Chapter 3
Sudah dua minggu berlalu. Kini waktu menunjukkan pukul 7 malam, tapi entah mengapa Putri tidak segera datang menjemputku. Padahal tadi pagi dia datang ke rumah dan mengatakan akan mengajakku ke pasar malam.
Aku mulai khawatir, jangan-jangan mimisannya kambuh lagi? Tidak-tidak, berpikirlah positif. Mungkin saja ia lupa, kan?
Tok tok!
"Halo Kena! Maaf aku terlamb---wow, baju yang bagus sekali Kena, aku suka!"
Panjang umur orang ini. Baru saja di bicarakan sudah muncul saja.
"Terima kasih. Sudah lama aku tidak memakai baju yang ada di lemari."
"Tapi Kena, kamu seperti mau ke pesta dansa saja, hehe."
"Kamu mau aku ganti baju dengan yang lain?"
"Eh, jangan! Yang itu saja. Hari ini aku mau membuatmu menjadi seorang Putri!"
"Kamu membicarakan namamu sendiri?"
"Bukan itu maksudku, ih."
"Haha, iya iya, aku mengerti."
"Baiklah my princess, mari kita berangkat!"
"Apa kita akan jalan kaki?"
"No no, jika ada putri harus ada pangeran dong. Aku membawa kakakku, dia menunggu kita di depan sana, dengan mobilnya."
"Kau menjodohkanku dengan kakakmu?" tanyaku jenaka.
"Tidak. Tapi kalo kamu mau sih, silahkan saja. Asal tahan dengan ceramahnya setiap hari."
"Dasar kau ini."
Kami keluar dari rumah dan benar saja, di sana sudah ada mobil berwarna putih terparkir, lengkap dengan pengemudinya.
"Hai lady's, namaku Alfian Syahputra. Panggil saja Bang Ian."
"Jijik, Bang. Tidak usah pakai penghormatan khusus bisa nggak?"
"Merusak citra Abang aja kamu, Dek."
"Yee, biarin aja. Dasar tukang ceramah!"
"Tega kamu, Dek, huu."
Ingin sekali aku tertawa melihat pertengkaran dua kakak-adik ini, tapi malam semakin larut.
"Sudah-sudah, jika bertengkar terus, kapan kita ke pasar malamnya?" kataku menghentikan pertengkaran mereka.
"Benar juga, ayo berangkat. Nah putri, silahkan masuk." Bang Ian membukakan pintu belakang, masih dengan penghormatan khusus ala Prince-nya.
"Oh, makasih Bang. Sayang deh," Putri akan segera masuk jika saja tidak di cegah oleh bang Ian.
"Eits, ini bukan buat kamu, tapi Putri di sebelah sana."
"Eh, aku?" Aku menunjuk diriku sendiri tidak percaya. Bang Ian mengangguk sedangkan Putri sudah akan menjambak jambul kakaknya jika aku tak segera mencegahnya.
"Sudah ah, ayo berangkat!"
Mencebikkan bibir. Putri masuk ke mobil kemudian disusul aku. Bang Ian segera mengemudikan mobilnya ke pasar malam.
Sekilas aku merasa familiar dengan ini. Dulu kakakku juga pernah mengajakku kesana. Ah, Aku jadi tidak sabar segera sampai.
Setibanya di pasar malam, kami segera keluar dari mobil setelah Bang Ian memarkirnya.
"Ingat ya, jangan jauh-jauh dariku, kalian bisa hanyut terbawa arus manusia nanti."
"Bang, kami sudah bukan anak-anak lagi."
"Abang cuma berjaga-jaga saja, Dek. Lagian kamu nggak boleh terlalu lelah."
"Iya iya." Putri memutar bola matanya malas.
Aku hanya terdiam melihat interaksi mereka berdua. Dadaku terasa sakit, teringat dengan kakakku. Aku rindu dia, juga tingkah laku konyolnya.
"Hai Ken, melamun apa? Ayo, nanti ketinggalan loh."
Aku terkejut saat Putri menepuk bahuku pelan.
"Ah, iya."
Kami bertiga berjalan beriringan, terkadang Bang Ian akan berjalan lebih dahulu agar kami mendapat ruang yang cukup untuk berjalan. Tipikal kakak idaman.
"Kalian mau main apa dulu?" tanya Bang Ian.
"Roller coster!" seru Putri bersemangat.
"Tidak boleh!" tolak Bang Ian.
"Emm.. tembak sasaran bagaimana?" saranku.
"Ayo!" ujar mereka berdua.
5 menit kami bermain, dan hanya mendapatkan satu boneka. Itu pun Bang Ian yang membidiknya.
Kami melanjutkan permainan yang lain. Kali ini tangkap ikan, dan aku yang memenangkannya dengan sepuluh ekor ikan boleh dibawa pulang sebagai hadiahku.
Sudah hampir jam 12 malam. Semua wahana yang tidak berbahaya sudah kami mainkan. Kami bertiga duduk di kursi dengan permen kapas di tangan, kecuali Bang Ian yang meminum kopi hangatnya.
"Hampir tengah malam, waktunya pulang lady's ," ucap bang Ian.
"Yahh, nggak asik ah." sungut Putri.
"Abangmu benar, Put. Udara malam juga tidak baik bagi kesehatan." Aku melihat langit. Tak ada bintang di sana, mungkin karena terhalang oleh cahaya lampu pasar malam.
"Tuh dengerin temenmu."
"Tapi kak ... Uhuk!"
Putri terbatuk. Aku segera menoleh ke arahnya. Bang Ian juga nampaknya khawatir.
"Kamu tidak apa-apa, Put?" tanyaku.
"Aku baik ... Uhuk-uhuk!"
"Ayo pulang, cepat!"
Bang Ian menggendong Putri lalu bergegas pergi ke mobil. Aku berlari mengejarnya.
Bang Ian mengendarai mobil dengan kecepatan di atas rata-rata. Aku menatap Putri yang pingsan di pahaku. Darah menetes dari hidungnya.
Tolong beri tahu aku, apa yang terjadi sebenarnya?
Bang Ian segera menyuruhku keluar setelah tiba di depan rumahku. Tidak lupa dia mengatur posisi yang pas untuk Putri. Setelah itu mereka berkendara pergi.
Aku terdiam pinggir jalan. "Putri ...." gumamku.
.....
Sebulan berlalu begitu cepat. Tidak ada yang membahas tentang kejadian itu. Seolah hanya angin lalu.
Putri tadi siang datang ke rumahku. Mengajakku untuk melihat matahari terbenam nanti.
Langit jingga terbentang diatas kami. Putri duduk bersandar pada pohon mangga di taman, sedangkan aku berdiri tak jauh darinya dengan setangkai bunga kertas.
"Kena, jika suatu saat nanti aku pergi bagaimana? Apa kau akan merindukanku?"
"Apa maksudmu?"
"Lupakan."
Apa yang sedang dia pikirkan?
Tanpa sadar aku melihatnya. Mengabaikan mentari yang mulai menghilang di balik pegunungan. Kegelapan mulai merayap, sampai cahaya tidak ada lagi.
"Ah, sudah malam. Ayo pulang ke rumah." Putri tersenyum, tapi entah mengapa aku tak menyukainya.
Ia berdiri dan mulai merangkulku. "Nah, Kena. Jangan pernah membenciku apapun yang terjadi ya?"
Aku menepis tangannya di bahuku. "Apa maksudmu, hah?"
Kami sama-sama terdiam. Sampai dia mulai mengatakannya.
"Aku ... terkena kanker otak stadium akhir. Sebenarnya sudah lama, bahkan dokter sudah mendiagnosa bahwa aku hanya dapat bertahan selama tiga bulan. Tapi sepertinya dugaan dokter meleset."
"Mengapa kamu menyembunyikannya dariku?"
Aku tak percaya ini. Benar-benar tak percaya.
"Aku tidak mau kamu sedih."
Menundukkan kepala. Rasanya sakit saat mendengarkan ucapannya. "Masih ada sebulan lagi, kan?" bisikku pelan.
"Iya ..., tapi mungkin saja itu salah."
"Jangan bercanda! Masih ada sebulan lagi! Lalu bulan berikutnya, berikutnya lagi, lagi, dan lagi! Jangan putus asa!" Air mata ini mulai menetes. "Setidaknya berjuanglah. Aku menaruh harapan yang besar padamu, jangan kecewakan aku."
"Maafkan aku."
"Jangan menyerah Putri. Kau satu-satunya temanku,"
"Maafkan aku."
"Jangan pergi."
"Maafkan aku."
"Jangan tinggalkan aku sendiri di dunia ini."
"Maafkan aku."
"Aku tidak ingin sendirian lagi. Kau cahayaku yang baru."
Tak ada sepatah kata pun terucap. Kami saling memeluk satu sama lain, menyalurkan luka sekaligus kesedihan kami. Tak ada seorang pun di dunia ini yang ingin hidup sendiri. Terlalu menakutkan.
...
Setelah hari itu, kami tidak pernah bertemu lagi. Setiap hari aku bertingkah seperti orang gila yang menunggu pintu rumahku terbuka hanya untuk melihat senyum manisnya.
Terlalu lelah menunggu, aku mulai putus asa. Ingin aku berlari mencarinya, tapi mana mungkin. Kami bahkan hanya bertemu beberapa kali saja.
Putri ... kau di mana? Aku di sini, menunggumu.
Aku memutuskan untuk keluar, menikmati langit jingga. Di bawah teras halte tempat kami bertemu pertama kali.
Perlahan, aku menyusuri trotoar. Hanya perlu 15 menit untuk sampai di sana. Kurang beberapa meter, aku melihat ada seseorang duduk di kursi halte sana. Menunduk dalam dengan buket bunga si sampingnya
"Putri ... Putri! Apa itu kamu?"
Aku berlari menerjangnya. Namun aku tersadar, dia bukan Putri. Tubuhnya atletis, dan juga lebih tinggi. Aku melepas pelukan.
"Bang Ian?"
Ia terdiam. Menatapku dengan mata merahnya.
"Bang Ian habis nangis ya? Bang, Putri mana? Aku rindu dia. Kenapa tidak di ajak kesini, Bang?"
Perasaanku mulai tak enak. Aku mengguncang tubuhnya. "Bang! Putri mana, Bang! Mana?"
"Putri ... dia sudah pergi."
Aku tidak mengerti. "Dia pergi kemana, Bang? Aku mau susulin."
"Tidak bisa, dia sudah pergi, selamanya."
Hilang sudah keseimbanganku. Hampir saja tubuh ini terjatuh, jika saja Bang Ian tidak menyanggaku.
"Bang Ian pasti bohong, iya kan?"
Dia hanya menggeleng, kedua tangannya memeluk tubuhku erat.
"Tidak mungkin ... tidak mungkin! Abang bohong! Nggak lucu, Bang. Leluconnya nggak lucu."
"Kuatkan dirimu, Kena. Abang tau kamu sedih, Abang juga sama. Tapi mau bagaimana lagi? Biarlah dia bahagia di sana."
"Tidak! Aku mau susul dia! Dia cahayaku, dia teman pertamaku, dia membawa harapanku. Aku nggak bisa hidup tanpa dia. Putri adalah hidupku. Kenapa dia tega ninggalin aku sendiri ..."
Bang Ian melepaskan pelukannya, tapi ia masih memegang erat kedua bahuku.
"Sadar Kena! Masih ada aku di sini! Jangan anggap aku tidak ada, itu kejam."
"Bang Ian ..."
Kali ini aku yang memeluknya. Menumpahkan semua tangisanku di bahunya. Ia juga memelukku, menangisi kepergian adiknya.
Untuk kedua kalinya aku hancur. Ditinggal pergi oleh orang yang aku sayangi. Terlalu kejam, aku tersakiti di sini.
Memang salahku karena sejak awal terlalu berharap. Harusnya aku mensyukuri kehidupan sendiriku. Kali ini apa yang akan aku lakukan? Hidupku hampa. Cahaya dan harapanku telah pergi.
"Bang Ian, jangan pernah tinggalkan aku sendiri, aku takut."
"Tak akan pernah, Na. Tak akan pernah."
Harapan di antara dua anak panah, sama-sama membawa pada kehancuran. Kematian dalam kesakitan atau kehidupan dalam kematian. Sama saja. Tapi, di antara dua anak panah masih ada celah untuk menghindar. Hanya kamu yang ingin berusaha menghindar atau tetap memilih tertusuk panah.
Aku memilih untuk menghindar. Meskipun nantinya akan ada anak panah lain yang akan menusuk, aku akan terus menghindar.
~Tamat~
Pejuang deadline mana suaranya!? 😂
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top