3 - Annoying Mr (almost) Perfect

-edited-

Aku membuka pintu ruang kerjaku dan langsung berbalik masuk ketika aku melihat Dennis menunggu didepan pintu sambil memainkan handphone.

Sial!

Maya -rekan kerjaku- menatapku aneh dan melayangkan pandangan 'ada apa?', yang kujawab dengan mengangkat bahu 'bukan apa-apaku'.

Perlahan aku membuka pintu kembali dan berharap dia tidak lagi ada di sana, tapi ternyata Dennis justru berdiri tepat di sana, dan tersenyum sumringah ketika kepalaku muncul dengan cara yang konyol dari balik pintu.

Sial yang kedua!

Akhirnya kubuka pintu lebar-lebar, karena sepertinya akan terlihat aneh bila aku menutup pintu itu kembali.

"Hai!" sapanya sambil mengangkat telapak tangan kanannya. Aku tersenyum kecut.

"Siapa?" Maya bertanya sambil berdiri mencari wajah dibalik pintu. Dia langsung memasang sikap resmi yang aneh, begitu melihat Dennis ada disana.

"Pak Dennis?" sapanya kaku.

"Hai Maya " Dennis menyapa balik dengan ramah. "Belum pulang? Sudah jam 7 loh."

Basa-basi.

"Sebentar lagi, pak," jawab Maya salah tingkah sambil memberikan senyum termanisnya.

Aku hampir tersedak melihat kelakuan Maya yang menurutku berlebihan. Sejak Dennis bergabung diperusahaan ini  -yang ternyata adalah perusahaan ayahnya-, semua karyawan perempuan jadi bersikap berlebihan. Memang sih, Dennis terlihat tampan dan super menarik. Seperti yang pernah aku bilang sebelumnya, nilainya 9 koma 5 dalam segi tampang dan fashion.

Tapi buatku, pria 9 koma 5 poin ini sedikit menyebalkan. Dia berlaku seperti seorang stalker pada saat-saat tertentu. Dan sudah beberapa hari ini selalu muncul pada jam minum kopi pagiku. Dan selalu menawarkan untuk mengantarku pulang, yang belum pernah aku iyakan satu kalipun.

Aku melangkah melewati Dennis yang langsung mengimbangi langkahku.

"Ada apa, pak?" tanyaku tanpa menghentikan langkahku.

"Dari kapan kamu bicara resmi begitu ke aku?" yanya Dennis heran.

"Sejak sekarang," jawabku asal.

Aku tau kalau saat ini Dennis sedang tersenyum geli melihat tingkahku.

Aku menggigit bibirku sebal, lalu menghentikan langkahku secara mendadak. Hampir saja Dennis menabrakku karena hal ini.

"Kamu mau mengantarku pulang, ya?" tanyaku yang disambut anggukan cepat Dennis.

Aku mengatup bibirku rapat sambil berpikir cepat. Apa kira-kira dia akan berhenti mengikuti kalau kuturuti maunya kali ini.

Akhirnya aku menarik napas panjang, dan menatapnya dengan pasrah

"Kamu parkir dimana?" tanyaku menyerah.

Dennis menyunggingkan senyum kemenangannya.

"Lewat sini nona Dreamer," katanya sambil sedikit membungkuk ala jaman kerajaan. Dia membimbingku ke tempat parkir.

🌛🌛🌛🌛🌛🌛🌛

"Nanti didepan belok kanan ya," pintaku.

"Loh, kan rumah kamu belok kiri, Dream." Dennis sedikit menoleh ke arahku.

"Aku ada janji dengan temanku dulu," sahutku.

"Langsung pulang aja," saran Dennis.

"Aku udah janji." Suaraku mulai kesal.

"Oke oke." Dennis membelokkan mobilnya ke kanan. Dan tidak lama kami berhenti disebuah coffee shop.

Cepat aku turun, dan Dennis ikut turun???

"Kok kamu turun?" tanyaku bingung, aku kan tidak mengajaknya.

"Aku kan janji nganter kamu pulang kerumah, bukan ke coffee shop," katanya sambil menyerahkan kunci ke seorang petugas parkir vallet, "jadi aku akan nunggu kamu disini dan mengantar kamu pulang kerumah setelahnya."

Aku hendak protes, tapi Dennis langsung mendudukkan dirinya di salah satu meja terdekat, sambil tersenyum dia berkata, "aku duduk disini, tenang dan tidak akan mengganggu kamu, please kamu have fun dengan teman kamu."

Aku menarik napas kesal, tapi setidaknya dia tidak akan ikut nimbrung. Aku langsung menyapu seluruh ruangan dengan mataku. Disalah satu sudut dekat jendela, Airin melambaikan tangan memanggilku.

🌛🌛🌛🌛🌛🌛

"Itu siapa sih?" Tanya Airin sambil menunjuk kearah Dennis yang sedang duduk sambil memainkan handphonenya, di meja yang agak jauh dari kami.

Rupanya Airin melihat kedatangannya bersamaku tadi.

"Pacar?" tanyanya penasaran.

"Stalker," jawabku sekenanya.

"Yang benerrrr..." Airin tidak percaya.

"Benerrrrr," jawabku tidak berbohong.

"Ganteng ya." Airin terdengar memuji. Ohhh please, masa Airin juga terkena sihir manusia 9,5 poin ini.

"Itu VP dikantor gue," jelasku.

"Oh...hah?! VP? Vice president? Semuda itu?" Airin benar-benar terlihat takjub.

"Dia anak owner. Born as a hier," kataku.

"Oh!" Airin mengangguk-angguk, "ganteng ya."

Aku hanya bisa menarik napas mendengarnya.

"Well?" Aku coba memecah lamunan Airin yang masih terpana melihat Dennis.

"Well." Akhirnya Airin menatapku. "Well, akhirnya Cinta dan Roy mau menikah!" Suara Airin berubah menjadi bersemangat. Dia merogoh tas pink-nya dan mengeluarkan undangan yang juga berwarna pink, lalu menyerahkannya padaku.

Aku menatap undangan itu, ada initial C & R didepannya, seperti judul sebuah infotaiment ya...hehehe.

"Minggu depan! Gue dateng sama Andre, lo sama siapa? Sama siganteng?" Sudut matanya menunjuk nakal kearah Dennis. Refleks aku memukul kepalanya dengan undangan ditanganku, pelan. Airin terkekeh.

🌛🌛🌛🌛🌛🌛🌛

Aku melamun disepanjang perjalanan pulang, bingung akan pergi dengan siapa kepernikahan Cinta dan Roy minggu depan. Inilah kalau berteman dalam jumlah ganjil, yang ber-4 akan end up menjadi pasangan, sedangkan yang seorang akan menjadi sendirian.

"Minggu depan..." Dennis membuyarkan lamunanku. "Aku mau ngajak kamu kesuatu tempat."

"Dalam rangka?" tanyaku penasaran.

"Mau membicarakan sesuatu," kata Dennis pelan. "Tentang aku, dan-- kamu."

Aku menatap Dennis bingung, tapi sepertinya Dennis tidak menyadari. Ekspresinya datar melihat kejalan di depannya. Sudah jam 10 malam, jalan ke arah rumahku untungnya sudah lancar.

"Minggu depan, aku kepernikahan temanku," kataku. "Temanku yang tadi memberikan undangan..."

"Biar aku temani." Dennis menatapku sekilas lalu kembali melihat jalan. "Dari pada kamu sendirian, disangka ngga laku ntar." Nada bicara tenangnya berubah menjadi ledekkan, dan refleks aku mencubit lengannya.

"Aduh!" Dennis meringis. Dengan segera kulepas cubitanku.

"Sakit, tau!" hardiknya dan aku membalas dengan tersenyum jahil.

"Cubitan tadi aku artikan kamu setuju. Jangan berubah pikiran, dan jangan coba mikir-mikir lagi," cerocosnya yang tidak kujawab dengan apapun.

"Dan besok," katanya meneruskan, "kamu akan kuantar pulang lagi."

Lagi-lagi aku hanya bisa menarik napas. Pemaksa!

🌛🌛🌛🌛🌛🌛🌛

Pria yang tidak dapat kulihat wajahnya itu nampak kesakitan dengan beberapa luka memar diwajahnya. Dua orang pria lainnya memukulinya semakin menjadi-jadi.

Aku menatap sekeliling, mencari jam yang biasanya selalu ada dalam tiap scene, dan yak! Aku bisa melihat rolex ditangan pria tak berdaya itu menunjukkan pukul 8:15 malam.

Rolex? Aku mulai berkeringat, kuatir dan ketakutan. Pria itu tiba-tiba bangkit, menatap kearahku.

Dennis!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top