak suka!"
Dini mencatat beberapa poin yang menjadi titik pusat perhatian Meila tanpa sepatah kata keluar dari bibirnya. Sesekali ia melirik layar laptop dan menghela napas melihat nasib kerja kerasnya semalam. Meski apa yang dikerjakannya sesuai dengan permintaan Junata selaku klien. Namun, ketika ia bertemu dengan Meila, semuanya berubah.
Usahanya memenuhi keinginan Junata melestarikan bangunan peninggalan orang tua terancam batal karena berbeda dengan keinginan sang istri. Bayangan kusen jati berubah dengan aluminium yang membuat tampilan rumah menjadi berbeda membuatnya harus menahan diri.
"Seperti ini, ya!" Suara tegas tak ingin dibantah membuyarkan lamunannya. Wajah wanita dengan make up sempurna di depannya terlihat berbinar ketika memperlihatkan fasad modern minimalis yang diinginkannya. "Bisa, kan?!"
"Ibu mau seperti ini?" tanyanya memastikan keinginan Meila, karena dari foto yang saat ini dilihatnya berbeda dengan yang diinginkan Junata. "Maaf, tapi Bap—"
"Aduh ... kalau Bapak emang selerane bangunan tua," kata Meila mengerucutkan bibir. "Wis pokoke, saya maunya begini ini." Dini mengangguk dan memastikan Meila melihat persetujuan melaksanakan permintaannya. "Nanti bagian dalamnya juga harus berbeda. Saya ndak mau lihat kayu jati lagi, bosen."
Semakin lama ia duduk mendengarkan keinginan Meila yang bertolak belakang dengan Junata, membuat kepalanya pusing. Namun, Dini harus tetap mendengarkan setiap perubahan yang diinginkan hingga waktunya untuk kembali ke kantor.
Ia menghela napas berat ketika menutup pintu mobil dan meninggalkan Meila dengan janji akan memberikan perubahan desain minggu depan. Dini bersiap melajukan mobil ketika ponselnya berdering. "
Adek di mana"? Suara lembut Wita—mamanya—memenuhi ruang dengar.
"Di deket Jalan Soetomo, Ma. Kenapa?" tanyanya curiga karena setiap kali telepon mamanya memasuki ponselnya di jam kerja, karena wanita cantik itu selalu memiliki agenda tersendiri.
"Nah pas kalau gitu. Kamu bisa ke IBC yang di Indragiri, kan! Mama tunggu sekarang!" protes yang siap dimuntahkan kembali tertelan ketika wanita di ujung sambungan mematikan telepon tanpa menunggu jawaban darinya.
"Lah ... Mama ini kenapa, to?" tanyanya ke arah ponsel. Ia tahu mamanya pasti akan mengatakan sesuatu yang membuat suasana hatinya semakin buruk. Namun, tidak memenuhi keinginan Wita, juga bukan menjadi pilihan baginya.
Ponselnya kembali berdering. "Pa, Bu Junata maunya beda banget sama suaminya. Fasad mintanya modern minimalist. Kusen aluminium. Lantai parket kayu. Desain yang sudah di approve Pak Junata mentah lagi, dong. Lemburku beberapa hari belakangan enggak ada gunanya kalau gini. Kenapa mereka berdua enggak bisa sepakat, sih!" cerocos Dini setelah menjawab salam papanya.
"Napas ... kamu ngecepret gitu enggak capek apa?" jawab papanya mendengarkan kekesalannya.
"Aku itu kesel. Aku udah dengerin request enggak jelas Bu Junata, dan barusan Mama telepon minta aku ke IBC sekarang. Pasti ada sesuatu, nih."
Tawa papanya di ujung sambungan membuatnya semakin dongkol. Pasalnya hari ini tidak berjalan seperti yang direncanakan. Dimulai dari keinginan Meila yang terlalu berbeda dengan suaminya dan diakhiri dengan telepon sang mama. "Ya sudah, temui Mama dulu abis itu ke kantor. Lumayan to, enggak harus beli makan siang."
"Pa," rengeknya seperti gadis kecil yang tidak mendapatkan keinginannya. "Papa kan tahu Mama pasti punya agenda tersembunyi." Dini menghela napas dan menumpu kepala di atas kemudi. "Papa bisa telepon Mama, bilang aja aku harus ke kantor karena ada pekerjaan."
"Kamu kok ya aneh-aneh to, Dek," jawab Papanya di sela tawa membuatnya semakin ingin kembali ke kantor. "Mulai kapan Papa bohong buat alasan gitu ke mamamu?"
"Tapi Papa dulu mau bohong waktu Adek jatuh di jalan. Iya, kan?" tanyanya mengingat kejadian saat SMA ketika ia mencoba menggunakan sepeda motor milik teman sekelasnya. Kejadian yang sepakat ia, papanya, dan juga Bram sembunyikan dari Wita, kerena mereka bertiga tak ingin mendengar omelan dari penguasa rumah.
"Beda kasus, Dek. Kamu, kan, tahu. Kalau kita cerita sama mamamu, bisa abis kena omelan nanti kita bertiga."
"Iya iya," jawabnya pasrah tak bisa menghindari mamanya. "Ya wis, aku makan siang sama Mama dulu," kata Dini. "Papa mau dibawain apa?" tanyanya sambil mengarahkan mobil menuju restoran khas masakan Sunda yang menjadi kesukaan kedua orang tuanya.
"Mama pasti udah pesenin nanti," jawab Abhi, papanya. "Kita berdua tahu apa keinginan Mama, Dek. Tapi kali ini, Papa bisa minta Adek lebih sabar, enggak. Penuhi keinginan Mama."
Dini merasa bersalah mendengar keinginan papanya. "Adek bukannya enggak mau, Pa. Tapi ...." Dini terdiam sesaat. "Papa dan Mama pasti tahu kenapa aku belum berencana untuk menikah. Setelah kejadian Bagas waktu itu dan keinginanku, rasanya sekarang bukan waktu yang tepat."
Selama setahun, mamanya berusaha untuk mengenalkannya pada setiap bujangan berkualitas yang memenuhi daftar keinginan kedua orang tuanya. Setiap pria yang Wita anggap memenuhi standar selalu menjadi sasaran mamanya. Siang ini pun tak berbeda, karena ia tahu alasan kenapa sang mama memintanya untuk bertemu untuk makan siang.
Doakan aku, Mas.
Mama ngajak makan siang, pasti ada korban
berikut yang pengen dikenalin.
Dini mengetikkan pesan pada kakaknya yang bekerja di luar kota setelah mematikan mesin mobil. Balasan yang masuk ke ponselnya tak lama kemudian membuatnya jengkel, karena Bram hanya mengirim foto ruang rapat yang terdiri dari beberapa orang.
"Mama kok enggak bilang kalau mau makan siang di luar," katanya setelah memeluk dan mencium wanita yang terlihat cantik dengan jilbab biru tuanya.
"Kalau Mama bilang, pasti kamu alasan harus site visit, lah. Ada tamu, lah. Mama udah hapal sama alasan segudangmu." Wanita yang menyebutkan satu per satu menu pada pelayan yang berdiri di samping mereka menjawab pertanyaannya tanpa mengalihkan pandangan dari buku menu. "Paket makan siang yang dibungkus tiga, ya," pinta mamanya.
"Kok tiga, Ma? Buat siapa aja?" tanyanya heran.
"Papa, Uci, sama masmu kan yo makan siang, Dek," jawab Wita menyebutkan nama sahabatnya sejak kuliah dan kakak sepupunya yang bekerja di kantor mereka sejak lulus kuliah. "Tadi ke rumah Pak Junata?"
Dini yang sibuk membalas pesan Uci mengangkat kepala dengan cepat. "Mama kok tahu?" tanyanya.
"Mama gitu, lho!" jawab mamanya jumawa sebelum keduanya tertawa bersamaan ketika pesanan makan siang mereka datang. "Kamu mau kenalan sama anaknya Tante Ratna, kan?!"
Dini selalu tahu kapan untuk bertahan, berjuang, ataupun menyerah setiap berhadapan dengan mamanya. Ketika melihat binar bahagia di mata wanita yang menanti jawabannya saat ini, ia tahu hanya anggukan dan persetujuan yang bisa diberikannya saat ini. Penolakan bukan pilihan bijak ketika kebahagiaan yang terpancar jelas saat ini membuat hatinya menghangat, meski ia enggan untuk berkenalan dengan siapa pun saat ini.
"Nggih, Ma," jawabnya malas.
Isa = bisa (kebiasaan beberapa warga keturunan Cina menyebut kata bisa menjadi isa)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top