S E M B I L A N

"I won't tell you what I've seen / Only that this world can be so mean / Brave souls shuffling up and down the halls / No one visits no one even calls / Did you wait there too?"
-Home, Meg Hutchinson

-

Rumah.

Apa itu rumah?

Apa definisi rumah sebenarnya?

Orang bilang rumah ada tempat di mana kau tinggal, tempat yang melindungimu dari rinai hujan dengan atapnya, tempat yang melindungimu dari sengatan sinar mentari, tempat di mana kau tidur, tempat di mana kau terbangun di pagi hari dan siap untuk memulai hari.

Para melankolis berkata bahwa rumah adalah tempat di mana kau merasa nyaman. Di mana kau merasa memang ada di sana. Di mana kau merasa aman. Di mana kau bisa menjadi dirimu sendiri. Mereka berkata bahwa rumah bukan hanya tentang bangunan, namun rumah juga bisa adalah manusia. Manusia yang mengerti kita dengan baik.

Dan dari semua itu, satu pertanyaan kembali muncul di benakku tanpa dapat dicegah.

Apakah aku memiliki rumah?

Ya, tentu, aku memiliki sebuah bangunan yang kupanggil rumah.

Namun apakah itu benar-benar rumahku?

-

Mereka bilang bahwa rumah adalah tempat kau bisa menjadi dirimu sendiri tanpa perlu merasa dinilai oleh orang lain, namun dalam kasusku, aku tahu itu tidak berlaku.

Aku tidak akan pernah bisa menjadi diriku sendiri.

Tidak dengan pandangan menilai yang mereka berikan.

Tidak dengan segala privasi yang sukar kudapatkan.

Aku duduk di meja makan dengan perasaan aneh yang bercongkol dalam diriku. Di sampingku sudah ada kakakku yang masih terus mengoceh mengenai---aku tak tahu, aku bahkan tak ingin tahu.

"Makanmu kok dikit banget?" mama berkata, suaranya cukup keras, begitu melihat piringku hanya terisi sedikit sekali nasi.

Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku namun memang napsu makanku menurun dengan drastis. Aku bahkan tak dapat merasa lapar. Tak juga merasa maag yang kerap menyerangku.

"Ayo tambah!" mama memerintah.

"Makan itu yang banyak!" papa menyahuti, kulirik pria itu dan mendapatinya melemparkanku sebuah tatapan yang mana membuatku kembali menciut.

Aku mengangkat lenganku, hendak mengambil nasi kembali saat secara tidak sengaja langanku bertemu dengan bahu kakak.

"Gimana sih! Ah!" kakak berucap, jelas sekali tak suka dengan fakta bahwa lenganku secara tidak sengaja menyikut bahunya, perempuan itu berdesisi dan melemparkanku tatapan tajam yang berhasil membuat diriku semakin menciut.

Jadi,

Inikah yang dinamakan rumah?

[-][-][-]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top