Part 8 : What the?

Setelah malam itu, Shine mengikuti semua keinginan Daffa. Tidak berkeliaran setelah pulang sekolah selama menjelang ujian, tidak bermain-main setiap hari bersama teman-temannya dan belajar dengan giat.

Ya... tentu saja itu karena Daffa selalu mengawasinya dengan sangat ketat.

Bayangkan saja, Daffa mengantar jemput Shine ke sekolah dengan tepat waktu, memastikan Shine masuk ke dalam kelasnya dan menjemput Shine di depan pintu kelas, hingga beberapa temannya terus-menerus menanyai nomor ponsel Daffa, karena pria itu sangat mencuri perhatian.

Shine bisa gila!

Tapi gila yang dirasakan Shine terbayar sudah. Kini, ia sedang tertawa sambil berteriak-teriak memeluk teman-temannya yang baru saja melihat papan pengumuman kelulusan, dan mereka semua dinyatakan lulus!

Shine sudah tidak sabar untuk segera pulang dan memberitahu orang tuanya akan hal ini. Walaupun nilai Shine tidak tercatat di deretan nilai-nilai tertinggi, setidaknya ia lulus dengan nilai yang cukup memuaskan.

"Aku tidak menyangka kita akan lulus secepat ini," Vonie mempererat pelukannya, mereka saling merapatkan tangan, serasa tidak ingin berpisah.

"Tenang saja, kita akan selalu bertemu setelahnya, dan yang paling penting, lebih banyak waktu untuk kita bersenang-senang," ucap Sophie bersorak.

"Tentu saja, yeeey," sambung yang lain ikut bersorak senang.

Mereka melepaskan pelukan lalu duduk di bawah pohon pinggir lapangan basket, masih dengan suasana haru dan keceriaan usai kelulusan.

Banyak murid yang berlarian, saling memeluk satu sama lain, membentuk kelompok masing-masing hanya untuk sekedar menumpahkan kegembiraan mereka.

"Aku akan merindukan sekolah ini," melow Shine merasakan angin yang berhembus disekitaran pohon. Rambut panjangnya melambai lembut menutupi sebagian wajahnya, Shine merasa risih lalu menyibak rambut itu asal.

"Omong-omong, kalian sudah menentukan akan lanjut kemana setelah ini?" tanya Jane dengan antusias.

"Tentu saja aku akan menjadi desainer, aku sudah mengatakan berulangkali pada kalian bukan?" jawab Sophie mantab. Cita-citanya memang menjadi seorang desainer terkenal.

"Aku model, itu sudah pasti, bagaimana dengan dirimu sendiri Jane?" Vonie balik bertanya.

"Hmm, aku akan berhenti dalam setahun ini, sambil memikirkan apa keinginanku, jadi aku ingin bermain-main terlebih dahulu sebelum melanjutkan study, karena aku belum menemukan apa yang benar-benar aku sukai," jawab Jane tanpa beban.

Mendengar perkataan teman-temannya, dalam lubuk hati yang paling dalam, Shine merasa iri, tentu saja karena mereka bisa menentukan apapun yang mereka inginkan dengan bebas. Sedangkan Shine? Daffa sudah memilihkan masa depannya. Ia harus mengambil sekolah bisnis agar dapat ikut mengelola perusahaannya, bahkan Daffa sudah mendaftarkannya ke salah satu perguruan tinggi bergengsi.

Ketiga temannya melirik Shine. Jane lalu menepuk-nepuk pundak gadis itu. "Tidak apa-apa, sebenarnya aku juga ingin menjadi pebisnis suatu saat nanti, tapi aku tidak ingin mengambil keputusan secepat itu, berbeda denganmu Shine, perusahaanmu sudah ada di depan mata," hibur Jane.

Tentu saja ketiganya tahu apa yang akan Shine lakukan setelah lulus, karena Shine selalu menceritakannya pada mereka, termasuk hubungannya dengan Daffa yang hanya jalan ditempat, sama sekali tidak ada perubahan ataupun kemajuan, padahal mereka adalah suami istri.

"Ah, aku sampai lupa, bagaimana dengan pesta pernikahanmu Shine? Bukankan kalian akan mengadakan pesta setelah kelulusanmu?" Vonie merubah topik pembicaraan, tak ingin Shine memikirkannya berlarut-larut.

Hal itu berhasil membuat pikiran Shine teralih, wajahnya bersemu. Shine tersenyum simpul sambil menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tau, kak Daffa tidak pernah membahasnya."

"Bagaimana dengan orangtuamu?" tanya Vonie lagi.

"Mereka juga belum membahasnya," jawab Shine mengerucutkan bibir, mengingat janji mereka.

"Katakan pada kami, sebenarnya kau mencintai kak Daffa atau tidak?" desak Sophie. Lagi-lagi ia memberikan pertanyaan yang sejak berminggu-minggu yang lalu ia selalu tanyakan.

Shine mengangkat bola matanya. "Tidak tau," jawabnya jujur.

"Ku pikir belum terlambat jika kau ingin membatalkan pernikahanmu, sebelum pesta itu berlangsung, sebelum publik tau, lagipula selama ini dia tidak menyentuhmu dan memperlakukanmu sebagai seorang istri bukan?"

Tangan Jane terulur untuk menjitak kepala Sophie karena perkataannya barusan. "Mereka sudah sah menikah, idiot."

Sophie hanya terkekeh. "Siapa tau dia ingin menyerahkan kak Daffa padaku," candanya, berharap.

"Seperti yang sudah kita katakan sebelumnya, aku pikir kak Daffa hanya menunggu waktu yang tepat," ujar Vonie.

"A-apa maksudmu?"

"Kau masih berlagak polos Shine?" Vonie melotot, kemudian ia menarik leher Shine untuk mendekat dan berbisik ditelinganya, diikuti teman-teman yang lain. "Dia akan melakukannya setelah resepsi pernikahan kalian, karena kau sudah bukan pelajar lagi,"

Ucapan Vonie yang jahil sukses membuat wajah Shine merah padam. Walaupun berkali-kali mereka menggoda Shine akan hal itu, tetapi tetap saja Shine tidak bisa menahan rasa malunya. Rasanya ia tidak bisa melakukan sesuatu yang intim bersama dengan Daffa. Bayangkan, Daffa itu kakaknya! Kecuali, jika Shine hilaf, ya, benar, jika Shine hilaf.

"Benar, benar, kau harus bersabar Shine."

"Aku tidak menantikannya Soph!"

"Bohong, wajahmu memerah," Sophie semakin senang menggoda Shine, yang lain hanya tertawa.

"Baiklah Shine, katakan pada kami kapan pestamu akan dilaksanakan, dengan senang hati kami akan membantumu mempersiapkannya." Jane memutus candaan tentang malam pertama Shine, karena telinga gadis itu yang kian memerah.

"Tentu saja Jane, tunggu kabar baik dariku," tukas Shine sebelum ponselnya berbunyi.

Ternyata Daffa.

Shine celingukan mencari keberadaan kakak yang juga suaminya itu.

Dari jauh saja Shine bisa mengenalinya, mengenali badan tegap Daffa, mengenali rambutnya yang kecoklatan, serta tangannya yang melambai memanggil Shine.

"Aku duluan," pamitnya pada ketiga sahabatnya untuk berlari menghampiri Daffa.

Sungguh, ia ingin segera memeluk Daffa dan mengatakan jika ia sudah lulus, dan malamnya Shine akan meminta pesta barbeque pada Ema dan Brata, dan juga ia akan merengek pada Darren untuk pulang berkumpul bersama-sama.

Senyum Daffa sudah terlihat dari kejauhan, senyum yang sudah lama tidak Shine lihat, yang benar-benar Shine sukai. Senyum lembut Daffa ketika menunggunya, kali ini senyumnya benar-benar tulus tidak seperti belakangan ini yang terkesan memaksa.

Hanya melihat senyum itu saja membuat Shine ingin menangis.

Senyum Daffa semakin jelas ketika jarak diantara mereka semakin dekat. Daffa memperlebar senyumnya, lalu mengelus kepala Shine yang sudah berdiri di depannya dengan mata berkaca-kaca.

"Selamat Shine," ucap Daffa sangat lembut.

Shine tidak bisa membendung air matanya, secepat kilat ia memeluk Daffa.

"Aku berhasil kak," katanya terisak.

Daffa hanya tersenyum, sembari terus mengelus-elus rambut Shine. "Ayo kita pulang, dan katakan ini kepada ayah dan ibu," ajaknya membuat Shine mengangguk dalam dada bidang Daffa.

.

Malamnya, keinginan Shine terkabul, ia bersama kedua orangtuanya, Daffa yang masih di dalam, dan semua orang yang bekerja dirumahnya mengadakan pesta barbeque di halaman belakang.

Minus Darren, kakaknya itu sama sekali tidak datang untuk menemuinya, padahal seharian Shine sudah mencoba menelpon dan merengek-rengek meminta Darren untuk pulang ke Indonesia. Tetapi kakaknya yang satu itu mengatakan bahwa ia sangat sibuk.

Jahat bukan? Tidak juga, karena Darren sudah berjanji untuk datang keesokan harinya dan berjanji akan membawakan Shine banyak hadiah mahal dari Singapura. Tentu saja hal itu membuat Shine senang dan tidak akan bisa marah padanya.

Shine memperhatikan orang-orang yang sedang memanggang daging di atas rumput, sedangkan ia dengan tidak ingin repotnya duduk santai di kursi teras. Ayahnya terlihat sibuk membantu pak satpam mengipas-ipas daging yang sudah dipotong setipis mungkin itu, dan ibunya pun ikut membantu.

"Tuan putri, apa yang kau lakukan disini?"

"Oh, kak," Shine menoleh mendapati Daffa yang keluar dari pintu yang tersambung ke teras belakang. Daffa masih memakai kacamatanya, menandakan ia belum selesai dengan pekerjaan di laptopnya.

Daffa duduk disamping Shine dan melepas kacamata baca itu, ia mengucek pelan matanya yang nampak lelah. "Seharusnya kau membantu mereka."

"Tidak mau, nanti aku bau asap," jawab Shine merapatkan jaketnya, dingin.

Daffa tersenyum mendengar jawaban Shine, sangat khas dengan gadis itu. "Atau membantuku misalnya, supaya pekerjaanku cepat selesai dan bergabung dengan mereka," lanjut Daffa.

Shine menggeleng cepat.

"Cepat atau lambat, kau harus mempelajarinya Shine, karena kau akan bekerja diperusahaanmu nantinya."

"Bukankah ada kau, kak." tukas Shine memandang Daffa.

Mata Daffa balas memandang Shine. "Tidak selamanya kau bisa mengandalkanku Shine, aku memang akan selalu ada disisimu selamanya, kapanpun aku akan melindungimu, tapi, kau harus menjadi kuat untuk dirimu sendiri."

Bola mata Shine melirik ke kanan dan ke kiri pelan, mengamati mata jernih Daffa yang sedang bersungguh-sungguh, ia tidak dapat menangkap arti ucapan pria itu.

Daffa menghela napas, menjitak jidat Shine pelan, hingga gadis itu mengaduh dan mengusap-usap jidatnya yang sebenarnya tidak sakit.

"Pesta pernikahan yang seperti apa yang kau inginkan, Shine?" tanya pria itu tiba-tiba.

Shine membulatkan matanya, memandang Daffa dengan tatapan tidak percaya. Ternyata pria itu masih mengingat janjinya, ia akan mengadakan pesta pernikahan yang sangat meriah setelah Shine lulus.

Mungkin Ayah dan Ibunya lah yang sudah mengingatkan Daffa.

"Kenapa kau diam saja? Katakan padaku Shine, pesta yang seperti apa yang kau inginkan?" Senyuman lembut Daffa terlihat lagi di wajah tampannya.

Shine nampak berpikir, tentu saja ia tidak akan menyia-nyiakan hal ini, setelah pernikahan impiannya tidak terwujud beberapa bulan lalu, tentu saja ia ingin pesta yang sangat meriah yang seluruh orang harus mengetahui jika ia adalah nyonya Daffa Revano Abrata.

"Benarkah aku boleh menentukannya kak?" mata Shine berbinar.

"Tentu saja."

"Aku ingin pesta yang sangat megah, seperti pernikahan dalam istana Inggris yang ditonton banyak orang. Dan aku ingin memakai gaun yang indah, yang membuat para wanita iri denganku karena gaun indah ku," ungkap Shine.

Daffa tertawa, membuat Shine kesal.

"Kenapa kau tertawa kak?"

"Impianmu sejak kecil adalah pernikahan seperti dalam negeri dongeng, benar-benar kekanakan," jawab Daffa.

"Memang itulah impianku!" ketus Shine merasa diolok-olok.

"Baiklah."

"Huh?"

"Baiklah, aku akan mengabulkan impianmu, Shine."

Ntah untuk keberapa kalinya Shine terpesona dengan senyuman Daffa, apalagi tangan besar Daffa sangat terasa nyaman di kepalanya.

Perasaan apalagi yang lebih nyaman dari ini? Cinta? Ia tidak peduli ia cinta atau tidak pada Daffa, yang Shine tahu, ia sangat nyaman dengan perlakuan Daffa padanya sekarang. Ia sangat senang berada di dekat Daffa, dan ia merasa terlindungi.

Shine menurunkan sedikit kepalanya untuk membuat jarak dengan tangan Daffa, lalu ia menyentuh tangan itu dan menariknya pelan ke atas, memegangnya erat.

"Terima kasih kak," ucapnya tulus. Jika bukan karena Daffa ia pasti tidak akan berusaha dan belajar bersungguh-sungguh, ia kesal sekaligus senang karena ada seseorang yang benar-benar memperhatikannya, walaupun cara Daffa sedikit membuat Shine tidak merasa bebas, tapi Shine tahu, niat Daffa baik.

"Untuk?" Daffa mengangkat alisnya.

"Membuatku bahagia," Shine tersenyum. "Saat ini aku bahagia, kak."

Shine memajukan sedikit tubuhnya ke arah Daffa, lalu dengan beraninya ia mengecup bibir Daffa cepat.

Pria itu terkejut dan memundurkan tubuhnya hingga kursi yang ia duduki ikut bergeser, ekspresi wajahnya berubah, antara kaget dan tidak tau harus berbuat apa. Ia tidak menyangka Shine akan melakukan hal itu.

Sedangkan Shine, bibir mungilnya tersenyum lebar, menampakkan deretan gigi rapihnya, ia tidak peduli suasana yang berubah menjadi canggung, yang ia tahu, ia ingin mencium Daffa.

"Aku harus menyelesaikan pekerjaanku Shine," Daffa berdiri, memilih pergi untuk menghindari Shine.

"Cepat selesaikan, dan segera bergabung bersama kami kak," balas Shine riang, lalu memandang keluarganya yang sedang sibuk memanggang.

Disana Ema terlihat sedang memperhatikan Shine dengan senyum kaku yang tidak bisa Shine artikan. Mungkin, ibunya itu melihat apa yang baru saja Shine lakukan.

Gadis itu membalas senyuman Ema, sambil melambaikan tangan, ia memutuskan untuk berlari, bergabung bersama mereka, karena bau daging panggang yang menyengat membuatnya sangat lapar.

Tbc....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top