𝑫𝒓𝒆𝒂𝒎𝒔

Jika dipikir lagi, ruangan tersebut tidak pernah memiliki penerangan cukup di atas jam delapan malam; kentara menampilkan aktifitas dari sang pemilik, walaupun tidak seaktif saat matahari memuncak pada penampakan langit. Tetapi, jelas, menjadi tidak berpenghuni berkat kegiatan mencari uang atau mungkin menjalankan tujuan lain sebagai bumbu pelengkap, tanda sebuah tanggung jawab orang dewasa. Seperti biasa, kondisi ruangan hanya diterangi oleh cahaya yang berasal dari televisi menyala; memerlihatkan acara siaran langsung dengan kondisi meriah disertai tawaan memenuhi indra pendengaran, sungguh memiliki definisi berbanding terbalik dari kata remang dan sunyi, tetapi sosok lelaki sebagai pirsawan itu telah menyadari sejak awal dari sebuah perbedaan tersebut. Menduduki sofa tunggal pada posisi punggung sedikit membungkuk, kedua lengan tangan menahan beban tubuh dengan cara diletakkan pada atas pangkuan--- memegang segelas bir kaleng yang sudah dinikmati semenjak setengah jam lalu, kali ini dibiarkan sampai lidah merasa rindu sesaat. Tatapan dari netra kemerahan di balik eksistensi kacamata menjadi bukti kesetiaan, berakhir melepas tawaan pelan saat sang pemilik atensi panggung berhasil melempar sebuah lelucon jenius kepada banyak orang. Tawaan bercampur senyuman murni, ekspresi hidup dari pirsawan tersebut benar-benar sebuah kesungguhan. Walaupun beberapa saat kemudian, sirat hambar mendominasi setelah otak memutar kembali sebuah memori yang tidak akan mudah dilupakan.

Rosho Tsutsujimori, lelaki tersebut memutuskan sedikit menunduk bersamaan memejamkan mata sejenak. Indra pendengaran jauh lebih tajam untuk menyimak, tetapi suara ilusi menjadi pelengkap atas sisi menyedihkan dalam mengingat; dua suara saling berinteraksi, membentuk rangkaian kalimat dalam memerankan peran masing-masing. Sebuah komunikasi alami di mana sepasang pelawak di atas panggung menjadi pengisi suasana di depan para penonton dan membuat orang banyak yang berpikir bahwa mereka adalah duo jenius, tetapi sayang sekali pandangan tersebut telah hancur menjadi berkeping-keping.

Rosho sangat amat mengenal sosok lelaki di atas panggung itu, bagaimana bisa ia melupakan identitas dari teman baik sejak lama? Sasara Nurude, nama yang jelas telah membekas bagi orang-orang pecinta hiburan berkedok humor. Benar-benar menciptakan keberhasilan, pemenuh impian untuk membuat banyak orang tertawa. Sang lelaki kentara ikut senang atas kesuksesan dari usaha Sasara, tetapi mengapa perasaan hampa terus menghantui? Maka saat diri memutuskan mencoba menghilangkan emosional konyol tersebut, ia terlihat mengarahkan sekaleng bir; meneguk habis sisa seperempat cairan tanpa jeda, semakin mendongak guna memudahkan, tetap memejamkan mata seiring ekspresi menjadi sedikit kecut. Efek dari alkohol.

Rosho selalu tahu bahwa ia adalah sosok menyedihkan dan payah, apa yang telah menjatuhkan impian sang lelaki justru adalah dirinya sendiri. Tetapi ia tidak bisa menahan seberapa bersinar sosok Sasara di atas panggung, bagaikan matahari--- bagian tata surya paling bercahaya, Rosho jelas tidak bisa menandingi faktual tersebut. Suatu saat, sang lelaki yakin, ia akan menghalangi dan menyusahkan; karena Rosho Tsutsujimori bagaikan bulan, cahaya yang ia hasilkan tidak pernah diperkenankan berdampingan dengan matahari. Maka sang lelaki memutuskan meninggalkan, menyerahkan jalan terbaik menuju titik impiannya tanpa sebuah kejelasan pasti. Bahkan Rosho sempat berpikir, mungkin saja Sasara telah menyimpan rasa benci. Tetapi, tidak masalah, jika memang benar begitu--- asal impian Sasara terus tercapai, ia akan turut senang. Memberi dukungan secara tidak langsung, menghargai dan menikmati setiap pertunjukan yang dipersembahkan oleh sang teman baik.

'---dan itulah pertunjukan dari sang pelawak jenius kita, Sasara Nurude!'

Sudah selesai.

Tangan terlihat meletakkan kaleng bir kosong di atas permukaan meja, bersebelahan dengan keberadaan laptop tertutup. Kedua mata telah kembali memandang, mengamati penutupan acara yang didominasi oleh tepuk tangan dari para penonton; kedua tangan jelas merasa gemas, Rosho ingin melakukan hal sama, tetapi tidak ada gunanya karena diri tak terlibat dan ia memutuskan berakhir bergeming total. Maka sang lelaki sedikit mengulas senyuman tipis, ah, inilah pilihan--- memang memberi kesan bercampur aduk, tetapi jika memang yang terbaik, Rosho harus menelannya sebagai sosok lelaki dewasa. Lagipula, ia sudah menentukan tujuan lain untuk dijalani; tidak ada tindakan memandang ke belakang, mencoba sisi kehidupan baru tidaklah pahit. Kenyataan tersebut menjadi alasan mengapa Rosho tetap bisa bertahan, dan jelas memberhentikan momen tersulit, yaitu mengingat masa lalu, memutuskan merilekskan diri dengan bersandar sembari menghela napas panjang.

'Let's suppose that you were able every night to dream any dream you wanted to dream and you would naturally as you begin on this adventure of dreams.'

Suasana hati Rosho mendadak menenang, setelah tidak sadar telah menghabiskan waktu hampir sepuluh menit untuk mengosongkan pikiran; ia mulai tersadar dengan samar suara baru yang memasuki indra pendengaran, kalimat pembuka menjadi tanda bahwa acara selanjutnya telah dimulai dan sang lelaki tidak bisa berbohong tentang dampak positif dari program baru tersebut--- mungkin sekitar berusia dua sampai tiga bulan? Acara bernamakan Reflection selalu dilaksanakan saat jam menunjukkan pukul sepuluh malam, program televisi terkesan unik dan menciptakan penggemar hingga meningkat pesat karena unsur estetika beserta keindahan. Berisi tentang suara penyampai motivasi, instrumental pendamping dan gambaran abstrak menjadi pelengkap istimewa. Sebuah kesan nostalgia membuat Rosho merasa bersatu dengan setiap arus; gambaran tentang isi alam, ciptaan manusia, bahkan seluruh unsur pada bumi selalu bergantian diperlihatkan secara selaras. Membuat ikatan emosional bagi para penonton, melepas penat dan juga beban pikiran. Sang lelaki telah menjadi salah satu penggemar, terkadang berpikir untuk berterima kasih kepada sang pembuat program; seberapa besar karya spektakuler tersebut memberikan dampak baik kepada banyak orang.

'You would fulfill all your wishes, you would have every kind of pleasure you see. And after several nights you would say. 'wow that was pretty great.' but now let's have a surprise, let's have a dream which isn't under control.'

Tema kali ini memang secara kebetulan menyampaikan hiburan kepada orang-orang yang memiliki kendala seperti Rosho, jelas membuat sang lelaki lebih menikmati--- bahkan menghayati seberapa besar pengisi suara menyampaikan pesan itu, deru napas menjadi jauh lebih rileks, setiap instrumen seperti menciptakan gelombang ketenangan, membersihkan segala resah dan sisa sesak tanpa paksaan. Malam terasa lebih menyenangkan untuk Rosho, di mana diri secara mudah ikut pula terkoneksi dengan suasana alam bebas--- walaupun jelas berada di pertengahan Kota Osaka, penyampaian gambaran alam menjadi sesuatu yang luar biasa; bunga-bunga bermekaran di musim semi, arus menyapu bebatuan, dua ekor rakun saling mengejar di atas padang rumput, semua unsur disampaikan secara bergantian seakan memberi pesan bahwa banyak hal bisa disyukuri dan banyak hal bisa menjadi penolong hidup. Kesimpulan sederhana, tetapi bermakna.

'Well somethings going to happen to me that I don't know what it's going to be. Then you would get more and more adventurous and you would make further and further out gambles. As to what you would dream and finally you would dream where you are now.'

Mendengarnya kentara membuat Rosho rindu akan udara segar, dan secara kebetulan keberadaan balkon memang dapat ditembus melalui ruangan sama--- memutuskan bangkit selagi terus menaruh perhatian pada sepasang telinga, kedua kaki diarahkan menuju luar balkon, tidak memakan waktu satu menit; sang lelaki telah menginjak daerah luar ruangan dalam keadaan akses terbuka guna agar tetap bisa menangkap suara televisi. Menghirup hembusan angin yang secara tidak sengaja mengacak helai rambut keunguan bermodel slicked back--- suhu berubah cukup drastis, tetapi pakaian luar sudah bisa menangkal efek dari perubahan tersebut, Rosho pun memberhentikan langkah tepat di depan pembatas, meletakkan kedua tangan pada masing-masing saku celana; kepala mendongak, indra penglihatan dimanjakan dengan keberadaan rembulan pada langit malam. Bersih tanpa kehadiran awan. Bersinar seorang diri. Membuat kedua mata sang lelaki sedikit menyipit--- memuji seberapa indah keberadaan bulan untuk kesekian kalinya.

'Malam selalu terasa tenang, bukankah begitu, Rosho? Seperti biasa--- kau bisa menceritakan apa yang mengusik pikiranmu sekarang.'

Kedua mata Rosho membelalak terkejut.

Getaran pada pupil bersamaan kepala menoleh ke arah samping sebagai gerak refleks, suara ilusi jauh lebih nyata walaupun terjadi berbeda alasan--- kali ini didukung oleh samar bayang dari sosok sang pujaan hati, tetapi eksistensi wanita berparas cantik yang biasanya mendampingi sambil memandang dengan senyuman kini menghilang karena memang muncul pada bentuk tidak nyata. Menciptakan cekatan pada napas sang lelaki, diakhiri kemunculan sesak hati akibat kesadaran reka ulang; ia memutuskan meluruskan pandangan, mulai menggigit bawah bibir selagi menggambar ulang seluruh rupa sang kekasih. Orang tua sang wanita jelas menurunkan keindahan dari helai rambut [Hair Color], beserta mahal dari netra [Eyes Color] sebanding dengan permukaan perhiasaan. Dididik dengan sangat baik, hidup tanpa cela keburukan dalam memilih putaran kehidupan. Untuk Rosho, sosok wanita tersebut sebanding dengan malaikat pendamping.

'If you awaken from this illusion and you understand black implies white. Self implies other. Life implies death---'

Walaupun memang benar, sang lelaki tidak pantas bersama dengan sosok malaikat tersebut. Atau memang sebuah karma mengejutkan di mana ia meninggalkan, kini mendapatkan perlakuan sama oleh orang berbeda; Rosho tidak pernah beranggapan bahwa kekacauan kala itu adalah kesalahan dari kekasih, [Full Name], ia justru menarik kesimpulan bahwa memang diri merupakan akar permasalahan--- titik awal kesalahan menjadi gejolak inti masalah, sang lelaki merasa diri memang naif dan keras kepala atas dampak dari kejadian memilukan yang ia rasakan. Maka sekarang, Rosho kembali menjadi seorang diri. Jika saja sang lelaki bertanya kepada Einstein, hasil akhir akan selalu sama di mana diri tidak mendapatkan balasan, semua itu hanya media pelepas sugesti; dan, memang, Rosho bukanlah kekasih terbaik untuk dijalani ikatan hubungan. Sosok manusia yang diam-diam menyimpan kehidupan menyedihkan hanya akan menjadi parasit untuk orang lain.

Pada akhirnya sang lelaki tidak menaruh perhatian lagi pada suara dari televisi menyala selain mengarahkan kedua tangan menuju atas pembatas tiang--- jemari memberi tekanan hingga telapak mengepal, kepala ditundukkan guna melepas amarah untuk diri sendiri. Rosho menyesal dan takut; diam-diam berharap bahwa sosok [Name] masih ingin mempertahankan hubungan mereka. Karena pada saat itu, sang wanita pergi tanpa memberi deklarasi akan akhir dari hubungan mereka. Ah, sang lelaki kembali berharap rupanya, maka ia pun melepas erangan pelan, begitu pula kali ini, memejamkan kedua mata rapat-rapat.

"Maafkan aku, [Name], jika kau memang bahagia tanpaku, kau berhak untuk tidak kembali."

Tetapi, tinggal masalah waktu, Rosho akan terus mencari keberadaan sang wanita pada dalam pikirannya.

---

Dreams
"you are basically, deep down, far in, is simply the fabric and structure of existence itself."

Pairing: Rosho Tsutsujimori x Reader
Genre: Angst & Hurt/comfort
Rating: R-15+

Note: Fanfiksi ini terinspirasi dari video yang tertera pada bagian media, disarankan untuk membaca oneshot sembari mendengarkan lagu di atas. Selamat menikmati!

---


Pada satu kedipan mata, pandangan membuyar itu secara perlahan menciptakan pemandangan berupa ingatan termanis yang pernah ia rasakan.

Tubuh terbaring di atas permukaan kasur pada posisi punggung bersandar, memutuskan menghabiskan sisa hari dengan membaca sebuah buku material--- selalu memikirkan bagaimana ia menyampaikan bahan ajaran kepada murid-murid yang ia naungi, bekerja sebagai guru membuat Rosho memang harus mendukung mereka secara maksimal, dan kentara tahu bukan dari tindakan mengajar saja. Walaupun sang lelaki harusnya ingat bahwa kurang lebih satu jam lagi akan menginjak hari minggu, di mana Rosho mau tidak mau harus sadar; inilah momen diri melepas tanggung jawab sementara untuk kondisi sendiri. Tetapi, fakta tersebut disadari lebih dahulu oleh sosok lain, [Name] jelas memerhatikan pada posisi berbaring keseluruhan secara menyamping, indra penglihatan mencuri pandang melalui lirikan. Jelas tidak bisa terlelap tidur, walaupun sang lelaki telah mengganti sumber cahaya menuju lampu tidur dan mengusap puncak kepala sang wanita melalui satu telapak tangan pemberi perasaan nyaman dan aman.

"Rosho," panggil [Name] melalui suara yang tidak berbeda jauh dengan bisikan. Menarik perhatian dari sang pemilik nama, menoleh selagi tangan tak bosan mengusap; kedua alis sedikit terangkat, ekspresi serius masih membekas walaupun senyuman tipis diulas.

"Ada apa?"

Sang wanita membiarkan pertanyaan tersebut digantung untuk beberapa saat. Pada posisi saling menatap, salah satu tangan bergerak keluar dari bawah kain selimut--- bergerak sedikit nakal, menjelajah bagian depan dada kekasih, walaupun telapak berhenti tepat di samping sisi pipi; memberi sedikit dorongan agar Rosho melepas perhatian dari lembaran buku yang sedang dibaca hingga benar-benar menatap seratus persen kepada lawan bicara. Sang lelaki semakin menaikkan kedua alis, senyuman pudar saat ekspresi terulas kebingungan di balik pembawaan tegas. Rosho memutuskan tak membuka suara untuk bertanya ulang, memberikan waktu kepada sang kekasih dengan kesabaran penuh. Membuat [Name] terkekeh geli, membuang pandangan setelah memutuskan mengusap sisi wajah pada permukaan bantal; sejenak memejamkan mata selagi menghirup, merasakan wangi tubuh khas milik sang lelaki yang kentara meninggalkan jejak.

"Mungkin kau bisa meletakkan buku itu untuk sekarang. Lalu, mungkin, uh, memberikanku perhatian lebih lagi?"

Sebuah rona samar muncul pada permukaan pipi [Name], merasa yakin pertanyaan tersebut tetap dapat ditangkap oleh pendengaran Rosho berkat kedekatan jarak sekarang ini. Sang lelaki sendiri sukses mematung sejenak--- kedua mata sedikit membelalak, jika saja jemari melonggar, maka buku yang ia genggam dapat meleset jatuh. Mengingat tidak seperti biasanya untuk sang wanita melempar permintaan demikian, menciptakan samar rona pula, walaupun jauh lebih bisa disembunyikan. Rosho berdehem singkat sembari jemari menutup kedua sisi buku sebelum diletakkan pada atas permukaan meja lampu; masing-masing menghindari tatapan, melepas canggung sementara. Seberapa lama mereka telah menginjak fase dewasa, secara mengejutkan kedua pihak memang belum terbiasa menjalankan hubungan. Maka saat kedua insan mendapatkan kesempatan untuk bertemu hingga mendalami satu sama lain, mereka memutuskan mengikatkan diri dengan sebuah status.

"Jika dipikir-pikir, aku memang terlihat terlalu sibuk." Rosho membalas bersamaan melempar lirikan di balik keberadaan kacamata, mulai menyadari kesalahan diri bahwa perbedaan kehidupannya memang ada setelah menyatakan perasaan kepada sang wanita. Jikalau tidak bisa menyisihkan waktu, lebih baik tidak perlu membuat komitmen sejak awal. Sang lelaki memang perlu membentur kebiasaannya satu ini, begitu pula tetap mengingat seberapa besar dirinya ingin membawa hubungan tersebut pada jenjang yang lebih serius. "Kau boleh menegur seberapa buruk diriku menjadi seorang kekasih, [Name]. Aku akan mencoba hal-hal baru untuk hubungan kita."

Nada yang terkesan serius dan yakin, membuat perasaan sang wanita bercampur aduk; senang dan malu. Seberapa besar perjuangan sang lelaki membuat [Name] benar-benar, terkadang, berpikir seberapa beruntung diri bisa mendapatkan kekasih seperti Rosho. Kentara berdebar lebih dari sebelumnya, sang wanita mencoba membalas, tetapi dikurunkan saat salah satu tangan Rosho, di mana berawal memegang buku, kini diarahkan sampai meraih tangan [Name] pada sisi pipinya--- sang lelaki mendekatkan tangan tersebut, mengusap pelan jemari lentik tersebut, sebelum memberi kecupan pada sela jemari. Kedua mata terpejam sejenak, menyalurkan segala perhatian yang [Name] inginkan. Baru saja sang lelaki berjanji untuk melakukan hal baru, justru sudah dilakukan tanpa berpikir dua kali. Sang wanita ingin mendominasikan perasaan senang, tetapi rasa malu menggerogoti sampai rona terus menerus memenuhi sekitar wajah. Maka setelah kedua mata kembali terbuka, Rosho melempar tatapan; melepas senyuman tipis, sedikit menjauhkan keberadaan tangan sang wanita walaupun jemari tetap mengusap perlahan. [Name] bisa menangkap sisa rona pada kedua pipi milik sang lelaki, setidaknya bukan seorang diri merasa demikian.

"Kau bukan kekasih yang buruk." [Name] membalas dengan sedikit siratan berupa lirihan, membiarkan sang lelaki meninggalkan kecupan pada punggung tangan, di mana membuat sang wanita langsung memberhentikan ucapan guna melampiaskan kondisi wajah memanas--- mengusapnya di atas permukaan bantal sebelum melanjutkan pengucapan. "Untukku, kau adalah yang terbaik."

Kalimat tersebut bukanlah omong kosong. [Name] benar-benar mengantarkan pesan demikian, setelah menjalani hubungan selama genap dua tahun--- sang wanita secara diam-diam memasuki tahap tidak mampu meninggalkan, sungguh sederhana jatuh cinta pada lelaki biasa saja, bekerja sebagai guru, dan memiliki kehidupan standar. Tapi semua itu sangatlah cukup, mengingat seberapa besar sang wanita menginginkan pendamping yang memikirkan kondisi sesama. Mampu memandang lebih jauh, mencoba mengikuti arus bahkan melaksanakan hal baru demi kokoh hubungan. Mempertahankan adalah paling terpenting. Rosho Tsutsujimori memiliki semua itu. Maka sang lelaki merasa kembali diserang, gerak mengusap berhenti--- tetap memandang terkejut ke arah [Name], membuat sang wanita sedikit kebingungan atas tindakan berhenti tiba-tiba, mencoba beradu pandang melalui sedikit lirikan. Di sana rona lebih terlihat, ekspresi sang lelaki memunculkan emosional khusus dan tidak mudah dipahami. Walaupun terkesan, lebih pada perasaan terharu bercampur sedih.

Baru, pertama kalinya, Rosho mendapatkan kalimat itu dari seseorang. Perasaan diinginkan dan dianggap sebagai sosok bercahaya.

"Rosho---"

"[Name]."

Sang wanita menutup mulut rapat-rapat, menyadari kekasih menyela dalam satu panggilan. Secara penuh melempar pandangan hingga sepasang mata saling beradu--- menangkap masing-masing rona pula, tetapi tidak berkomentar apapun. Rosho kentara meneguk saliva, terkadang tidak perlu demam panggung untuk memunculkan perasaan gugup. Tetapi kali ini, sang lelaki hendak mengumpulkan segala keberanian, dan bukanlah merasa tidak yakin dengan kalimat yang diucapkan. Maka Rosho terlihat lebih menunduk, kedua netra menggebukan keseriusan tanpa memberi cela akan menarik kembali perkataannya sama sekali.

"Menikahlah denganku."

Tanpa Rosho belum sadari, menjadikan [Full Name] sebagai pendamping hidupnya adalah salah satu impian yang hendak digenggam.

.

Pada kedua kalinya kedipan mata, pandangan membuyar itu secara perlahan menciptakan pemandangan berupa ingatan terpahit yang pernah ia rasakan.

Ruangan tersebut dipenuhi oleh debat berkepanjangan, walaupun didominasi oleh suara pihak hawa--- disibukkan pula dengan gerak tubuh, berpindah berkali-kali melalui akses keluar dan masuk, kedua tangan memindahkan pakaian; melemparnya di atas sofa lebih dahulu sebelum dimasukkan ke dalam keberadaan koper berukuran cukup besar. Sang lelaki mengikuti dari belakang, berkali-kali memohon agar keberadaan kekasih, bahkan tunangannya, untuk tidak pergi. [Full Name] menutup indra pendengaran--- mengenyahkan suara getaran pada mulut Rosho, memutuskan untuk tidak berhenti mengemas barang-barang tanpa sedikit niat dalam melakukan kompromi. Atmosfer benar-benar terasa berat untuk kedua belah pihak, di mana sang wanita menggigit bawah bibir sangat kencang; bisa saja melukai diri sendiri jikalau Rosho tidak menyentuh atas pundaknya.

"[Name], aku mohon, dengarkan aku sekali lagi."

Sang wanita menepis tangan kekasih, menoleh bersamaan melempar tatapan tajam dan mengancam. Rasa hati sesak mengalahkan simpatik atas suara semakin melirih dari mulut sang lelaki. Rosho kentara merasakan tekanan besar setelah menangkap tatapan tersebut, menarik kembali keberadaan tangan. Terdiam total selagi mau tidak mau memandang [Name] terus menerus memasukkan satu demi satu pakaian ke dalam koper. Bagaimana ini bisa terjadi? Rosho terus menerus berpikir, begitu pula berpuluh kali meminta maaf, tetapi tidak ada satu kali perkataan tersebut menyampaikan makna kepada [Name]. Tubuh sang lelaki terasa mendingin, cuaca panas pada Kota Osaka tidak bisa menandingi seberapa dingin perlakuan sang pujaan hati kepadanya sekarang. Keringat bahkan mengering dan memberi bekas menusuk setelah hembusan angin melewati cela jendela.

"Aku lelah, Rosho." [Name] berfokus kembali kepada keberadaan baju dan koper secara bergantian. Titik di mana sudah lelah berdebat, tetapi mulut mengulang kembali sebuah kesimpulan mengapa diri memutuskan untuk pergi. Suara menahan ledakan tangisan, kedua bahu bergetar membuat Rosho semakin lama semakin sesak bahkan sulit untuk menghembuskan napas.

"Mau berapa kali diriku melakukan revisi, kau dan aku pasti tahu penerbit tidak akan menerima karyaku. Semakin lama diriku mengerti bahwa aku sama sekali tidak memiliki bakat di sana. Berulang kali aku memintamu berhenti untuk mencoba mengusahakan, karena semua bukan berasal dari kesalahan mereka. Tetapi semua berasal dariku, kesalahan ada padaku."

[Name] menutup kopernya rapat, salah satu tangan langsung diarahkan guna mengusap wajah pada posisi menunduk. Berusaha menarik kembali kesedihan mendalam--- menahan murni emosional untuk tidak melepas tangisan. Sedikit membungkuk pada posisi berdiri, ia merasa sangat enggan menatap wajah Rosho. Mengerti apa yang hendak dilakukan oleh sang lelaki, tetapi sang wanita benar-benar tidak tahan; seberapa besar seharusnya resiko ditanggung oleh [Name] sendiri, tetapi Rosho justru alih-alih ikut menderita pula. Menatap seseorang tidak mampu meraih impiannya, justru ikut merefleksikan rasa frustasi dapat menghancurkan kedua belah pihak. [Name] berusaha keras menanggapi kelemahan sang lelaki, tetapi jikalau terus begini--- mereka akan jatuh bersama-sama.

"Seharusnya sejak awal lebih baik aku menyerah saja. Hidup sesederhana itu, bahkan impian seorang anak kecil tidak selalu terkabulkan saat mereka beranjak dewasa."

Rosho memang tidak bisa terus bungkam. Kalimat tersebut menyalurkan sensasi panas tersendiri, sang lelaki mengerti, tetapi ia memang tidak bisa membiarkan impian orang lain hancur berkeping-keping. Tetapi apakah diri harus merasa sadar bahwa dorongan tidak selalu membantu untuk terus maju, bahkan justru terjatuh? Ingin diri mencengkram depan dada; melampiaskan sesak dan amarah akan tindakan cerobohnya, semua sudah terlanjur terjadi. Lantas memang benar permintaan maaf tidaklah cukup. Mulut terkatup rapat--- deru napas Rosho memberat, sang wanita terus menerus menghindari tatapan. Tapi saat sejenak otak membuat skenario terburuk, hilangnya eksistensi [Name] tanpa bisa dijangkau lagi, kedua tangan sang lelaki kehilangan kendali; meraih atas sepasang bahu sang wanita, mengarahkan [Name] agar berhadapan bahkan beradu pandang atas reaksi terkejut. Amarah memenuhi ekspresi Rosho, tetapi ia lupa menjelaskan untuk siapa emosi tersebut. [Name] sedikit meringis. Cengkraman tersebut memberikan tenaga menyakiti, dan pada saat indra penglihatan menangkap ekspresi Rosho--- sang wanita melepas tawaan terpaksa, mengulas samar senyuman miring. Tangisan pecah pada saat itu juga seiring mulut terbuka.

"Apakah kau akan menyakitiku, Rosho?" Sang wanita melempar sebuah ledekan. Aliran air mata secara cepat menenuhi permukaan pipi, beberapa tetesan terjatuh bebas; meninggalkan bekas di atas permukaan memorial. Kentara ikut pula menampar kembali kesadaran Rosho, tapi mulut sudah terlambat menjelaskan.

"Setelah mereka menerima karyaku atas alasan belas kasihan, apakah kau akan turut senang? Tetapi setelah menerima puluhan hujatan, bukankah seharusnya kau tahu bahwa diriku harus belajar menelan kenyataan sebelum terlambat?"

[Name] tertawa lirih, memasang perasaan jijik untuk diri sendiri. Lebih baik impiannya terus gagal, dengan begitu--- sang wanita bisa menanggung tanpa pencabik lain karena mengambil jalur memaksakan. Dan saat mengingat kembali, membuat [Name] benar-benar marah, ia berakhir mengarahkan tangan; melepas dorongan setelah menyentuh bagian depan dada Rosho. Membuat sang lelaki yang telah melonggarkan tenaga, kini terpaksa mundur beberapa langkah. Kalimat tersebut benar-benar menyerang, sang lelaki tidak bisa memikirkan balasan tepat untuk membenarkan kondisi.

"Menurutmu, apakah tidak masalah meraih impian dengan jalur seperti ini? Kau benar-benar tak mendukungku, Rosho, kau hanya tidak ingin merasakan hal sama untuk kedua kalinya."

Dasar egois.

[Name] ingin mengatakan demikian, tetapi jelas dua kata tersebut akan menyakiti hati sang lelaki; lagipula diri masih menyimpan kepedulian mendalam. Maka tidak mengharapkan balasan, sang wanita kembali menunduk--- salah satu tangan bergerak, mungkin tindakan ini justru menjadi pengganti dalam menyalurkan perasaan menyakitkan, melepas keberadaan cincin pada bagian jemari, sebelum Rosho mau tidak mau menerimanya kembali di atas telapak tangan yang diraih. Tetapi sang wanita bungkam saat mengatakan demikian, tidak memberikan kepastian atas dasar apa benda pengikat itu dikembalikan. Rosho benar-benar ingin bertanya, tetapi ekspresi [Name] mengantarkan pesan agar sang lelaki lebih baik diam. Sang wanita mulai memundurkan langkah, berakhir menggenggam pegangan koper--- berbalik arah saat sepasang kaki dibawa menjauh.

Jangan ambil dirinya dariku.

Kepada siapa Rosho dapat memohon demikian? Ia kentara menatap keberadaan [Name] membelakangi, menggenggam erat menjadi sebuah kepalan di mana cincin tersebut berada--- sang wanita secara sederhana meninggalkan dirinya. Benarkah begitu? Tanpa sadar pandangan mulai membuyar, selagi satu tangan bebas hendak meraih; seakan berharap dapat mengambil kembali sang kekasih menuju dekapan. Membisikkan kalimat-kalimat penyesalan, meninggalkan kecupan sebagai pembuktian akan rasa kasih sayang. Semua itu hanya menjadi harapan belaka, karena [Name] semakin lama terus menjauh; hingga pada akhirnya menghilang pada satu kedipan mata.

Ah, Rosho Tsutsujimori memang adalah kekasih yang buruk. Amat buruk.

---

"I'm supposed to have chased my dream, but I keep chasing it all day
I can't say it well. Even now, that's fine."

---

Gedung stasiun televisi hari ini terpandang sedikit lebih padat karena pegunjung. Rosho memutuskan menjadi salah satu pendatang, menghabiskan waktu pada hari minggu--- secara mengejutkan mendapatkan tiket pertemuan penggemar untuk bertemu dengan pengisi suara pada acara televisi berjudul Reflection. Bulan demi bulan terlewati, acara tersebut terus menerus meningkatkan peminat; menghasilkan oportuniti dalam menemukan kedua sisi pihak, pemberi dan juga penikmat. Pertemuan itu dikhususkan untuk dua puluh orang tercepat, dijadwalkan spesifik dan diberikan waktu kurang lebih setengah jam untuk berbincang sampai menukar pendapat atau mungkin menceritakan kesah keluh. Sang lelaki masih kurang percaya, atau memang sedang beruntung karena ia mendapatkan tiket tersebut dari sosok teman baik, ya, atas kejadian tertentu--- mereka kembali dekat dan menjalankan komunikasi jauh lebih sering. Kini Rosho untuk sesaat memandang keberadaan arloji, giliran pertemuannya dijadwalkan tepat pukul tujuh malam; memutuskan duduk pada salah satu kursi ruang tunggu sampai satu staff memanggil dirinya untuk masuk pada ruang pertemuan.

"Tuan Tsutsujimori, benar?" Kebetulan sekali Rosho masih bersandar, melipat kedua tangan di depan dada sembari sedikit mendongak--- kedua mata tertutup untuk mengambil waktu istirahat sejenak, tetapi suara dari seorang staff membuat sang lelaki membuka kembali indra penglihatan; meluruskan pandangan selagi menoleh, mengulas samar senyuman ramah. Sang staff terlihat membaca ulang daftar kertas, lalu membalas senyuman sebelum membuka suara lagi.

"Anda sudah diperbolehkan untuk masuk dan menemui Tuan Sachihiro."

Rosho mengangguk singkat, otomatis bangkit berdiri saat sang staff menampakkan tanda akan memandu menuju ruangan yang terpaut sedikit jauh; kentara pula memberi panduan agar sang lelaki tidak salah memasuki ruangan, mengingat tidak hanya ada satu pintu pada lorong gedung. Rosho sendiri merasa tidak perlu untuk membuka interaksi, mengikuti langkah melewati bagian lorong bergaya modern, sesekali mengamati bingkai berisi berita kesuksesan dari siaran televisi. Sempat menangkap keberadaan Sasara pada salah satu bingkai, berupa isi media hiburan bersirat profil dan juga keberhasilan karir. Sang lelaki mulai membayangkan, bagaimana jikalau para penggemar teman baiknya tersebut mengetahui seberapa hambar candaan di bawah panggung? Rosho memutuskan mengenyahkan pikiran itu, walaupun penasaran seberapa seru jika hal tersebut terjadi.

"Silahkan masuk, Tuan. Saya akan mengetuk ruangan jikalau waktu pertemuan sudah habis."

Staff lelaki tersebut tampak membukakan pintu, memberikan akses masuk kepada Rosho selagi memberitahu tentang peraturan sederhana. Sang lelaki sendiri diam-diam berpikir bahwa dirinya tidak akan menghabiskan waktu setengah jam, kentara hanya hendak menyampaikan bentuk kagum--- sekadar itu saja sebelum pamit undur diri, tetapi Rosho melepas ucapan terima kasih. Di mana dibalas oleh anggukkan, dan juga kelanjutan langkah menuju dalam ruangan; setidaknya melakukan pertemuan penggemar secara privasi membawa kesan baru. Lebih mendalam, atau justru menukar komunikasi tidak terduga. Maka saat pintu tertutup dari luar, Rosho bisa menangkap sosok lelaki berusia cukup tua; warna helai rambut sudah menandakan lanjut usia, kerut pada wajah beserta senyuman menyambut. Duduk pada salah satu kursi; membalas pandangan Rosho pula dari titik sama. Tetapi sosok tersebut tidaklah sombong, menyempatkan diri bangkit--- mengulurkan tangan guna bersalaman setelah Rosho berjalan lebih mendekat. Sang lelaki tentu saja menyalami tangan milik Sachihiro Kobayashi, pengisi suara acara Reflection di mana membawa ketenangan dan penyembuhan saat berbicara.

"Senang bertemu dengan Anda, Tuan Kobayashi." Rosho mengucapkannya dengan kesungguhan, sebelum sosok Sachihiro melepas genggaman dan beralih duduk; isyarat tangan membuat sang lelaki melakukan hal sama. Lelaki paruh baya melepas kekehan halus, senyuman sedikit lebih melebar--- tanda merasa senang dapat bertemu dengan orang yang menggemari.

"Sama halnya denganku." Sachihiro memutuskan menggunakan bahasa kasual, tidak mau masing-masing terikat oleh formalitas dan membuat Rosho jelas akan merubah gaya bicaranya nanti. Meneguk saliva sedikit gugup, merasa terlalu kaku; tetapi mau bagaimanapun juga, Rosho sedang berhadapan dengan orang lebih tua. "Kau pasti salah satu penikmat karya-karya motivasi pada acara Reflection. Diriku berterima kasih karena kau mampu menyempatkan diri untuk datang."

Rosho terdiam sejenak. Lelaki di hadapannya membawa kesan rendah hati, walaupun faktual menandakan dua puluh tiket terjual habis tidak lebih dari satu jam; menandakan banyak orang belum berkesempatan untuk menemui pengisi suara ternama ini. Tetapi Rosho di sini bukan untuk menyangkal, menanam pemikiran tersebut pada benak--- mengambil kesimpulan diri bahwa lawan bicara memang sungguh-sungguh menghargai. Atmosfer ruangan beserta sang pemilik secara berhasil membuat sang lelaki merasa amat nyaman, seakan diperkenankan untuk tinggal sedikit lebih lama guna menceritakan kepingan kisah kepada seperbagian kecil bagian bumi.

"Diriku sangat menyenangi karya-karya yang dibuat olehmu, Tuan. Banyak hal membuatku sukses terinspirasi dan melepas banyak beban pikiran." Rosho melepas kalimat demikian, tetapi setelah beberapa detik; balasan yang ia dapat sedikit jauh dari ekspektasi, Sachihiro melepas tawaan singkat seakan menangkal salah satu penarik kesimpulan pada titik kalimat milik sang lelaki. Tawaan tidak menyinggung, tetapi memang dipantulkan kembali.

"Ah, banyak yang mengatakan demikian, tetapi, ketahuilah, Anak Muda, pembuat kalimat menginspirasi tersebut bukanlah diriku. Walaupun tidak bisa disalahkan, karena sang pembuat asli tidak menyukai identitas mencolok." Sachihiro mendengus geli sejenak, menaruh pandang pada netra biru bersih--- sebuah tatapan di mana bisa saja hendak mengenali lebih jauh lawan bicara. "Aku hanya membantu menyampaikan kalimat-kalimat tersebut agar dapat menyampaikan maknanya secara maksimal."

Rosho baru mengetahui fakta tersebut.

Tetapi sang lelaki tidak tahu hendak merespon seperti apa, dan lawan bicara jelas mengetahui situasi Rosho--- lagipula memang seperbagian orang merasa malu, memutuskan melempar kata-kata kagum sebelum meninggal ruangan. Semua butuh proses, Sachihiro mengetahui hal tersebut setelah hidup selama berpuluh tahun. Maka mulut kembali terbuka, mencoba menarik interaksi lebih tanpa membuang pandangan.

"Sachihiro. Adalah nama yang diberikan oleh ibuku sejak bayi, memiliki artian berupa kebahagiaan besar dan almarhum selalu berdoa pada sela tidurnya agar artian tersebut selalu menjadi sebuah kenyataan berupa anugerah berkelanjutan. Benar saja, aku selalu merasa demikian--- atau memang selalu diajarkan untuk bersyukur di balik bencana dan halangan. Seberapa besar kesialan melanda, bahagia dapat didapatkan dalam hal-hal kecil. Itulah mengapa tujuanku guna menyebar kebahagiaan telah menjadi titik terakhir sebelum, entah kapan, kematian menjemput."

Rosho menyimak dengan sungguh-sungguh. Tidak melepas atensi sama sekali saat Sachihiro memberi tanda untuk melanjutkan sebuah rangkaian cerita, berisi tentang perjalanan hidup.

"Kehidupan jaman dahulu, sedikit lebih sulit, merauk secangkir nasi begitu susah karena kami terlahir dari golongan miskin, tetapi ibuku selalu berjuang untuk memenuhi kebutuhan anaknya. Selagi menelantarkan harga diri keluarga karena menikahi pria tanpa memiliki apa-apa, ibuku harus ikut bekerja keras demi kepentingan bersama. Cinta adalah perjuangan, dan jelas ayah ibuku membuktikan semua itu. Berhasil membawaku pada jenjang tinggi--- sampai di sini diriku dapat menginjak keberhasilan. Tetapi, apakah kau tahu, Anak Muda? Kisah piluh di mana impian ditinggalkan, seharusnya ibuku dengan mudah menjadi seorang musisi, tetapi rasa cinta dengan ayahku membuat impian tersebut bukanlah prioritas. Sedangkan ayahku mengejar impian menjadi seorang pengusaha, tetapi hal itu gagal setelah sosok temannya menipu dan membuat usaha tersebut bangkrut tanpa sisa. Sedangkan aku? Oh, jangan salah, aku selalu memimpikan pekerjaan sebagai dokter agar bisa menyelamatkan banyak orang. Tetapi, sayang sekali, penyakit membuat diriku tidak mampu meraih pekerjaan tersebut."

Rosho hanyut dalam pemahaman, ekspresi terulas serius dan membuat sang lelaki tidak mampu melepas rasa penasaran. "Maaf sebelumnya, tetapi penyakit apa yang kau alami, Tuan?"

"Oh, tidak ada yang ingin berobat kepada pengidap HIV. Bukankah begitu? Walaupun ditoleransikan, pandangan masyarakat belum sepenuhnya berubah."

Sang lelaki berakhir tidak mampu berkomentar apa-apa. Perjuangan dari orang yang jauh lebih dewasa, masih menyimpan seribu makna, belum tersampaikan. Tetapi Rosho menghargai batasan di mana Sachihiro putuskan untuk dibagikan, semua orang memiliki takaran dalam membagikan kisah. Walaupun sang lelaki merasa malu dalam hati karena kisah kehidupan memberi kesan tak menyenangkan, bahkan belum mampu memberikan inspirasi untuk banyak orang. Jadi Rosho terdiam, mencoba menunggu kelanjutan dari ucapan lawan bicara. Di mana siapa tahu kelanjutan diperlihatkan atau topik lain diarahkan.

"Tuan Tsutsujimori."

Rosho sedikit terkejut.

Bukankah ia belum berkesempatan memperkenalkan diri?

Atau memang Sachihiro memerhatikan daftar penggemar dan menghafal nama mereka dengan lapang dada; agar memudahkan tanpa harus bertanya. Walaupun berakhir membuat kelanjutan dari panggilan sang lelaki paruh baya, menghasilkan kondisi di mana Rosho hampir lupa cara untuk bernapas.

"Apakah kau merasa pantas untuk bahagia?"

Pertanyaan ini tidak pernah Rosho duga akan keluar dari mulut seseorang yang masih terkesan asing, tetapi sang lelaki berusaha menenangkan diri; sedikit membenarkan posisi kacamata, memberi jeda saat hendak menjawab. Tidak sempat menangkap senyuman geli pada kedua sudut bibir milik Sachihiro setelah sedikit membuang tatapan guna melampiaskan sedikit kegugupan, walaupun Sachihiro jelas menyimpan latar belakang, mengapa dirinya memutuskan melempar pertanyaan demikian. Lagipula lelaki paruh baya itulah menjadi biang--- alasan mengapa sosok teman baik di hadapannya sekarang memberikan sebuah tiket pertemuan. Tetapi Sachihiro secara jelas sadar bahwa Rosho memang belum mencapai titik perasaan demikian, masih tersesat, bahkan kehilangan arah setelah kehilangan orang terpenting baginya.

"Tenang saja, Tuan Tsutsujimori, keadaan [Surname] sangat baik-baik saja di bawah naungan kami."

Sesuatu yang kasat mata seperti memukul keras bagian jantung Rosho hingga menciptakan detak kencang. Kedua mata secara cepat menatap kembali keberadaan lawan bicara, kedua mata sedikit bergetar--- ekspresi dengan pembawaan tegas kini dicampuri oleh reaksi serius, terkejut, bahkan gejolak besar berupa rindu. Mulut hampir saja tidak bisa membuka suara sama seperti kejadian kala itu, tetapi untunglah Rosho masih hendak meraih kembali, sedikit memajukan tubuh dengan kedua mata agak membelalak. Tidak sabaran. Tindakan menjadi kacau tanpa pikir panjang, beserta mulai melengkapi pecahan alasan dari kenyataan tersebut. Sachihiro menunggu agar sang lelaki merespon dengan segenap lapang dada, akhirnya waktu memberikan kesempatan.

"Di mana [Name] sekarang, Tuan Kobayashi?" Rosho melepas pertanyaan dan Sachihiro melepas tawaan pelan. Tidak mengherankan sang lelaki akan langsung menanyakan keberadaan [Name] di atas pertanyaan lainnya. Tetapi, lelaki paruh baya itu merasa harus untuk memberi kejelasan.

"Pada saat kalian berkelahi waktu itu, [Surname] mendatangiku dan menceritakan semuanya. Kentara mengenaliku dari jalur hubungan ayahnya, wanita tersebut berakhir meminta bantuan kepadaku. Ia telah meninggalkan impiannya menjadi seorang novelis, menimbulkan keinginan besar dalam mendukung orang lain secara tidak langsung. Setiap malam, [Surname] selalu melaksanakan berbagai cara seorang diri, menulis berkali-kali konsep acara ini hingga matang. Kau tahu hasilnya sekarang, bukan?"

Sachihiro mendengus geli.

"Ketahuilah pula, Tuan Tsutsujimori, ia selalu berharap kau merasa didukung setiap saat walaupun dirinya meninggalkanmu kala itu. Karena [Surname] jelas tahu, kau akan terus menerus menonton pertunjukan Tuan Nurude. Memosisikan acara setelahnya, agar kau mampu mendapatkan damai hati. Sungguh takjub, ia benar-benar berhasil."

Rosho tidak memercayai, selama ini, setiap malam, sang lelaki terus menerus tetap didukung oleh pujaan hati dengan cara mengejutkan dan tidak terduga sama sekali. Diri benar-benar mematung, sesak akan haru dirasakan; sang lelaki sedikit menggigit bawah bibir, agak menunduk dan menopang kening dengan telapak tangan. Tangan lainnya terkepal di atas pangkuan--- selama ini, [Name] memang terus mendampinginya, tidak pergi meninggalkan. Maka Sachihiro memgamati dengan perasaan haru pula, memutuskan sedikit bangkit serta memajukan tubuh, memberikan dukungan berupa tepukan pada atas bahu beberapa kali. Berakhir sedikit mengusap sebelum ditarik kembali.

"Dia menunggumu di atas atap gedung. Salah satu staffku sudah menunggu dan akan menunjukkan aksesnya, Tuan Tsutsujimori. Sekarang, waktumu untuk meluruskan."

Rosho beralih mendongak. Ia mengerti, dan pemberitahuan tersebut telah membuka jalan kembali. Sang lelaki tidak lagi tersesat, menemui [Name] setelah berbulan-bulan lamanya adalah salah satu penantian, serta harapan yang telah menjadi sebuah kenyataan. Semoga semua bisa diulang untuk kedua kalinya, karena cincin pengikat hubungan masih sentiasa terpasang pada jari milik sang lelaki.

.

Rosho tidak pernah melakukan tindakan demikian; berlari sekencang mungkin karena tak ingin terlambat, walaupun tahu sang wanita akan terus menunggu kehadirannya. Mengenyahkan peringatan staff di bawah anak tangga--- terus menaiki lantai gedung dalam deru napas teratur, hingga pintu menampakkan diri pada anak tangga terakhir, sang lelaki menerobos masuk setelah tangan memberi gerak mendorong. Untunglah langit malam tidak membasahi indra penglihatan dengan cahaya menusuk, justru memberi pemandangan langsung pada titik keindahan maksimal. Bulan penuh pada posisi memuncak--- menerangi bagian atas atap nan terbuka, walaupun kali ini gumpalan awan melewati langit dan bergerak menuju arah timur, setidaknya masih cukup bersih bagi eksistensi penarik perhatian utama. Rosho perlahan menuruni kecepatan, berakhir berhenti total tepat di pertengahan. Menangkap sosok wanita membelakangi, tetapi tidak sama seperti momen yang memisahkan mereka. Sekarang, sang lelaki lebih merasakan suka cita; kentara tidak berani mendekat, menunggu [Name] menyadari keberadaannya--- tentu, sang wanita sadar, kedatangan Rosho benar-benar apik di mana menghasilkan suara cukup heboh. Helai rambut mereka sedikit terbawa oleh hembusan angin malam, tetapi [Name] tak langsung berkutik selain tetap mendongak guna mengamati keberadaan bulan.

"Somehow the moon today is beautiful as well, huh?"

[Name] menoleh ke arah belakang, mengulas senyuman sedikit hambar seiring menangkap keberadaan Rosho. Di mana sang lelaki masih mencari pasokan oksigen, bagian dada menampakkan kondisi kembang kempis; tetapi, yang benar saja, pada momen seperti ini, sang wanita justru mengulang kembali kalimat itu--- kalimat reka ulang, dasar ucapan yang sang lelaki sering kali lontarkan. Seperti memberitahu bahwa [Name] selalu mengingat keberadaan Rosho di tempat dan cara demikian. Maka tidak ada lagi kata menahan, Rosho memerlihatkan ekspresi emosional; tak pikir panjang berlari mendekat, menerjang keberadaan [Name] guna meraih kembali, memeluk tubuh sang wanita dari belakang. Kedua mata Rosho terpejam rapat, mengertakkan gigi sembari sedikit mengeratkan dekapan. Sang wanita sendiri memecahkan fondasi pertahanan, mengusap lengan tangan kekasih sebelum menenggelamkan wajah di sana.

"Inilah impianku sekarang, Rosho." Suara [Name] sedikit terpendam--- melepas sedikit isakan, salah satu tangan masih beralih menggenggam, agak erat seakan tidak ingin melepaskan sang lelaki lagi. "Dan aku sudah berhasil meraihnya. Apakah kau akan turut bahagia?"

Rosho tidak ingin lagi membuang waktu, ia kentara akan langsung menjawab.

"Ya. Aku turut bahagia, [Name]." Balasan ikut pula bibir meninggalkan sebuah kecupan di atas puncak kepala [Name]. Walaupun jikalau sang wanita melepas genggaman, Rosho tidak akan pernah beralih peran dalam meninggalkan keberadaan [Name]. Sang lelaki tidak bisa membayangkan seberapa keras usaha dan tenaga di mana sang wanita keluarkan hanya untuk kebaikannya--- kentara masih merasa sedikit gagal, tetapi Rosho berjanji kepada diri sendiri untuk memperbaiki. "Tetapi aku akan jauh lebih bahagia, jika kita kembali bersama-sama."

Tawaan lirih kini pecah pada mulut lawan bicara, secara kebetulan [Name] sedikit menoleh ke samping; tersenyum tipis saat masih menangkap keberadaan cincin pada salah satu jari milik Rosho. Tangan kini bergerak, mengusap pelan eksistensi benda tersebut melalui permukaan jemari. Untunglah, sungguh bersyukur bagi [Name], karena sang lelaki masih berani berharap dan menaruh kesetiaan terhadap hubungan mereka. Untunglah, Rosho belum menyerah, terus menerus mengejar kepada suatu hal tidak pasti.

"Apakah kau masih menyimpan cincinnya?"

Rosho menahan kekehan pada leher. Tidak langsung menjawab, walaupun gerak satu tangan menciptakan balasan awal; meraih bawah dagu [Name] agar mendongak, sedikit diarahkan ke samping hingga bibir memberi kecupan singkat pada permukaan bibir sang wanita. Wajah dimundurkan bersamaan masing-masing kelopak mata terbuka, Rosho melepas senyuman saat pandangan saling mengunci satu sama lain. Cinta dengan perjalanan lancar memang adalah sebuah anugerah, tetapi bagi mereka yang menjalankan jalur sulit dan bertentangan: perasaan cinta itu tetaplah sebuah anugerah. Lantas jelas sekali, impian untuk terus bersama jauh lebih kompleks dibandingkan meraih impian personal.

"Konyol, tentu saja aku masih menyimpannya, Darling. Memilikimu adalah salah satu impianku, kau tahu?"

.

.

.

'----you can feel yourself not as a stranger in the world. Not as something here on probation, not as something that has arrived here by fluke. But you can begin to feel your own existence as absolute fundamental. What you are basically, deep down, far in, is simply the fabric and structure of existence itself.'

End.

.

.

.

"Hei, tunggu, bukankah itu [Name]?"

Pemilik helai rambut kehijauan otomatis berhenti melangkah setelah menjelajahi daerah gedung stasiun televisi, hendak mengatur jadwal pertunjukkan berikutnya yang direncanakan untuk pekan mendatang. Tetapi atensi diambil secara utuh setelah menangkap sosok familiar pada pandangan, kebetulan sudah meraih komunikasi kembali dan menjalin pertemanan bersama dengan Rosho seperti dahulu, Sasara Nurude ikut pula mendapatkan kabar buruk di mana sosok teman baik kehilangan hubungan dengan calon tunangannya; tetapi, sekarang, Sasara menangkap sosok tunangan tersebut--- apakah sang lelaki harus mengabari Rosho di mana jelas temannya itu kehilangan kontak dan tidak mampu menemui keberadaan sang wanita di manapun? Sasara berbicara sendiri saat menyadari, mengamati eksistensi tersebut sampai benar-benar menghilang di balik lorong. Tentu saja, sang lelaki ingin dengan cepat beranjak dari sana pula. Menarik pilihan guna memberitahu.

"Selamat siang, Tuan Nurude."

Tetapi langkah Sasara berhenti pada saat itu juga. Menangkap suara familiar dari mulut lelaki paruh baya, seseorang yang ia tampak kenal melalui indra pendengaran, tetapi jelas sepasang mata belum mengenal wajah dengan sangat baik. Maka saat sang lelaki menoleh ke asal suara, tidak bisa terbayangkan betapa sensasi tegang menjalar ke seluruh tubuh; cucur keringat terhasilkan sekali pada permukaan pelipis, mulut sedikit terbuka walaupun suara tercekat sempurna. Di mata orang-orang, mungkin sosok di dekatnya sekarang adalah seorang motivator. Tetapi bagi sang lelaki dengan bekas identitas sebagai Yakuza, ia amat tahu betul latar di balik sosok tersebut. Kegelapan diselimuti cahaya, untunglah cahaya tersebut tidaklah palsu.

"Mungkin sedikit tidak sopan meminta bantuan saat baru pertama kalinya bertemu empat mata. Tetapi apakah dirimu berkenan?"

Sasara sedikit meneguk saliva, ekspresi bersahabat tersebut justru tampak mengerikan bagi orang yang telah mengupas jauh.

"Kau----"

-?-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top