5 - With You, I Shared
Aku dan Dennis sama-sama terdiam didalam mobil. Pikiranku kalut, apa yang kukatakan tadi pasti tidak masuk akal buatnya.
Melihatnya dalam mimpiku? Kejadian yang sama dalam mimpiku? Dia mungkin berpikir aku gila.
"Jadi." Dennis memecah keheningan, "kamu bilang kamu melihat kejadian itu dalam mimpimu? Kamu melihatku dalam mimpimu?"
Aku tidak langsung menjawab, aku masih merasakan panas dimataku karena menangis tadi.
"Dreamer." Dennis menatapku karena tak juga mendapatkan jawaban.
Aku mengangguk tanpa menatapnya, aku terlalu takut untuk dianggap gila kalau aku melihat matanya.
"Bukan hanya kamu, tapi kedua orang tadi juga," Jawabku pelan.
"Mungkin hanya kebetulan" kata Dennis. Dan aku kembali menggeleng.
"Aku bisa melihat kejadian-kejadian di mimpiku...kejadian yang akan terjadi."
"Hanya kejadian tentang akukah?" Tanya Dennis.
"Bukan hanya kamu, tapi semua orang....yang kukenal ataupun yang tidak pernah aku temui sebelumnya," Jelasku, "tapi kali ini ada yang aneh."
"Apa yang aneh?" Dennis penasaran.
"Aku tidak pernah melihat diriku dalam mimpiku sendiri, aku tidak pernah jadi korban dalam mimpiku, dan kali inipun begitu." Suaraku bergetar, "tapi tadi, kejadian tadi....mengapa aku harus menjadi bagian? Dan beberapa minggu yang lalu juga!" Aku tiba-tiba teringat kejadian pertama kali kami bertemu, "pertama kali kita bertemu, seharusnya kau menusuk pria bertopi itu."
"Aku melakukannya, aku menusuknya." Dennis mencoba mengingat kembali kejadian dulu.
Aku menggeleng keras. "Tapi yang tidak aku ketahui, kau melakukannya untuk menolongku, dan hari ini kau juga menolongku." Aku menutup wajahku, "aku tidak bisa melihat kejadian yang akan menimpaku dalam mimpiku sendiri, tapi beberapa kali, bersamamu, aku selalu menjadi bagian penting dari tiap scene."
Aku mengangkat kepalaku menatap Dennis dengan mata yang basah.
"Aku frustasi, tidak ada yang mengetahui tentang hal ini...aku rasa, kalau aku tidak pernah berbagi, aku akan mati karna frustasi." Aku menggigit bibirku, menahan emosi yang bergejolak.
"Aku rasa aku akan menjadi gila. kamu tidak tau rasanya. Hanya memimpikan kejadian-kejadian buruk yang akan menimpa orang lain. Betapa berdosanya aku bila aku tidak bisa menemukan orang yang ada dalam mimpiku...betapa berdosanya aku ketika aku tidak bisa mengubah takdir mereka...betapa berdosanya ak....".
Tiba-tiba aku merasakan bibir lembut Dennis dibibirku. Menekan dengan lembut dan hati-hati. Aku terkejut, mataku membulat. Tapi perlahan aku merasa nyaman, dan mulai menutup mataku. Menikmati bibir lembutnya, membiarkannya menekan bibirku beberapa saat....aku merasa bebanku, lepas...
Perlahan Dennis menarik bibirnya, lalu menatapku yang membuka perlahan.
"Mulai hari ini, berbagilah denganku," Ucapnya pelan, "kau tidak perlu frustasi, gila, apalagi mati. Setidaknya jadikan aku alasan bagimu untuk terus hidup." Dennis tersenyum.
Aku menatapnya, lalu membalas senyumnya. Setidaknya, aku memiliki kamu untuk bercerita.
🌛🌛🌛🌛🌛🌛🌛
Bel dirumah berbunyi beberapa kali. Lalu aku mendengar seseorang membuka pintu. Jam 7 pagi.
"Dreamer, ada seseorang menjemputmu." Mama memanggilku agak kencang dari ruang tamu.
Aku menerutkan keningku, menjemputku? Siapa? Aku membuka gorden jendelaku, melihat ke arah pintu gerbang, sedan merah....Dennis!
Karuan aku mengambil tasku, mengoleskan sedikit lipgloss dibibirku. Arghhh aku merasa bibirku masih kering, ku oleskan lagi lipbalm sehingga bibirku terasa lembab.
Aku mendengar mama memanggilku sekali lagi. Aku langsung membuka pintu kamarku, mama sudah berdiri didepannya.
"Pacarmu?" Tanya mama langsung tanpa basa basi. Aku mengangkat bahuku, karena sejujurnya aku juga tidak yakin apa arti dari kejadian semalam.
"Ganteng juga." Mama mencuil pipiku. Aku merasa pipiku memerah malu.
"Pulang kantor, jangan lupa cerita ya," Goda mama. Aku merasa pipiku memerah terbakar saking malunya.
Aku berdiri didepan pintu, berkemeja putih sambil tersenyum kearahku. Mama benar, Dennis-ku tampan sekali.
🌛🌛🌛🌛🌛🌛🌛
Seperi biasa aku menikmati kopi pagiku di coffee shop seberang kantor. Tapi rasa kopi hari ini sungguh berbeda. Terasa lebih manis, padahal tanpa ekstra gula. Ahhh mungkin karena ada mr. 9,5 poin dihadapanku. Apa kujadikan saja mr. 10 poin sekalian?
Dennis sejak tadi juga terus tersenyum kearahku. Ahhh aku kasmaran hanya dalam waktu semalam.
"Sepertinya tadi malam, kamu mimpi indah ya?" Goda Dennis yang kusambut dengan cemberut pura-puraku.
"Tadi malam aku tidak bermimpi apapun, makanya aku tidak mengantuk dan semangat hari ini." Jelasku.
Dan memang benar semalam aku tidak bermimpi apapun. Aku selalu bahagia bila tidak bermimpi dimalam hari, karena artinya aku tidak punya tanggung jawab di keesokkan harinya yang pasti akan membuatku frustasi.
"Baguslah," Dennis mengacak rambutku sayang, "Aku senang kalau kamu bersemangat." Dia mencuil hidungku gemas.
"Tapi aku penasaran, dua orang yang kemarin itu siapa?" Tanyaku.
"Nanti, akan kuceritakan nanti, oke?" Dennis melihat jam tangannya,"15 menit lagi jam 9, kita ke kantor sekarang, yuk!" Ajaknya.
Kami berdiam di ujung jalan, menunggu lampu hijau untuk pejalan kaki menyala agar kami bisa menyebrang. Kami masing-masing memegang cup kertas kopi yang belum habis kami minum.
Lampu berubah hijau, aku melangkah hendak menyebrang ketika aku merasakan tangan lain meraih telapak tanganku, menggenggamnya erat dan menarikku maju....Dennis, dia menggenggam tanganku dan menarikku untuk menyebrang.
Aku bisa melihat punggungnya, terlihat nyaman dan menenangkan. Ia menoleh padaku, aku tertangkap mata sedang menikmati indahnya. Dia tersenyum menyejukkan dan menyeruput kopi dalam genggaman satunya. Sempurna.
🌛🌛🌛🌛🌛🌛🌛
Lagi-lagi aku terbangun dengan keringat yang mengucur dan jantung berdebar kencang. Aku melihat jam di dinding, masih jam 4 subuh. Ini mungkin bukan pertama kalinya aku bermimpi buruk, tapi selalu dan selalu saja aku tidak bisa bersikap biasa ketika terbangun.
Aku mencoba mengingat keseluruhan mimpiku. Aku mencoba mengingat kejadiannya, mencoba mengingat waktunya, mengingat tempatnya, mengingat korbannya, mengingat penyebabnya, dan pada akhirnya mencoba menimbang-nimbang apa yang harus kulakukan untuk mencegah semua itu terjadi.
Aku seperti seseorang yang harus menyelesaikan sebuah pekerjaan rumah yang sulit. Bisa saja hasilnya sempurna, tapi bisa juga hasilnya nol besar.
🌛🌛🌛🌛🌛🌛🌛
Dan ternyata pagi ini ada meeting yang tidak dapat aku lewatkan. Aku melirik jam tanganku, sudah jam 10:15 pagi. Sedangkan kejadian itu, seingatku, adalah jam 11 pagi ini. Artinya tinggal 45 menit lagi.
Aku memainkan pulpen ditanganku, memutar-mutarnya karena aku sangat gelisah. Dengan berdebar karena rasa kuatir, aku menatap keluar jendela....macet! Artinya berlari ke lokasi kejadian adalah jalan terbaik.
Aku melirik outfitku hari ini. Astaga! Rok panjang yang dipadu dengan sepatu high heels. Sial!
Tepat jam 10:40 meeting selesai. Artinya aku hanya punya waku 20 menit mencapai lokasi dengan cara berlari.
Aku menitipkan laptop dan alat tulisku ke Maya agar dibawa kembali ke ruanganku karena aku tidak ada waktu lagi.
Tergesa aku keluar ruang meeting dan tanpa sengaja aku menabrak seseorang. Aku menengadah, Dennis!
Aku melayangkan pandangan memelas dan panikku ke Dennis, dia pasti mengerti maksudku.
"Apa yang kaulihat?" Tanyanya.
"Stasiun! Aku harus ke stasiun!" Aku sedikit menjerit karena panik, lalu melesat pergi meninggalkan Dennis yang nampaknya masih mencerna kata-kataku.
🌛🌛🌛🌛🌛🌛🌛
Aku berhenti sejenak, menarik napas sepanjang mungkin. Lalu aku kembali berlari secepat kilat dengan napas yang masih tersengal. Rok panjangku sedikit banyak menghalangi lariku, sepatu heels ku sudah ku lepas paksa di belokkan terakhir tadi karena benar-benar membuat gerakku melambat. Aku terus berlari kearah stasiun. Beberapa kali aku melirik jam tanganku, 10:55 pagi. Artinya lima menit lagi.
Aku memaki dalam hati melihat anak tangga yang begitu banyak menuju peron. Aku pejamkan mata sejenak, membulatkan hati, aku sudah bertekad, maka sebaiknya aku lakukan. Sekali lagi aku lirik jam tanganku, 10:58. Dan langkah kaki ku menjadi lebar-lebar berlari menaiki anak tangga...pleaseeee....pekikku dalam hati.
Announcement bahwa kereta akan segera masuk sudah terdengar lantang. Mataku langsung menyapu seluruh peron begitu kakiku menjejak di ujung anak tangga.
"Baju merah, rambut pirang...merah, pirang, jeans....merah, pirang, jeans." Aku mendesis berulang-ulang sambil melangkah tak beraturan, memicingkan mata memperhatikan satu persatu lautan manusia di peron itu. Dan lalu mataku terhenti pada seorang perempuan muda berambut pirang panjang, berbaju merah, dan memakai jeans panjang.
Perempuan itu tampaknya tidak mendengar pengumuman kereta akan segera tiba. Jarak berdirinya sangat tidak aman, tubuhnya bisa saja jatuh dan kereta akan menghantamnya. Dan benar saja, tubuhnya tiba-tiba melimbung, dan aku, pada detik terakhir berhasil menariknya menjauh, sehingga tubuh kami terjatuh dilantai peron yang keras.
Bebapa detik kami hanya berbaring dilantai. Aku bisa merasakan puluhan mata melihat kearah kami, aku bisa mendengar mereka berbisik-bisik. Aku memutar kepalaku kearah perempuan itu. Matanya basah, air matanya mengalir tanpa henti, "mengapa?" Isaknya bertanya padaku.
"Karena mati bukanlah jalan keluar," Desisku, dan tangis perempuan itupun pecah.
Aku memejamkan mataku, menutupnya erat-erat sampai kupikir urat-urat disekitar mataku menegang.
"Aku berhasil," Batinku. Lalu air mata menetes disudut mataku. "Mimpi sialan!" Umpatku lagi.
"Dreamer!"
Aku mendengar suara Dennis memanggilku cemas.
Aku menoleh kearah anak tangga. Di sana Dennis nampak terengah kelelahan, tangan kanannya memegang sepatu yang kulepas paksa ditikungan tadi. Bahkan dia juga menyelamatkan sepatuku.
"Dennis..."
Aku mendengar suara memanggil Dennis-ku, dengan ragu aku menoleh kearah perempuan yang baru saja aku selamatkan nyawanya di sebelahku.
"Dennis..." Panggilnya lagi lirih dengan airmata yang membanjir.
Aku mengalihkan pandanganku cepat kearah Dennis, aku mau melihat reaksinya. Dia sedang mematung, menatap perempuan pirang yang masih terbaring bersamaku di lantai stasiun, dengan pandangan tidak percaya.
Bibirnya bergerak, mengatakan sesuatu.... "Grace," Desisnya. Dia mengenalnya...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top