Bab 1
Anisa
Entah sejak kapan Anisa mulai memiliki kebiasaan menatap anting di telinganya yang terlihat berbeda setiap kali hendak memakai jilbab. Walaupun bentuknya tak akan berubah, ia selalu menghabiskan sekian detik hanya untuk melihatnya. Ia tak tahu kenapa melakukan hal itu. Namun, kebiasaan yang dilakukan itu memberinya ketenangan, kekuatan, dan juga kepercayaan diri untuk bisa memenuhi keinginan mendiang ibunya.
Anisa kembali menyentuh bentuk bunga yang ada di telinga. Pikirannya pun melayang pada wanita berambut panjang dengan senyum hangat di bibirnya. Wanita yang tak pernah lelah mengingatkan betapa pentingnya anting itu baginya. Wanita yang lebih dulu meninggalkannya, sebelum ia sempat memenuhi keinginan terbesarnya.
"Bu, antingku kok enggak sama?" tanya Anisa ketika ia menatap pantulan dirinya. Seragam merah putih yang melekat di tubuhnya tak membuatnya ingin segera bergegas, meski jam sudah menunjukkan pukul enam pagi.
"Bagus, to," kata Aisha menyentuh pundak anak perempuannya. "Anak Ibu kelihatan cantik, meski antingnya berbeda." Anisa mengerutkan kening karena tak menemukan keindahan dari anting yang menempel di telinganya.
Anisa memandang kedua mata ibunya. "Perasaan model anting-anting selalu sama, deh, Bu!" protesnya. "Enggak ada yang jual beda kanan kiri gini." Anisa tak pernah bermasalah menggunakan anting yang berbeda bentuk, tapi ia tak bisa menghilangkan rasa penasaran yang muncul setiap kali menatap pantulan diri.
Aisha mencium puncak kepalanya dan berkata, "Bunga dan kupu-kupu itu memiliki hubungan simbiosis mutualisme. Saling menguntungkan, saling membutuhkan."
"Maksudnya?" tanyanya semakin penasaran ketika mendapati mata kedua ibunya berkaca-kaca.
"Suatu hari nanti Ibu pasti ceritakan, tapi sekarang kamu harus bersiap sebelum Bapak terlambat kerja nanti!" Anisa menelan kembali pertanyaan di ujung lidah ketika mendapati nada tegas ibunya. Meski disampaikan dengan senyum, ia tahu tak boleh membantah setiap perintah wanita yang selalu terlihat tersenyum.
"Aku kangen, Bu," ucapnya mengusap kedua anting berbedanya sebelum memasang jilbab panjang menutup hingga bagian belakang.
"Jangan pernah mengganti antingmu, karena itu satu-satunya bukti keberadaan kalian." Ia kembali mengingat pesan ibunya sesaat sebelum wanita yang bertahan melawan kanker payudara itu mengembuskan napas terakhirnya.
Ia tidak menghalau semua pikiran yang memenuhi kepalanya setiap kali ia menatap anting di telinganya. Anisa selalu menghargai setiap hal yang berhubungan dengan anting dan ibunya, karena itu memberinya harapan untuk tidak berhenti.
"Nis! Enggak ke toko!" Teriakan dari luar kamar membuatnya segera bergegas meraih tas dan membuka pintu kamar. "Tumben siang? Males ke toko?" tanya Rizal—ayahnya—pria berusia enam puluh tahun yang tak pernah bisa diam. Meski lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, tetapi ayahnya selalu sibuk melakukan sesuatu. Seperti saat ini ketika melihat ayahnya terlihat rapi.
"Ayah mau ke mana?" tanyanya curiga. "Aku kan udah bilang kalau toko itu urusanku! Bapak iki ngeyelan, kok!" katanya jengkel karena merasa tidak mendapatkan kepercayaan dari satu-satunya orang tua yang ia punya.
"Sini!" kata Rizal menarik lengan bajunya. "Sarapan dulu baru pergi kerja." Anisa masih bergeming di tempat karena belum mendengar jawaban dari bibir ayahnya yang terkadang menjengkelkan dan menguji kesabarannya.
"Jawab dulu, Ayah mau ke mana?!"
"Mau beli pupuk, media tanam, sama bibit, Nduk," jawab Rizal tenang dan kembali menarik lengannya hingga tubuhnya mendarat di atas kursi. "Sekarang, makan!"
Anisa melihat sepiring bihun goreng, tempe, dan juga acar mentimun terlihat menggoda selera. Setelah kepergian ibunya, memasak menjadi tugas sang ayah. Anisa tak pernah malu mengakui bahwa dirinya tak memiliki kemampuan untuk memasak makanan yang layak untuk dimakan. Masih segar dalam ingatannya ketika mencoba untuk memasak dan hasilnya membuat keduanya berakhir di warung makan.
"Ayah sudah makan?" tanyanya tanpa terlihat malu karena tidak membantu sama sekali.
"Ayah jadi mikir, gimana kalau kamu nikah, ya, Nduk," kata Rizal terlihat melamun. "Ntar yang masakin suamimu siapa?"
"Ayah lak mesti, mikire kedawan!" 1 jawabnya tanpa melirik ke arah pria yang tampak sedih. "Jangan ngebayangin aku nikah dulu, Yah. Ayah kan tahu, aku enggak akan nikah sebelum menemukannya. Aku sudah janji sama Ibu!"
Setiap kali pembicaraan tentang menikah muncul di antara keduanya, selalu berakhir dengan Anisa berwajah keras karena bertekad memenuhi janji. Sedangkan Rizal terlihat sedih memandang anak pertamanya yang selalu menolak untuk memikirkan dirinya sendiri.
"Ayah bawa mobil aja, biar gampang bawa belanjaan ntar." Tanpa menunggu jawaban, Anisa berdiri membawa piring bekas makan ke dapur yang berada di bagian belakang rumah sederhana mereka.
Rumah kecil yang mereka tempati setelah pindah dari kota kelahirannya terletak di daerah Surabaya Timur. Memiliki halaman kecil dipenuhi dengan pot berisi sayuran yang Rizal tanam. Pria yang selalu memiliki hobi berkebun itu harus memutar otak memanfaatkan lahan terbatas di rumah mereka.
"Anisa berangkat dulu, Yah," katanya menghampiri Rizal yang masih terdiam. "Jangan mikir tentang keinginanku untuk tidak menikah sebelum menemukannya, Yah. Anisa tahu Ayah selalu mikirin itu. Tapi, Anisa percaya Allah sudah siapkan seseorang yang akan mengambil tanggung jawab itu dari Ayah ketika sudah menemukannya."
Anisa memajukan wajah dan membiarkan ayahnya mencium kedua pipi dan keningnya sebelum berlalu meninggalkan pria yang masih terlihat berpikir keras.
"Jangan terlalu capek, Yah!" teriaknya sebelum mengucap salam. Namun, beberapa langkah melewati ambang pintu, Anisa kembali mundur dan berkata, "Ayah pernah lihat vertical garden, enggak?"
Rizal yang semenjak terdiagnosa diabetes type dua beberapa tahun lalu, semakin rajin mengkonsumsi makanan sehat terlihat tertarik.
"Ribet," kata ayahnya.
"Ya enggak dong, Yah. Ntar Anisa bantuin," katanya bersemangat karena berhasil menghapus raut sedih di wajah Rizal yang beberapa saat lalu membuatnya merasa bersalah. "Kita manfaatkan dinding belakang juga, Yah. Atau, kalau mau, kita coba hidroponik." Anisa memberikan banyak ide di kepala Rizal semata-mata karena tak ingin ayahnya berpikir tentang keputusannya untuk tidak menikah terlebih dahulu.
"Kamu itu kok ya aneh-aneh, to! Mau kerja jadi bahas kebun. Berangkat dulu, sana!"
Anisa lega melihat raut wajah ayahnya. Ia tahu saat ini sang ayah memikirkan tentang ide yang disampaikannya. Ia tahu saat ini, penyelesaian yang diberikannya, hanya sementara. Namun, jika itu bisa mengalihkan pikiran pria yang selalu menjaganya selama ini, Anisa bisa bernapas lega.
"Yah ... liat di YouTube aja," katanya belum sepenuhnya rela untuk melepas ide vertical garden. "Kayaknya kalau berhasil, kita bisa jualan sayur organik di swalayan kita." Ide yang bermula hanya untuk mengalihkan pikiran ayahnya, kini mulai membuat Anisa tertarik. "Ide bagus, kan, Yah?" tanyanya.
"Berangkat, Nis!" usir ayahnya lembut hingga tubuhnya sepenuhnya keluar dari rumah. "Jangan lupa berdoa, hati-hati bawa motornya," pesan Rizal yang tak pernah lelah mengingatkannya untuk berdoa setiap kali keluar rumah.
"Sampun2, Yah," jawabnya. "Jangan lupa besok waktunya kontrol, Yah. Aku ke toko sebentar baru anter Ayah." Sebelum ayahnya sempat melayangkan protes—karena lebih suka berangkat ke rumah sakit sendiri—Anisa mengucap salam dan meninggalkan sang ayah yang menggeleng melihat sikap over protektifnya.
1. Ayah selalu. Mikirnya kejauhan
2. Sudah
Pelan-pelan kenalan ama tokoh cerita terbaruku, yuk.
Berbeda ama Yaya, dua perempuan yang ada di cerita ini lebih anteng.
Whahaha
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top