Chapter 2
Seminggu kemudian, Putri datang lagi ke rumahku. Membawa sebuah rantang makanan, tak lupa dengan beberapa mi instan.
"Kena! Aku bawa ini untukmu! Ibuku yang memasaknya loh."
Dia berjalan dengan semangat menuju ke arahku. Duduk di kursi kayu, kursi yang sama saat aku tidur pasca terkena demam minggu lalu.
"Humm ... baunya harum, kan? Ibuku memasak lontong sama sayur rebung, kamu pasti suka."
Aku terdiam saat dia dengan wajah konyolnya membuka penutup rantang, air liurnya sampai mau menetes.
"Kamu belum makan, Put?"
"Belum, hehe. Habisnya aku kangen banget sama kamu. Jadi, sarapan di rumah aku lewatkan deh."
Wajahku bersemu mendengarnya. Dasar Putri, pandai sekali membuatku tersentuh.
"Ya sudah. Kita makan saja berdua."
"Yey! Aku sayang Kena!"
Terkadang sifat anehnya yang membuatku begitu menyukainya.
Begitu makanan habis, aku berinisiatif untuk mencucinya. Namun seperti biasa, Putri akan menolak dan mencucinya sendiri. Aku hanya bisa pasrah dengan sifat keras kepalanya itu.
"Oh ya, Kena, dua minggu lagi akan ada pasar malam tak jauh dari sini. Kamu mau pergi tidak?"
Aku menghampirinya, ikut membantu mengelap rantang makanan.
"Aku tidak punya banyak uang. Lagian, aku juga tidak suka tempat yang ramai."
"Wah! Kenapa?" Dia menoleh kearahku. "Padahal pasar malam asik loh! Ada banyak sekali wahana permainan, ada kedai makanan, ada eskrim juga. Dan siapa tau, di sana kamu ketemu jodohmu, hehe."
Aku mengelap tanganku dengan handuk kering. "Tidak mau. Lebih baik aku di rumah atau mencari tempat kerja part time baru untuk menambah pemasukan."
"Ihh, Kena enggak asik. Sekali-kali refreshing dong, biar otaknya tidak capek." Putri mencolek daguku dengan busa sabun. "Aku lihat wajahmu selalu suram, makanya aku tawari mau pergi kesana atau tidak, aku akan temani kamu kok, tenang saja."
"Kamu ini ... nih ambil." Aku melemparkan busa ke wajahnya. Ia tertawa dan mulai membalasku.
"Haha."
"Hehe, Kena manis kalo lagi tertawa ya."
Aku spontan terdiam.
"Lah? Sekarang malah jadi patung."
Plok!
Aku tersadar saat busa sabun yang sangat banyak menghiasi wajahku. Putri tertawa keras melihatnya.
"Haha, Kena lucu sekali pas kaget."
"Putri!"
"Kyaaa! Lari! Ada monster busa mengejarku! Hahaha."
"Jangan lari kamu!"
Kami berlarian mengitari ruang tamu. Ketika aku sudah dekat dan akan menarik bajunya, ia berkelit lalu berlari lebih cepat. Lincah sekali, seperti kelinci.
"Sudah cukup! Aku sudah tidak kuat lagi!" teriaknya.
Putri duduk di kursi. Kakinya diluruskan, sedangkan tangannya sibuk mengipasi wajah.
Menghembuskan napas. "Aku juga." Aku ikut duduk di sampingnya. "Putri, nanti siang ayo ke Indomaret. Aku mau belanja kebutuhan mingguan."
"Bukannya aku sudah membawakanmu mi instan?"
"Dua mi saja mana cukup untuk seminggu, itu kurang."
"Ya ya ya."
Aku melirik Putri. Dia masih sibuk mengipasi diri lalu pandanganku beralih ke depan, ke arah pintu yang tertutup. Aku menyukai keceriaan pagi ini.
....
Siangnya kami pergi berjalan-jalan. Panas sinar mentari tak membuat kami takut. Mungkin lebih tepatnya aku yang tidak takut, sedangkan Putri menggunakan payung biru yang kupinjamkan padanya. Katanya ia tak mau disorot cahaya, karena bukan artis terkenal. Alasan yang konyol sekali.
"Setelah ke Indomaret, kamu mau nggak menemaniku ke toko buku? Aku mau beli novel terbaru karya penulis favoritku."
"Tentu."
Kami melewati trotoar. Hanya ada pejalan kaki yang memakainya, selebihnya suara bising kendaraan mewarnai. Beberapa rumah terlewati begitu saja. Di depan kami sebuah halte bus berdiri dengan kokohnya. Terdapat beberapa orang duduk di sana. Mungkin sedang menunggu busnya datang.
"Kita bertemu di sana, bukan? Saat itu kamu meringkuk seperti anak kucing kedinginan." Dia tertawa.
Mendengus pelan. "Jangan samakan aku dengan anak kucing. Dan juga jangan tertawa."
"Loh? Kenapa? Apa salahnya tertawa?"
Karena tawamu mengalihkan indraku. Membuatku tenggelam dalam rasa hangat yang sudah lama kurindukan.
"Tidak. Abaikan saja ucapanku tadi."
"Yahhh ... Kena ihh!!" Putri memukul bahuku berkali-kali, tapi tidak sakit.
Sepertinya dia merajuk padaku. "Sudahlah, kita harus segera ke Indomaret."
"Humph!" Dia mengembungkan pipinya.
Dasar anak-anak. Padahal tingginya mengalahkanku.
Sesampainya di Indomaret, kami berpencar. Aku membeli makanan instan untuk persediaanku kedepannya. Berbeda dengan Putri yang asik memandangi lemari es krim dan juga buah-buahan di ujung sana.
Setelah mendapatkan semua yang ku butuhkan, aku membawanya ke kasir. Tak lama Putri kembali dengan dua kotak es krim dan buah naga di pelukannya.
"Wow, kau tidak takut otakmu beku karena kebanyakan makan es krim?" sindirku.
"Tidak."
"Tidak takut esnya mencair?" tanyaku.
"Kalo mencair ya tinggal masukkan ke kulkas."
"Terserah."
Aku selalu kalah jika di ajak berdebat dengannya.
Kami membayar belanjaan kami, lalu melajutkan perjalanan ke toko buku terdekat.
"Kena suka novel, tidak?"
"Suka."
"Wah, berarti koleksi novel di rumahmu banyak dong."
"Tidak."
"Loh? Katanya suka novel?" Putri tidak mengerti.
"Ibuku tak mengizinkan aku membelinya."
"Kenapa?"
"Aku tidak tau."
"Hm, tidak masuk akal."
"Cerewet."
"Kamu bilang apa tadi?"
"Bukan apa-apa."
Perjalanan ke toko buku entah kenapa terasa cepat sekali. Ia menarikku begitu melihat novel yang ingin dibelinya di rak buku best seller. Aku pasrah diseret kesana kemari. Setelah mendapat novel yang ia mau, baru aku bisa lepas darinya.
"Buku ini bagus loh, Ken! Ceritanya tentang tokoh utama perempuan yang berjuang demi menegakkan keadilan para kaum perempuan yang tertindas. Atau ini, cerita tentang laki-laki yang menanti cinta pertamanya di reinkarnasikan kembali meskipun harus berbeda spesies!"
"Aku lebih suka yang gore."
"Apa!? Itu kan seram, nggak boleh! Nih, baca yang ini saja."
Ia mengambil sebuah buku genre teenlit dan memberikannya kepadaku. Baru saja ingin protes, dia sudah mendorongku ke penjaga toko dan membayar buku kami.
Ah, lagi-lagi sifat keras kepalanya kambuh.
Kami berjalan keluar dari toko. Putri nampak bahagia sekali dengan barang-bangan di kedua tangannya. Aku ikut tersenyum melihatnya.
"Hai Putri, mau melihat matahari terbenam bersamaku? Ini sudah jam 5 sore loh. Kita belanja terlalu lama."
Putri tersenyum ke arahku. "Boleh kok."
Aku terkejut saat ada darah mengalir di hidungnya. "Putri! Kamu mimisan?"
Entah penglihatanku yang salah atau bukan, Putri nampak syok dan segera menyeka darahnya dengan lengan bajunya. "Tidak, aku tidak apa-apa, jangan khawatir. Ah, aku harus pulang. Jangan lupa baca buku yang aku belikan tadi ya, Ken. Sampai jumpa dua minggu lagi!"
Dia berlari menjauh. Tanganku menggenggam plastik erat. "Sampai jumpa juga." Aku tetap mengatakannya meskipun dia sudah sangat jauh dariku, menghilang di tikungan sana.
Banyak sekali darahnya tadi. Aku berharap dia baik-baik saja.
Kulihat buku di tangan kiriku, bertuliskan Bestfriend. Bukunya tidak terlalu tebal tapi genre seperti ini tidak cocok dengan seleraku.
Langit jingga mulai menggelap. Hari ini, perpisahan kami tanpa ada senyum darinya. Seperti ada yang kurang.
Tbc...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top