Jealous
"Kelas reguler ngga tahu malu, mereka itu ngga sepadan sama kita."
"Cewek yang ada di foto Dhamar, ada yang bilang namanya Wulan. Anaknya cantik banget, manis lagi, cocok sih kalau gandengannya Dhamar."
"Kalau Dhamar ngga mau, mending buat aku aja."
Tangannya mengepal, memperlihatkan urat-urat Dhamar yang menonjol, telinganya memerah menahan amarah mendengar obrolan teman sekelasnya yang tak ada hentinya tentang Wulan. "Ngga ada topik lain apa?"
"Kalian berdua ngga ada niatan klarifikasi gitu?" pancing Abrar yang sudah ada niatan menggaet Wulan.
Dhamar mendesis kesal, menceritakannya sama saja membuka luka lamanya yang masih belum mengering sampai saat ini. Kalau diingat, Wulan memang berbeda, banyak yang berubah dari mantannya. Bahkan wajahnya sering mupeng untuk bertemu lagi dengan Wulan setelah kejadian di kelas Bryan.
"Diam aja ini anak, jangan-jangan kalian memang ada hubungan yang tersembunyi?" Mata Abrar memicing, menatap curiga salah satu teman dekatnya.
Dhamar berdecak kesal, "Dia bukan tipeku!"
"Berarti Wulan bisa secepatnya aku gaet, kan?" Kedua alis Abrar naik turun mengundang makian anak cowok yang tak terima. Bisa dibilang Wulan menjadi incaran anak cowok di Grata. Pintar, manis, ramah, dan cantik. Kurang apa lagi?
"Ngga," tegasnya yang membuat mereka terdiam.
Dhamar seketika tergagap, tolakan spontan yang keluar daru bibirnya, membuat ia merasa menggali kuburnya sendiri. "Ngga bisa, soalnya," ucap Dhamar menggigit bibir bawahnya ragu karena belum menemukan alasan yang tepat.
"Wulan masih punya urusan denganku soal ini. Enak aja, dia seenaknya meremehkan salah satu anak akselerasi!"
Sontak anak perempuan yang tak suka dengan keberadaan Wulan di Grata mendukung ucapan Dhamar yang tak sengaja terucap.
"Emang kamu mau balas dendam kayak gimana, Mar?" tanya Nia yang sudah mendudukkan bokongnya di atas meja Dhamar.
Dhamar menatap tajam Nia. "Turun. Ngga sopan," ujarnya dingin. Nia seketika turun sembari mengerucutkan bibirnya.
"Ada usul?" tanya Dhamar menerawang jauh seperti apa usul temannya nanti. "Jangan sampai bawa-bawa Wulan!"
Abrar memicingkan matanya menatap gerak-gerik Dhamar yang mencurigakan. Seolah-olah takut bahwa bau bangkainya akan tercium.
"Baru aja mau ngusulin ide supaya jadiin Wulan mainan kita," pancing Abrar dengan senyum liciknya.
Dhamar menatap tajam ketua kelasnya, "Ngga nyangka, ketua kelas kita cupu."
"Kalau ngga boleh jadi mainan, jadiin Wulan gandengan beneran aja. Ngapain dijadiin mainan? Toh dia cewek cantik, pintar, dan manis. Kurang apa lagi?"
"Bangsat! Jangan pernah kamu coba-coba nyentuh Wulan, Brar!" ujar Dhamar disusul dengan suara tonjokan Dhamar yang melayang di atas mejanya sendiri.
***
Duarr!!!
Bunyi petasan yang berasal dari gedung akselerasi disambut tawa meriah dari angkatan Wulan. Teman-teman Wulan sengaja melancarkan aksinya hari ini setelah mengetahui banyak fasilitas anak reguler yang sengaja dirusak oleh anak akselerasi. Mulai dari kamar mandi yang tak berfungsi normal, loker mereka yang sengaja dicoret-coret dengan spidol permanen, dan barang barang mereka yang disimpan di dalam kelas tiba-tiba berada di tempat sampah.
"Kamu kalau lihat wajah mereka yang panik dari sini, bakalan ngakak sampai nangis, Van!" ujar Anna yang sudah meneteskan air matanya saat melihat Ivan tengah mengatur napasnya.
Kelas anak akselerasi berada di lantai dua, Anna dan yang lainnya bisa melihat ekspresi ketakutan dan kepanikan mereka dari rooftop gedung reguler.
Di tempat yang berbeda, Wulan dan Bryan tengah duduk di dalam kelas menikmati suasan sepi yang jarang sekali terjadi.
"Loh? Kelas kalian kenapa kosong? Penghuninya pada ke mana ini?" tanya Bu Via yang sudah memegang penggaris kayu.
"Toilet Bu," jawab Wulan dan Bryan serempak.
"Berjemaah? Itu septic tanknya ngga penuh kalo rombongan?" cibir Bu Via--guru fisika yang mengajar di kelas 11 IPA 2.
"Bilang teman-teman kalian, jam istirahat menghadap ke saya!" lanjut Bu Via menatap keduanya tajam.
"Baik, Bu." Mereka berdua secara berbarengan menaruh kepalanya di atas meja. Tak menyangka akan separah ini kelanjutan dari rencana mereka.
"Lan? Nanti Dhamar mau ketemu." Bryan melirik pesan Dhamar yang baru saja ia buka, tanpa berniat membalasnya.
Wulan menegakkan kepalanya, menatap Bryan tak percaya, "Serius?"
***
Pohon rindang yang sudah berumur tua, terletak tak jauh dari gudang belakang sekolah, yang sudah dipastikan jauh dari keramain seperti yang diminta oleh Dhamar untuk menunggunya di tempat yang tidak mencolok.
Wulan merundukkan kepalanya, menyedot sisa-sisa es kopi yang ia sengaja bawa untuk menemani dirinya yang kesepian menunggu Dhamar. "Maaf lama," ujar Dhamar yang baru saja tiba.
Kepalanya kaku, ia masih menunduk dan menyedot minumannya yang sudah tandas, tak berani menatap Dhamar yang ada di hadapannya. Sepasang matanya hanya berani menatap sepasang sepatu converse yang sudah sedikit usang dimakan usia.
"Aku ngga mau lama-lama berbagi oksigen sedekat ini bareng kamu. Kamu udah lihat hasil jahil kamu sendiri, kan? Gara-gara tingkah kamu yang kekanakan, ngebuat angkatan kita berantem, saling nyimpan dendam dan adu bacot." Kedua telinga Wulan mendengarkan setiap kata yang keluar walaupun kepalanya masih menunduk.
Dhamar berdecak, ia berjongkok di hadapan Wulan. Jemarinya menarik dagu cewek di hadapannya, agar wajah mereka saling berhadapan. "Kamu punya sopan santun, kan? Kalau diajak ngobrol, tatap wajahnya. Jangan cuman melihat sepatunya, bukannya selama ini kamu mau bertemu denganku?"
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top