Make You Mine
Sudah lama ia tak mengunjungi kebun binatang yang ada di daerah Jakarta Selatan. Terakhir kali ialah saat anggota keluarganya masih lengkap dan tentunya ia belum bertemu dengan Dhamar saat itu. Dhamar. Nama cowok itu terus berputar-putar di otaknya.
Dengan celana training berwarna hitam dilengkapi kaus berwarna biru dongker, dirinya sudah siap menunggu Abrar yang katanya ingin bertemu jam sepuluh, tetapi sudah jam sebelas belum juga datang.
"Sorry, aku telat banget, ya?" Abrar yang baru saja datang tampak ngos-ngosan dan berkeringat. Bahkan kaus yang ia pakai nampak mencetak bagian tubuhnya yang mengeluarkan keringat lebih banyak dari area tubuh yang lain.
Wulan mengangguk jujur, ia bingung harus menjawab apa. Jika olahraga jam segini, dipastikan kulitnya akan gosong, tersengat sinar matahari yang sudah tak baik bagi kulit.
"Makan siang aja, mau?" tawar Abrar. Wulan hanya mengangguk setuju, karena perutnya sudah lapar.
"Aku ngga bawa kendaraan, tadi motorku mogok di jalan," terang Abrar membuat Wulan paham mengapa Abrar datang sangat terlambat.
"Kamu mau makan di mana?"
"Kita naik busway aja, gimana? Kita naik yang ke arah Blok M," usul Wulan.
"Aku ngga punya kartunya."
"Pakai punyaku aja. Jalan ke sana, nanti naiknya di sana." Abrar mengekori Wulan yang berjalan cepat agar tak ketinggalan busway yang menuju Blok M yang akan tiba tiga menit lagi.
***
"Kamu ngga pernah naik busway?" tanya Wulan mencoba mencari topik, karena ia bosan menunggu paket ayam geprek yang baru saja ia pesan.
Abrar menggeleng. "Kayaknya kamu sering banget. Kentara banget, ya?" tanya Abrar membuat Wulan mengingat kejadian mereka saat di dalam busway dan ia menyemburkan tawanya lagi.
Kejadian Abrar ribut dengan petugas penjaga pintu Trans Jakarta, bisa dibilang sangat memalukan. Abrar ngotot untuk berada di tempat yang sama dengannya duduk, padahal ia duduk di tempat khusus perempuan. Tak hanya ia yang tertawa, ibu-ibu yang berada di sampingnya bahkan ikutan tertawa.
"Pasti ngebayangin lagi," tukas Abrar membuat Wulan mengangguk jujur.
"Malu banget, kalau diingat," lanjut Abrar.
"Mainnya kurang jauh, sih." Ledekan Wulan sukses membuat Abrar cemberut.
"Makannya sering ngajak aku jalan bareng, biar aku tahu di luar kayak gimana," ujar Abrar mencoba memancing Wulan agar lain kali ia bisa jalan berdua lagi.
"Aku dari dulu emang suka jalan. Awalnya jalan bareng keluarga, pas pada sibuk jadi jalan bareng sama Dhamar. Dia yang sering nemenin aku, biar ngga kesepian. Ngga tahu--" Kalimatnya terhenti, Wulan merutuki kebodohannya yang selalu membahas dan mengingat Dhamar di mana pun ia berada. Entahlah, ia terlalu menyukai cowok masa kecilnya itu.
Wulan menatap Abrar takut, ia takut menyinggung perasaan Abrar. Pasti tidak enak. Saat kamu jalan dengan orang lain, tetapi kamu malah membicarakan seseorang yang mengisi hatimu.
"Maaf," cicit Wulan.
"Enggak papa. Pelan-pelan aja , Lan. Senyamannya hatimu. Kalau belum siap, jangan dipaksa. Aku paham, Dhamar bukan sekedar cowok yang numpang lewat, dia yang selalu nemenin masa kecilmu. Aku cuman berharap, kamu berkenan untuk memperbolehkanku untuk berada di masa kini hingga masa depanmu." Pernyataan Abrar jelas membuat Wulan tak nyaman.
Abrar yang melihat perubahan mimik wajah Wulan membuat hatinya tak menentu, entah mengapa ia merasa bersalah. Apakah ia salah langkah?
Ia sadar, kalimatnya membuat Wulan menjadi diam seribu bahasa. Kedua netranya mengeliling, ia merasa ada yang memperhatikannya dari jauh. Manik matanya berhenti tepat di samping kios makanan yang menjual berbagai macam soto di arah jam dua. Dhamar, cowok itu tengah menatapnya tajam.
"Jangan pernah sentuh hak milik gua!" ucapnya tanpa suara dan itu sukses membuat Abrar terdiam.
***
Kabar miring yang terdengar seperti fakta melayang dari satu bibir ke bibir yang lain di Grata.
Nia dan Dhamar ternyata tak memiliki hubungan sama sekali.
"Bryan! Berita itu benar, ngga?!" Teriakan Wulan terdengar nyaring seperti salakan anjing yang memenuhi kelasnya.
"Ngga tahu, tanya aja sama Dhamar," ujar Bryan apa adanya.
Rona kebahagiaannya sedikit muncul, mengingat bahwa Dhamar tak pernah menyukai cewek seperti Nia. Apa memang sudah takdirnya berjodoh dengan Dhamar? Wulan tertawa sendiri dengan jalan pikirannya.
"Sudah gila," komen Ivan yang memperhatikan Wulan dan Bryan.
Wulan cemberut, ia melangkah ke tempatnya duduk. Ingin rasanya ia menemui Dhamar saat ini, tetapi ia takut diusir oleh kaum nyinyir anak akselerasi.
"Dhamar ngajakin ketemu," ujar Bryan menatap Wulan yang duduk di dekatnya.
Ia mengerjap kaget, sedikit tak percaya dengan ucapan Bryan. "Serius?" tanya Wulan dengan nada riang.
Bryan mengangguk yakin. "Nanti, pulang sekolah." Setelah mengucapkan itu, Bryan memasukkan telepon genggamnya ke dalam laci, mencoba tidur di atas meja sebelu guru mata pelajaran selanjutnya datang.
"BRYAN! BESOK AKU TRAKTIR KAMU!" Teriakan Wulan membuat Bryan bersungut kesal, ia ingin tidur.
***
Taman baca yang dulunya hanya lapangan kosong menjadi tempat dirinya dan Dhamar bertemu setelah pulang sekolah. Jaraknya memang agak jauh dari sekolah, tetapi sedikit dekat dengan jarak rumah mereka. Dhamar sengaja memilih tempat itu agar tak ada perecok dari Grata.
"Kamu datangnya lebih cepat?" tanya Wulan mengecek jam di ponselnya.
Dhamar datang lebih cepat sepuluh menit dari jam yang ia janjikan untuk bertemu. "Aku ngga suka."
Dahinya mengerut bingung, ia tak mengerti dengan ucapan Dhamar. "Aku ngga suka kamu jalan berdua bareng Abrar," lanjut Dhamar membuat Wulan mengerti.
"Aku haus, di depan ada toko kelontong. Minum aku udah habis." Dhamar menoleh, ia memberikan botol minumnya yang masih terisi.
"Aku minum dari sini?" tanya Wulan. Sebelah alisnya terangkat lucu. Dhamar tersenyum kecil.
"Kamu mau minum dari bekasku?" Wulan yang mendengar langsung gelagapan.
"Ngga gitu maksudnya." Pipi Wulan merona, padahal Dhamar belum menggodanya.
"Emang maksudnya gimana? Kamu mikirnya yang aneh-aneh, ya?" tuding Dhamar membuat Wulan melotot tajam.
"Ngga gitu maksudnya, Dhamar!" teriak Wulan yang dibalas dengan kekehan Dhamar.
Dhamar merindukan saat-saat seperti ini. Bercanda dan tertawa dengan Wulan. Sudah menjadi kewajibannya untuk meledek Wulan hingga ia teriak mencak-mencak.
"Lan? Balikan, yuk!" Ajakan Dhamar membuat Wulan tersedak air yang sedang ia minum.
"Kamu niat bunuh aku?"
"Mana mau, Lan. Aku kan sayang kamu," godanya lagi membuat Wulan sukses tersipu.
"Gimana? Kamu mau balikan sama aku?" tanya Dhamar lagi.
Wulan mengangguk pelan, ia berharap euforia saat ini akan terus mengelilinginya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top