Chapter 1

Hari itu, gerimis membasahi jalanan polos, menimbulkan titik-titik basah yang semakin lama bertambah banyak.

Aku berdiri di jalanan hitam putih, menghadang dari dua sisi, bersama dengan payung yang melindungiku dari tetesan air. Angin dingin berhembus, hawa sejuk menusuk tulang. Dan sungguh sial, aku tidak punya jaket yang bisa kukenakan.

Mendongak menatap langit. Begitu gelap dan suram, padahal beberapa menit lalu masih berwarna biru cerah dengan kapas putih berhamburan. Alam memang sulit di tebak, sama seperti kehidupanku.

Gagang payung terlepas dari genggaman, terbang di bawa oleh angin. Hujan seketika mengguyur tubuh. Tanganku mengepal, seiring dengan isakan kecil keluar dari bibir. Aku menangis dan hujan menyembunyikannya, selalu saja begitu. Itulah mengapa aku begitu menyukai hujan, karena hanya dia penghiburku,  tempat dimana aku bisa mencurahkan kesakitanku, satu-satunya teman baik yang aku punya.

Sampai kapan aku bisa bertahan dalam kesendirian ini?

Menutup mata. Angin dingin kembali menerpa. Senandung kecil terucap begitu saja. Ada banyak sekali kata-kata yang terpikirkan, namun hanya tetesan bening yang terasa asin terlarut dalam hujan.

Aku ingin berbagi rasa ini dengan orang lain.

Langkah kaki terdengar beradu dengan suara air. Aku menyusuri jalan menuju halte terdekat. Langkah demi langkah kaki ini mulai kehilangan keseimbangannya. Rasa sesak perlahan hinggap di dada.

"Tidak boleh! Aku harus tetap bertahan!"

Hanya untuk satu impian aku hidup. Meraih cahayaku kembali, melihat indahnya langit bersama orang lain. Maka dari itu, aku tak boleh berhenti dan menyerah sampai di sini.

"Kumohon, kuatkan aku."

Tak tahan dengan rasa sakit ini, aku segera duduk sesampainya di halte. Aku tau orang sepertiku tak kan mungkin berani mendekati matahari. Cahayanya terlalu terang, aku terbakar di bawahnya. Tapi aku ini manusia egois. Meski tau itu berbahaya tetap saja aku mendambanya.

"Aku ingin merasakan itu, bukan hanya sekedar rasa sakit saja."

Perlahan mata ini kehilangan jejak cahaya. Kegelapan mulai menyambut. Hitam, tanpa ada campuran warna lain. Di saat itulah tubuh ini mulai mati rasa, dan aku tak tahu apa yang terjadi setelahnya.

....

Tepukan pelan di pipi membangunkanku. Ah, ada dimana aku? Benar juga, kemarin aku tertidur di halte.

"Hei, kau tak apa? Bajumu basah loh,"

Aku menoleh ke arah sumber suara. Dia perempuan yang cantik dengan rambut sebahu. Berdiri di sebelahku. Kedua tangannya memegang dahi dan pundakku.

"Tubuhmu demam loh. Cepat pulang gih."

Menelan ludah, ku beranikan diri bertanya. "Maaf, kamu siapa ya?"

Ia tersenyum, manis sekali, sampai aku terpana.

"Putri, Anatasya Putri. Sini aku anterin pulang."

Ia menarik tanganku agar berdiri. Hampir saja tubuh ini menubruknya jika saja ia tidak sigap menahanku.

"Rumahmu dimana?" tanyanya ramah.

Aku terdiam. Kepalaku rasanya sakit sekali. "Tidak jauh dari sini. Tinggal lurus lalu belok ke kiri saat ada pertigaan di depan sana."

Ia mengangguk sekilas dan mulai menuntunku.

Rasa hangat terasa di tangan kanan dan leherku. Suara detak jantungnya terdengar sampai ke telinga. Panas tubuh kami beradu, deru napas menyatu. Terasa familiar. Seperti di peluk kakakku dulu.

Kami berjalan cukup jauh. Putri berhenti setelah sampai di pertigaan.

"Setelah belok kiri lalu kemana? Cat rumahmu warnanya apa?"

"Hijau kebiruan. Setelah melewati tiga rumah dari kanan jalan, itu rumahku."

Mengerti. Ia kembali melangkah. Aku meliriknya, ternyata dia lebih tinggi beberapa senti dariku, kulitnya kuning langsat, lembut saat di sentuh.

"Nah, kita sudah sampai."

Suaranya membuatku tersadar. Ah, mengapa waktu terasa cepat sekali sih?

Ia membawaku masuk ke dalam. Lalu langkahnya terhenti. Aku meliriknya, ia nampak tertegun dengan pandangan mengarah lurus ke depan. Dia lihat apa sih?

"Astaga! Apa-apaan dengan sampah mi instan ini?!" teriaknya.

Aku memejamkan mata. Telingaku berdenging mendengarnya. Ia terkejut saat tangan kiriku yang bebas memegang kepalaku.

"Wahh, maafkan aku!"

Dia menuntunku menuju kursi kayu panjang. Aku duduk diam tanpa sepatah kata. Kemudian dia berjalan menjauh entah kemana, saat kembali sudah ada bantal di pelukannya.

Ia menyuruhku berbaring, aku menurut.

"Aku akan beli sayuran dulu. Kamu diam saja disini beristirahat, aku akan segera kembali."

Aku hanya mengangguk.

Ia tersenyum lagi. Lalu menepuk kepalaku pelan. "Anak pintar." pujinya.

Setelah itu, dia keluar membawa tas belanjaan yang sepertinya diambil dari dapur. Meninggalkanku sendiri disini dengan suhu tubuh tinggi.

Sepi. Tak ada suara apapun selain deru napasku yang cepat, serta rintihan kecil karena kedinginan. Di rumah kecil ini aku hidup. Paman berbaik hati membelikanku rumah setelah mendapat semua kekayaan ayahku. Benar-benar paman yang baik.

Memejamkan mata sejenak, melupakan rasa sakit yang menyerang. Tanpa kusadari, aku tertidur karena kelelahan.

Harum sebuah masakan membangunkanku dari tidur. Aku duduk, Putri keluar dari dapur membawa nampan berisi satu mangkuk dan sebungkus bubur instan di atasnya. Ia berjalan lalu duduk di sampingku.

"Aku kira kamu belum bangun tadi, tidurmu terlihat nyenyak sampai aku nggak berani bangunin. Oh ya, ini aku buatkan sup spesial dan juga bubur instan." Putri meletakkan nampan itu ke kursi.

Aku menatapnya. Putri tersenyum lebar. Matanya berbinar melihatku.

"Uangnya ...," belum selesai aku berbicara, dia sudah memotongku.

"Tenang saja, aku pakai uangku sendiri. Ayolah, coba masakanku! Kau tau? Ini pertama kalinya aku membuatnya untuk orang lain selain kakak laki-lakiku yang seperti emak-emak. Ceramah sini ceramah sana."

Satu fakta yang ku ketahui tentangnya, dia sangat cerewet.

Satu suapan sup, aku terdiam. Dia menatapku penuh harap.

"Rasanya ... kamu menaburkan berapa banyak micin didalamnya?"

"Setengah sendok makan."

Pantas saja. Penyedapnya terlalu kuat. Tak heran jika kakaknya seperti itu.

"Ayo di habiskan!"

Kau ingin meracuniku?

Melihatnya yang berharap itu membuatku tak rela untuk mengecewakannya. Mati-matian aku menahan mual demi menghabiskan sup itu. Walaupun membutuhkan waktu yang cukup lama, akhirnya aku selesai memakan semua masakannya. Perutku rasanya seperti mau meledak.

Putri mencuci peralatan makan, sekalian juga memunguti semua sampah mi yang tercecer di segala tempat. Setelah selesai, dia menghampiriku untuk mengecek suhu tubuh.

"Masih hangat. Tak apa, hanya butuh istirahat sebentar. Ah, kita sudah berbicara banyak dari tadi, tapi aku belum tau siapa namamu." Ia menatapku. Tak lupa dengan senyum manisnya.

"Kena, Keinara Syani."

"Baiklah Kena, mulai hari ini kita berteman!" serunya bersemangat.

Aku hanya melihatnya. Dadaku menghangat dengan sikapnya.

"Wah! Sudah pukul 8 pagi, aku harus pergi. Ada Ekskul Pramuka yang harus aku ikuti. Kamu tidak apa-apa kan kutinggal sendiri?"

"Iya."

Dia keluar dari rumahku. Sebelum ia benar-benar menutup pintu, sebuah senyum manis terukir di wajahnya. Dan pintu pun tertutup perlahan.

"Orang aneh."

Bolehkah aku berharap padanya?



Tbc...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top