Sin - 8
Vote and comment, thanks :)
Happy Reading ♥♥
NAPAS YANG KELUAR dari paru-paraku terasa sedikit sasak saat aku berlutut dengan kaki yang terbuka menghadap ke tembok. Telanjang dan berlutut untuk menunggu Sinclair bercinta denganku, otakku pasti sudah terbakar karena aku melakukan ini. Antisipasi memakanku, membuatku menggeliat di setiap detik yang aku hitung. Aku sudah berlutut untuk mungkin lima belas menit, aku tidak yakin karena aku tidak berani melirik jam. Mataku jatuh ke pangkuanku, dan aku menanti dengan gelisah untuk suara kenop pintu yang berputar. Aku sudah mendengar mesin mobilnya memasuki halaman, dan aku berlari ke atas untuk menunggunya seperti yang dia perintahkan. Berlutut seperti gadis baik yang dia inginkan. Aku akan menjadi apa yang dia inginkan, buat dia percaya padaku hingga dia tidak akan menyadari ketika aku menyelinap darinya.
Suara derit pintu yang terbuka membuat tubuhku lebih sadar, bahuku tegang, dan aku mulai menghitung napas untuk menjaga diriku tetap tenang. Aku mendengarkan langkah kakinya yang telanjang, berjalan di lantai marmer dengan tenang. Hampir tidak membuat suara apa pun. Dorongan untuk berputar, untuk melihatnya, menggedor kepalaku. Hanya ingin melihat sekilas dari dirinya. Apakah dia berpakaian? Apakah dia telanjang? Apa yang mungkin dia bawa? Lututku mulai terasa sakit karena berlutut di lantai marmer yang dingin terlalu lama, aku ingin bergerak, ingin melihatnya, ingin tahu apa yang dia rencanakan. Pikiran-pikiran itu buyar saat sesuatu yang berumbai seperti tali, kulit, sesuatu seperti cambuk? Aku tidak yakin tapi itu bergerak di sepanjang tulang punggungku. Aku sedikit menggeliat, tetap mempertahankan posisi diamku. Lalu itu menjadi satu sengatan cepat di punggungku, cambukan di sepanjang punggungku yang telanjang. Cambuk kulit menggigit kulitku dan aku menjerit kecil dan menoleh ke belakang. Melihatnya mengawasiku dangan mata yang gelap.
"Kenapa?" bisikku dengan mata lebar. Aku tidak melakukan kesalahan, aku tidak menentangnya, aku tidak membuatnya marah. Dia seharusnya tidak menghukumku.
Satu cambukan lain menggigit kulitku kali ini lebih ke bawah, tepat di atas pantatku. Mataku berair karena perih, dan aku bergeser sedikit menjauh darinya. "Tangan tetap di lutut, mata jatuh, aku tidak memberimu izin untuk bicara."
"Apa salahku?" desisku. Aku tidak mendengarkannya, aku menatap ke matanya dengan marah.
"Nina, kepala menunduk! Tangan di lututmu, lakukan!" Dia memainkan cambuk di jarinya. Menungguku untuk melakukan apa yang dia katakan.
"Kamu akan mencambukku lagi." Aku melihat ke kaus putih yang dia pakai, melihat warna itu begitu kontras dengan kulitnya yang gelap. Semacam kontradiksi lain dari darinya.
"Aku akan dan jika kamu tidak melakukannya maka itu akan jadi lebih buruk." Dia menatapku dengan kepastian di matanya. Aku mempertahankan tatapanku beberapa detik lebih lama di matanya sebelum mengembuskan napas kalah dan menunduk kembali ke posisi awalku. "Lihat! Itu mudah."
Mudah sialan, pikirku. Satu cambuk lain menggores punggungku, aku meringis tapi menahan dorongan untuk mengutuknya, menahan diriku sendiri untuk memaki dan berbalik untuk mencakarnya. Aku pergi dengan lima cambukan lain sebelum dia menjatuhkannya dan dia meraih daguku, menciumku dengan lembut di bibirku yang basah. Belaian lidah yang membujuk, begitu manis seolah dia tidak pergi mencambukku beberapa detik yang lalu. Jarinya menyentuh putingku yang keras, mencubit dan memutarnya, dia menyentuhku seperti aku miliknya, seperti dia memiliki izin untuk menyentuhnya. "Kenapa?" ucapku pelan, hampir tidak ada nyawa di suara itu.
Kenapa kamu menahanku? Kenapa kamu memukulku? Kenapa kamu mencambukku? Dan kenapa kamu menciumku seperti itu? Aku ingin menjerit, katakan padanya untuk berhenti mengacau di kepalaku.
"Karena kamu milikku." Jawaban singkat yang hanya membuat lebih banyak rasa frustrasi padaku. Dia melepaskan ciumam kami dan berdiri tegak, membuang kaus pergi dari tubuhnya. Aku minum dari pemandangan tubuhnya yang kuat, kulit cokelat yang membungkus ototnya dengan ketat. Tuhan, dia cantik, bukan dalam arti feminine tentu saja tapi tubuhnya adalah sesuatu yang akan membuatku menangis untuk bisa menyentuhnya. Dia bergerak, matanya mengamatiku dengan minat terbakar yang panas lalu berakhir duduk di ranjang dengan kaki yang terbuka, terlihat santai dan menikmati dirinya sendiri dan masih melihatku dengan mata predator. "Sekarang berdiri, dapatkan di kakimu!"
Aku melakukannya secepat yang bisa dilakukan kakiku yang kaku setelah berlutut begitu lama. Aku berdiri diam, menunggu untuk perintah lain seperti peliharaan yang patuh. Punggungku masih panas tapi itu tidak buruk, sebenarnya itu tidak terlalu sakit, kulit cambuk itu lembut dan mengigit saat memukul kulitku tapi hanya itu.
"Datang!" Dia menekuk jarinya, isyarat untuk memintaku mendekat. Saat aku berdiri di depannya dia tersenyum. "Apakah kamu sudah makan?" Aku mengangguk. "Bicara padaku."
"Ya, aku sudah makan Sinclair." Suaraku terdengar mekanis. Aku tidak tahu kenapa aku bahkan berpikir malam ini bisa menjadi cukup baik. Tiba-tiba aku kembali membenci setiap apa yang telah dia lakukan, bagaimana dia memainkan pikiranku begitu baik. Bagaimana dia membuatku menginginkannya bahkan aku memikirkannya siang ini, menunggu jam dan menit untuk dia pulang. Dia membuatku gila dan itu, dia berhasil.
Dia tidak pernah menutupi kalau dia akan menyakitiku, dia selalu mengatakan apa yang dia inginkan, dan itu berarti semuanya. Tapi masih tetap saja, dia berhasil memutar pikiranku, membuatku tertekuk, membuatku menginginkannya. Dia ingin memiliki semua, tubuh, pikiran, dan hatiku. Dan setiap menit yang aku habiskan dengannya selalu aku berakhir kalah. Aku tidak ingin menyukainya, aku ingin membencinya seperti gadis normal. Aku ingin marah ketika dia memperlakukanku dengan kasar, ketika dia menyakitiku tapi kemudian dia menunjukkan yang lain. Bukan sesuatu yang ramah tapi kerentanan, dia membiarkanku masuk melihat jiwanya, melihat apa yang ada di dalamnya. Seolah aku penting untuknya, seolah dia mempercayaiku untuk melihat yang tergelap dari dirinya dan aku tidak bisa menolaknya. Aku ingin lebih, aku sadar itu. Aku tidak hanya ingin opsesinya tapi aku ingin dia tumbuh mencintaiku.
"Berlutut," ucapnya dan aku duduk di antara kakinya. Dia mengenakan celana panjang denim yang usang, ada lubang di lutut kanannya sebesar kuku jariku, aku memperhatikan itu seolah itu sangat menarik. Lalu dia mengusap kepalaku dan aku tidak bisa menghentikan diriku untuk bersandar pada sentuhannya. Pada jari-jarinya yang panjang dan tegas. Aku menyukai nuansa sentuhannya di kulitku, bagaimana itu terasa seperti dia memilikiku, menjagaku. Perasaan ini gila dan aneh tapi memang terasa seperti itu. "Apa yang kamu lakukan hari ini saat aku pergi, Magpie?"
"Perpustakaan. Bukankah aku pernah memberi tahumu kalau aku suka membaca? Kau punya banyak buku yang belum pernah aku baca sebelumnya. Aku mungkin tidak akan pernah menyelesaikan membaca semuanya." Yang tidak aku katakan adalah aku juga berkeliling rumah, mengingat tiap sudut dan mencari celah tapi tidak ada. Jendala memiliki jeruji besi yang tidak menawarkan pelarian sama sekali, pintu terkunci dan penjaga tidak pernah meninggalkan gerbang. Aku juga tidak melupakan kamera, jadi aku masih tidak menemukan ide apa pun tentang pelarian dan setiap detik aku di sini aku mulai menyerah, menerima, dan yang membuatku takut aku mulai terbiasa dan menyukainya.
"Benar. Membaca dan musik. Apakah kamu ingin bermain?" Dia bertanya, mengangkat daguku dengan ibu jari dan jari telunjuknya. Aku ingat pertemuan pertama kami, musik yang kami bagi bersama. Bagaimana melodinya yang tegas dan kuat berbaur dengan milikku yang sedih dan penuh harap, melodinya menuntun milikku, mendominasi milikku, seperti dia padaku.
"Tidak. Tidak untuk saat ini." Tidak ketika perasaanku begitu berantakan, tidak ketika aku tidak tahu apa yang aku rasakan.
"Kesal padaku, bukan?" ucapnya. Ada sedikit nada geli dalam suaranya, main-main, terhibur.
"Aku berharap malam ini akan bagus tapi kamu hanya datang dan mencambukku meski aku tidak melakukan apa pun. Kamu ingin aku jujur, jadi aku katakan ini, kamu mengacaukannya."
"Apakah itu Magpie-ku marah?" Dia menggoda dan seperti ini aku kesulitan untuk tetap membencinya. Saat dia ingin menjadi baik, dia bisa melakukannya dengan sangat bagus dan aku kesulitan untuk menemukan monster di dalam dirinya untuk membencinya.
"Yah! Karena kamu baru saja mengacau, kamu menghancurkan malam yang aku pikir akan kita miliki!"
"Kita? Apa itu artinya aku dan kamu, Magpie? Apa akhirnya kamu mengakui kamu menginginkanku?" Senyum arogan di bibirnya membuatku kesal. Sungguh dia tidak butuh suntikan rasa percaya diri untuk membesarkan kepalanya.
"Kamu tahu persis pikiranku!"
"Aku ingin mendengarmu mengatakannya," balasnya dan aku menggertakkan gigi.
Bagaimana pembicaraan ini jatuh pada titik ini dan aku benar-benar tidak mengerti kenapa aku bahkan menanggapi kata-katanya. "Aku tidak akan mengatakannya."
"Apakah itu sulit? Untuk mengakuinya?"
"Kenapa kamu tidak tanyakan itu pada dirimu sendiri? Kamu menculikku, memukuliku, dan kamu ingin aku mengatakan aku menginginkanmu? Kamu sadar betapa terpelintirnya itu?" desisku. Aku menjatuhkan dahiku ke pahanya, bersandar pada kekuatan maskulinnya karena aku lelah dengan pikiranku sendiri. "Aku menginginkanmu tapi itu salah. Aku tidak boleh menginginkanmu. Itu hanya gila dan salah. Dua hal yang tidak bagus." Aku meremas mataku tertutup, jengkel karena sekali lagi aku membuka diriku terlalu banyak padanya. Bagaimana itu terjadi? Bagaimana aku bisa mempercayainya untuk membiarkan dia melihat diriku yang paling putus asa?
Dia mengangkatku dengan mudah ke pangkuannya dan membuatku menatapnya. Ke mata yang sepertinya bisa menembusku, bisa membacaku begitu mudah. "Pertama Nina, aku tidak menculikmu. Bahkan secara teknis aku menyelamatkanmu dari penculikmu. Dua, tidak ada yang salah jika kamu menyukaiku dan jika kamu keras kepala menyangkal hal itu, aku akan membuatmu memohon, aku akan membuatmu percaya, dan aku akan membuatmu tidak bisa hidup tanpaku."
Ohh, aku percaya dia bisa melakukannya dan itu hanya alasan lain kenapa aku harus takut. Alasan lain kenapa aku tidak harus melawannya begitu buruk, karena aku tahu dia akan menemukan jalannya jadi kenapa jika aku menyerah sekarang? Kenapa tidak biarkan dia membawaku? Dia benar aku menginginkannya dan semua yang menahanku hanyalah penyangkalan karena aku pikir ini salah. Apa yang kami miliki salah. Tapi aku menginginkannya. Aku sudah melakukan banyak hal gila saat di dekatnya jadi satu lagi kegilaan tidak akan membuat semuanya terlalu buruk, bukan?
"Aku menginginkanmu." Itu keluar dengan cepat, aku bahkan hampir tidak mengerti kata-kataku sendiri. Tapi dia tidak memintaku mengulangnya, dia mendengarnya dan hanya itu yang dia butuhkan.
"Telungkup di ranjang!" ucapnya. Aku melompat dari pangkuannya melakukan apa yang dia perintahkan secepat yang aku bisa. Suaranya kasar dan tebal, membutuhkan. Dia membutuhkan aku, itu membuat pikiranku tinggi. Dia membungkuk di atasku, dadanya panas menekan punggungku, dan bibirnya di dekat telingaku, berbisik dengan suara yang kaya. "Lain kali Magpie, aku akan membawamu terikat, dibungkam, dan dibutakan. Dan aku akan memastikan kamu menyukainya, kamu akan menikmati setiap detik saat aku menyentuhmu, tapi untuk malam ini aku mau ini semua tentangmu. Kau sudah menjadi gadis yang baik, bukan? Jadi aku ingin menyenangkanmu."
Dia menarik pinggulku ke atas, menahan kedua tanganku di punggungku dengan satu tanganya. Itu membuatku hanya bertumpu pada lututku dan wajahku menekan ke kasur, aku harus memiringkannya untuk bisa mengambil napas. Jantungku balap dan pikiran rasionalku mati untuk saat ini, kulitku terasa gatal untuk sentuhan, panas untuk bisa merasakan kontak dengannya. "Kamu akan selalu mengingat malam ini Nina, ingat saat aku bergerak jauh di dalam dirimu. Ingat siapa yang memiliki tubuh cantik ini, apakah kamu mengerti?" Dia menyelipkan jarinya ke dalam diriku, berputar dan menusuk, aku mengerang dihidupkan dengan begitu buruk. "Semua. Ini. Mililkku!" geramnya dan dia mendorong jarinya ke dalam lipatan basahku di setiap kata untuk penekanan. Aku menangis, ingin lebih, ingin lebih banyak. Ya, ya, dia bisa memilikinya. Semua miliknya.
"Tolong," bisikku.
"Tolong apa, Magpie? Apa yang kamu inginkan?" Dia berbisik, suaranya begitu rendah dan terengah-engah. Sementara jarinya masih menghancurkanku, mendorong dan berputar di klitorisku. "Ingin mililku yang tebal dan keras jauh terbenam di dalam dirimu? Ingin aku meregangkan dirimu hingga kamu meneriakkan namaku?"
Ya sial! Aku ingin semua itu. Aku mau dia. Butuh dia.
"Beritahu aku Magpie apa yang kamu mau!" ucapnya.
"Aku mau kamu. Aku ingin kamu bercinta denganku, hingga aku berteriak, hingga aku lupa siapa aku."
Cengkeramanya di pergelangan tanganku perlahan mengendur dan dia melepaskanku. "Jaga tanganmu diam," ucapnya. Aku pikir aku mengangguk tapi aku tidak yakin, kepalaku terlalu penuh dengan gairah tebal dan yang dapat aku pikirkan hanyalah dia mengisiku, meregangkanku dengan miliknya yang panjang dan tebal sehingga aku bisa lupa tentang semua hal kacau di hidupku.
Aku mendengar bunyi zip diturunkan, suara lembut celananya jatuh ke lantai dan aku merasakan dia menggosokkan miliknya yang panas dan panjang di kelembapanku sebelum dia memegang pingangku dengan kuat, menahanku diam saat dia menempatkan miliknya di pembukaanku. Tuhan! Aku benar-benar melakukannya. Aku membiarkan pria ini menbawaku. "Kita butuh kondom," cicitku. Dia tidak menjauh. "Sinclair?"
"Aku bersih," balasnya tercekat hampir seperti dia sakit. "Dan aku tahu kamu juga bersih. Aku membaca laporan kesehatanmu dari archive club."
"Tapi aku tidak dalam kontrol kehamilan!" desisku marah. Aku sudah tidak minum pil-ku dua hari ini, karena aku bahkan tidak membawa koper sialanku. Aku mencoba bangun tapi dia mendorongku dengan mudah kembali ke posisiku.
"Lalu itu akan bagus," balasnya.
Apa dia hanya bilang itu bagus? Dia gila! Aku tidak bisa hamil. Tidak seperti ini.
"Aku tidak bisa hamil!" bentakku tapi tanganya ketat, menjagaku tetap membungkuk.
"Kamu bisa," desisnya marah.
"Kita bahkan tidak menikah!" Dari mana datangnya kata-kata sialan itu?
"Lalu kita akan!" geramnya dan dia menabrakku. Miliknya meluncur dengan mudah ke dalam diriku karena aku sudah begitu basah. Aku mengerang saat dia mendorong, dan bertetiak saat dia menampar pipi pantatku. Sial! Itu panas tapi kemudian dia bergerak dan rasa panas itu hanya memicuku lebih liar. "Kamu terasa luar biasa." Dia mendorong dan sekali lagi menampar pantatku. "Milikku!"
Aku harusnya marah karena dia sekali lagi melanggarku tapi sial, saat dia bergerak di bekakangku aku hancur. Aku ingin ini. Ini terasa baik. Ini terasa benar. Kami berdua bersama terasa benar. Itu pasti gila di otakku tapi tiba-tiba memiliki anak dari pria ini terdengar seperti ide yang bagus. Aku pasti gila. Ini pasti feromon sialan yang memicu pikiran bodoh itu. Dia bergerak dengan keras dan brutal, membenturkan pinggulnya ke tubuhku seolah dia tidak bisa mendapatkan cukup dekat denganku. Tangannya menahan pinggangku agar aku tetap kokoh saat dia menabrakku, jari-jarinya kuat mencengkeramku. Aku belum pernah merasa seperti ini. Dibakar dan mendidih di darahku untuk seks.
"Milik siapa kamu Nina?" geramnya, itu hampir menyerupai binatang. Dia mukul pantatku lagi dan aku berteriak untuknya. Bersemangat untuknya.
"Milikmu!"
"Benar! Semuanya milikku! Kulitmu yang putih sangat cantik dengan garis-garis merah bekas cambukan itu, sangat cantik." Dia membungkuk sekarang, mencium sepanjang punggungku yang telah ia pukul dengan kulit, aku menggigil di bawah sentuhan bibir dan lidahnya yang basah. Tanganku terjepit di antara dadanya yang keras dan panas dan panggungku. Satu tangannya turun membelai payudaraku, menemukan putingku, dan dia menariknya, memelintir dengan jari-jari yang terlalu ahli. Sial! Dia jelas tahu apa yang sedang dia lakukan. "Kamu menyukainya Magpie? Kamu suka aku memukulmu saat milikku terkubur jauh di dalam dirimu, bukan?"
Aku hanya dapat merengek, membuat suara-suara yang aku tidak mengerti. Orgasme membangun di dalam perutku, lembat dan kuat. Aku kesulitan bernapas tapi aku benar-benar tidak peduli, aku tidak peduli saat dia meraih ranbutku, mengepalkan tinjunya dan menariknya ke belakang sehingga aku sedikit mendongak. Pinggulnya terus mendorongku dan bolanya menampar pahaku. Aku begitu tegang, begitu dekat untuk jatuh, aku hanya butuh satu dorongan lebih. Dia mendorong dengan keras, mengubur begitu dalam hingga aku pikir dia membentur dinding rahimku, jarinya memutar dan menarik putingku sementara giginya menggigit daun telingaku. Saat itu aku menjerit namanya. Aku menangis dan aku hilang. Aku merasakan benihnya mengisiku, panas ke dalam rahimku dan itu memicu orgasme lain dari tubuhku. Aku berguncang, dihabiskan dan untuk sesaat aku membiarkan diriku menyelinap ke dalam mimpi yang bagus, biarkan Sinclair mencintaiku, aku ingin lebih darinya, dari pria ini. Dia mungkin bukan pria terbaik di dunia tapi ada bagian dari dirinya yang membuatku merasa cocok. Sesuatu yang kami berdua telah lama kehilangan. Kami sudah lupa bagaimana rasanya memiliki seseorang untuk berbagi. Memiliki seseorang yang menginginkan kami.
Aku mengambil napas yang panjang saat dia berguling dan jatuh di sisiku sehingga berat tubuhnya tidak menghancurkanku. Aku mendekat dan membiarkan kepalaku beristirahat di dadanya yang keras dan berkeringat. Napas kami berbaur dan keheningan membentang di ruangan itu. Belum pernah. Aku tidak pernah mengalami sesuatu seperti itu. Orgasme sekuat itu hingga ketika aku kembali ke tubuhku aku masih melihat bintang di balik kelopak mataku yang tertutup. Lenganya memelukku dan hanya seperti itu aku merasa di tempatku. Aku meringkuk padanya menikmati kulitnya yang hangat dan licin dengan keringat. Tangannya memainkan rambutku yang jatuh ke bahuku. Aku gelisah, ingin mengatakan padanya apa yang aku rasakan, apa yang aku inginkan untuk kita berdua, tapi aku takut. Jadi aku membiarkan diam memakan kami, hanya detak jantung dan suara napas kami yang ada di udara. Aku ingin tahu apa yang dia pikirkan saat ini, ingin tahu apakah dia merasakan hal yang sama denganku. Tapi dia tidak pernah bicara, dia hanya memelukku lebih erat dan mencium dahiku, tersenyum. Senyum kecil lembut yang membuatnya terlihat seperti manusia. Hanya itu yang dia lakukan sebelum dia turun dari ranjang menghilang ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya dan kembali dengan handuk basah. Membersihkanku dengan kelembutan seolah aku kaca yang mudah pecah. Lalu dia berbaring kembali di sampingku, membungkus kami berdua dengan selimut dan memelukku erat. Selama itu semua aku tetap tinggal diam, aku masih tidak menemukan keberanian untuk mengatakan apa yang aku rasakan padanya. Aku mencintainya dan aku takut dengannya. Dan aku masih ingin lari darinya.
Double up or not? :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top