8 - Secrets

Aku tidak bisa mengingat apapun setelah itu. Aku merasa tertidur panjang. Aku bahkan tidak bermimpi dalam tidur panjangku. Rasanya masih seperti kemarin.

Tapi ketika aku membuka mataku, aku melihat wajah mama yang bahagia dengan matanya yang membengkak, papa yang menggenggam tangan mama kencang. Dennis yang bediri diujung kakiku dengan senyum kebahagiaan. Airin, dia juga terlihat sehat berdiri di sisi Dennis dengan mata berkaca-kaca.

Melihatku membuka mata, seorang dokter langsung memeriksaku. Menyenter mataku dengan senter, lalu memeriksaku dengan stetoskop. Setelah berbincang dengan orang tuaku, dokter itu beranjak pergi meninggalkan ruangan.

"Airin, kamu baik-baik saja?" Tanyaku.

Tangis Airin mendadak pecah, "jangan pikirkan aku, Dreamer. Aku merasa bersalah melihatmu seperti ini karena aku," Isaknya.

Aku tersenyum, aku bahagia karena dia selamat. Ahhh kepalaku sakit sekali, aku rasa aku harus beristirahat sebentar lagi. Maka aku memejamkan mataku, dan tertidur.

Dan ketika aku membuka mata, aku melihat hanya ada Dennis tertidur di kursi di sisi tempat tidur. Tangannya menggenggam tanganku erat.

Aku memperhatikan wajahnya begitu indah jika dilihat sedekat ini. Aku belum pernah mengamati wajahnya dengan seksama. Dari tidurnya dia terlihat sangat lelah. Bahkan dia berkeringat. Aku mengangkat tanganku yang bebas. Berusaha mengusap keningnya. Dennisku, dia pasti cemas sekali.

Aku melihat bola matanya bergerak-gerak dibalik kelopaknya, lalu pejaman matanya mengeras, keringatnya mengucur lebih deras. Mimpi burukkah, dia?

Aku mengusap keningnya dan dia tiba-tiba membuka matanya sambil berteriak tertahan, "tidak!" Lalu bola matanya membesar, menatap ke arahku ketakutan.

"Ada apa, Dennis? Kamu mimpi buruk?" Tanyaku.

Dennis menarik napasnya panjang. Aku bisa mendengar deru napasnya.

"Mengapa kau tidak pernah mendengarkanku, Dreamer?" Tanyanya dengan suara berat dan mata berkaca-kaca, "mengapa kau selalu saja membuatku cemas?" Katanya lagi.

Aku menarik tangannya yang mengenggam tanganku, menciumi punggung tangannya.

"Maafkan aku," Desisku. "Tapi aku tidak bisa membiarkan seorangpun mati atau terluka. Apalagi itu Airin."

"Jangan lakukan hal berbahaya lagi," Pinta Dennis serius. "Oya, bagaimana kepalamu? Apa sakit?" Tanyanya.

Aku memegang kepalaku, dan baru menyadari kalau kepalaku diperban.

"Ada apa dengan kepalaku?" Aku merasakan kepalaku sedikit berdenyut.

"Lampu jalan itu, walau tidak menimpa langsung kepalamu karena tas ransel mu, tapi serpihannya tetap mengenai beberapa bagian kepalamu," Jelas Dennis. "Kamu membuatku cemas, melihatmu berlumuran darah di sana, rasanya membuatku merasa gagal melindungimu. Percuma rasanya aku..." Dennis menggantung kalimatnya.

Aku menatapnya, menunggunya meneruskan perkataannya. Tapi dia malah berdiri, berkacak pinggang dan mondar mandir tidak jelas di hadapanku.

Sekuat tenaga aku berusaha mendudukkan diri tapi tidak berhasil. Aku memberi kode agar Dennis menegakkan tempat tidurku agar aku bisa duduk dengan nyaman, setelahnya aku memintanya untuk duduk dengan tenang di sisi tempat tidurku.

Aku menatapnya dengan tersenyum, berusaha membuatnya agar lebih tenang.

"Dreamer," Katanya akhirnya, "sebenarnya apa sih yang kamu lihat di mimpimu tempo hari?"

"Tempo hari? Memangnya sudah berapa lama aku disini?" Tanyaku bingung, karena rasanya kejadian itu belum berlangsung lama.

"Kamu tidur selama 3 hari," Jelas Dennis.

Aku membelalakkan mataku tidak percaya. Tiga hari? Lumayan juga.

"Jadi..." Dennis tidak sabar mendengar jawabanku.

"Mimpiku tentang Airin, ya? Hmm." aku coba mengingat-ingat mimpiku tiga hari lalu.

"Aku bermimpi kalau Airin berdiri di bawah lampu jalan, jam di dekat-dekat situ menunjukkan jam 7 pagi." Aku mulai bercerita, "tapi kemudian lampu itu tiba-tiba jatuh, dan aku melihat darah. Darahnya sangat banyak. Aku berpikir, apakah dia akan mati?" Aku bergidik mengingat mimpiku itu.

"Lalu?" Tanya Dennis lagi, memintaku untuk bercerita lebih lanjut. Tapi seingatku, hanya itu mimpiku.

"Selesai," Kataku, "lalu aku terbangun dengan perasaan cemas dan takut. Itu saja."

"Kamu tidak pernah menyelesaikan mimpimu, ya?"

"Tidak, memang mimpinya selesai disitu," Jelasku. Dennis menggeleng dan aku kebingungan.

"Aku melihatmu berlari menuju Airin, kamu mendorongnya menjauh, lalu lampu itu menimpamu, dan kamu berdarah, darah itu adalah darahmu, bukan darah Airin."

Apa sebenarnya yang Dennis katakan?

"Dan lampu itu jatuh, karena ada Martin disana. Dia menjatuhkannya karena melihatmu berada disana, berlari menuju mereka."

"Apa maksudmu?" Aku bingung, "Martin siapa?" Tanyaku, lalu aku mencoba mengingat, apa maksud Dennis pria berambut coklat itu? Aku menatap Dennis. Dan Dennis mengangguk.

"Mengapa kau seolah bermimpi sama sepertiku?"

"Aku sejak setahun lalu, juga bermimpi seperti kamu. Hanya saja... aku hanya bermimpi tentang kamu." Dennis menatapku, meyakinkanku. Aku menatapnya tidak percaya.

"Aku teman Josh, kakakmu." Katanya lagi. Aku bergeming. Kepalaku mendadak bertambah sakit. Mengapa dia menyebut nama Josh?

"Kau sakit?" Dennis menatapku kuatir, "apa sebaiknya aku tidak menceritakan hal itu sekarang?"

Aku menggeleng, aku terlalu penasaran untuk menunggu nanti.

"12 tahun yang lalu aku dan Josh, kami berteman sangat dekat. Kami juga di satu grup pecinta alam di SMA." Dennis memulai ceritanya, "aku juga beberapa kali main ke rumahnya, rumah mu, tapi kita tidak pernah bertemu."

Aku mencoba mengingat, dan dalam ingatanku, jika dia memang pernah ke rumahku, aku memang tidak pernah melihatnya.

"Sempat aku melihat sepatu perempuan ada di depan rumahmu, tapi ketika aku masuk, kamu tidak ada. Sedang les lah, main ke rumah teman lah, bahkan tidur." Dennis terdengar kecewa. "Padahal aku selalu penasaran denganmu. Josh selalu bercerita tentang adik kecilnya yang doyan tidur, tapi cantik." Kata terakhir ini disebutnya sambil menatap tepat ke pupil mataku, aku merasa pipi ku panas, memerah karena malu.

"Dan pada hari itu, hari di mana kejadian itu terjadi. Dia menunjukkan kepadaku foto mu." Suaranya terdengar perlahan. "Aku ingat sekali apa yang dikatakannya saat itu.

Josh : jika aku di ijinkan mencari seseorang yang tepat untuk adikku, aku akan memilihmu
Dennis : mengapa?
Josh : karena kamu orang baik, pemimpi seperti dia sebagaimana ayah dan ibuku memberinya nama...Dreamer, membutuhkan orang sepertimu.
Dennis : maksudmu apa?
Josh : bagiku, sebagaimana yang aku lihat, sebagaimana yang aku dengar, sebagaimana yang aku mimpikan...kau akan mampu menjaganya kelak, maka berjanjilah kau akan mendampinginya...berjanjilah...
Dennis : (terdiam lama, namun akhirnya menganggukkan kepalanya)

"Saat itu aku tidak mengerti maksudnya, aku hanya merebut fotomu dan menyelipkannya ke dalam kantong celanaku, dan setelahnya tercecer entah kemana karena aku sulit menemukannya lagi. Tapi sekarang aku mengerti apa maksud Josh." Dennis menarik napas panjang. "Bahkan ketika aku hampir melupakan percakapan kami waktu itu, setahun yang lalu, Josh mengingatkanku lagi."

"Josh? Bagaimana mungkin?" Bola mataku membesar, apa kakakku belum mati? Apa karena dia belum matilah maka kami tidak pernah menemukan jasadnya dibawah sana?

Dennis mengelus rambutku sayang, menenangkanku, lalu mulai kembali bercerita.

"Kira-kira setahun yang lalu, waktu aku masih di Amerika, waktu memikirkan untuk kembalipun tidak, waktu aku hampir melupakan janjiku pada Josh. Saat itulah, untuk pertama kalinya aku melihatmu dalam mimpiku." Dennis menatapku dalam. "Dalam mimpiku aku bisa melihatmu tertawa, menangis, bahagia, bersedih. Aku melihatmu begitu nyata, bahkan walau itu hanya di dalam mimpi. Sungguh, terlihat sangat nyata. Bahkan aku bisa tertawa saat kau tertawa, dan merasakan sakit yang sangat saat kau bersedih."

Aku menahan napasku. Apa maksud dari semua ini?

"Dan ketika aku terbangun, aku terbangun dengan fotomu dalam genggamanku. Bahkan aku tidak tau bagaimana bisa foto itu ada dalam genggamanku, dan namamu 'Dreamer' ada dibaliknya." Dennis terlihat emosional. "Aku yakin itu Josh, dia mengingatkan ku akan janjiku dulu, untuk menjagamu."

Dennis hendak mengakhiri ceritanya, tapi aku belum puas.

"Tapi kalau kau hanya bermimpi tentangku seperti itu, itu hanya mimpi biasa. Bagaimana mungkin kamu menjelaskan kejadian yang menimpaku pada saat kejadian Airin?" Tanyaku dengan rasa penasaran yang sangat.

Dennis menghela napasnya.

"Hal ini juga baru aku sadari saat pertama kali melihat kamu di seven eleven waktu itu. Ingat?" Tanyanya dan aku mengangguk.

"Malam sebelumnya aku memimpikan kalau kau akan celaka, maka aku setengah mati mencarimu waktu itu. Kejadian di mimpiku terlihat sangat nyata, oleh karena itu aku harus mendapatkanmu dan mencari tau kebenarannya."

"Hal pertama yang aku sadari waktu itu adalah, aku tidak bisa mendengar apa yang ada di pikiranmu. Hal itu saja sudah membuatku sangat kesal." Dennis mendengus, "jadi aku hanya diam dan melihat gerak gerikmu saja. Dan ketika pria itu mulai mendekatimu, maka aku yakin kalau mimpiku itu nyata."

"Lalu kamu ingat, besoknya? Ketika aku memintamu untuk berhati-hati dan menelponku setelah jam 9 pagi? Itu karena aku melihat kau akan kecelakaan karena sepeda motor di jam 9 pagi," tambahnya.

Aku terperangah, aku ingat semua kejadian itu. Dia seperti seorang stalker bagiku pada saat itu.

"Lalu," Kataku, "kejadian malam itu, waktu kita di cegat di perumahanku?"

Dennis mengangguk.

"Lalu apa kau juga melihat mimpi yang lain?"

"Tidak, aku hanya memimpikanmu. Kejadian-kejadian yang akan kau alami. Baik itu yang menyenangkan ataupun yang tidak," Kata Dennis.

Aku merajut semua penjelasan Dennis dan menyadari mengapa semuanya nampak masuk akal sekarang.

"Ohhh itu sebabnya..." Gumamku.

"Apa?"

"Karena aku tidak bisa melihat diriku sendiri di dalam mimpiku, maka setiap kejadian yang melibatkanku tidak pernah selesai di mimpiku. Sedangkan kamu, kamu hanya melihat bagian yang ada akunya saja." Aku membulatkan mataku kearah Dennis. "Wow....we're meant to be!"

Dennis tertawa lalu mencubit pipiku dengan gemas. "Sepertinya kamu sudah sehat sekarang," Godanya.

"1000%!" seruku lalu seolah-olah merapikan selimut. "Ayo kita pulang!"

"In your dream!" Dennis mencuil hidungku.

Ahhh Josh, kakakku tersayang, dia memang selalu mencemaskan dan menjagaku dengan caranya, bahkan di hari terakhirnya dia menitipkan ku ke orang yang tepat.

Tapi masih banyak hal yang hendak aku tanyakan. Bagaimana caranya dia mendengar pikiran tapi tidak dengan pikiranku, lalu Grace juga.

"Dan Martin juga,"

Aku dan Dennis menatap ke arah pintu, entah kapan datangnya, Grace sudah berdiri di ambang pintu. Rambut pirangnya berkilauan. Perlahan dia menghampiri kami.

"Jangan berpikir seperti itu, Dennis. Aku ga sejahat itu," Katanya seakan mengetahui isi kepala Dennis, well dia memang tau, kan?

Dennis berdiri tepat di hadapanku. Menegang. Pria dan wanita itu, berhadapan dengan hawa menakutkan tepat di hadapanku.

--------

Verlitaisme's Speaking!

Haha....bagian ini agak di paksakan, ya?
Mau cerita panjang lebar tentang Josh dan Dennis sebenarnya. Tapi ntar jadi ngalor ngidul kepanjangan.
Nanti deh, kalau sempat...kita bahas tuntas hal-hal yang masih mengganjal....

So, silahkan di nikmati ya...
Jangan lupa komen dan votes nya, yes!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top