13 - Scenario

Jangan lupa votes nya for this 2 last part...
Enjoy!

🌛🌛🌛🌛🌛🌛🌛

Semua yang memiliki kemampuan aneh harus memiliki kemampuan itu dengan sempurna. Karena Dennis tidak dapat mendengar apa yang kupikirkan, maka aku menjadi cela baginya. Dan setelah kupikiri-pikir, karena aku tidak bisa melihat diriku sendiri dalam mimpi-mimpiku, dan ini kadang membuat mimpiku tidak akurat, maka aku juga menjadi cela bagi diriku sendiri? Dan ketika seseorang menjadi sesuatu yang tercela, maka hukumannya adalah disingkirkan. Peraturan macam apa ini?!

Aku merapatkan tubuhku dalam pelukkan Dennis. Jantungku berdegup kencang. Apakah disingkirkan artinya aku harus mati? Aku masih 27 tahun!

"Apa aku harus mati karena aku tercela?" Suaraku terdengar bergetar.

Dennis mengusap rambutku dengan sayang, "apa menurutmu aku akan membiarkannya?"

Pertanyaan yang menurutku tidak perlu di jawab. Pria ku ini, tidak mugkin akan membiarkanku mati. Kalau dia pikir aku harus mati, seharusnya sejak awal dia menyingkirkanku. Sejak dia menyadari kalau dia tidak bisa mendengar pikiranku di seven eleven itu, seharusnya dia membiarkanku di tusuk oleh orang jahat itu.

"Sudah, jangan kau pikirkan. Mulai sekarang, apapun yang terjadi kita akan hadapi bersama. Bukankah itu sebabnya aku diberi kemampuan hanya bisa memimpikanmu? Agar aku bisa melindungimu. Apa artinya semua manusia di dunia ini tercela hanya karena aku tidak mampu memimpikan mereka?"

Aku menarik wajahku, menatap Dennis yang ternyata sedang menatapku.

"Itu peraturan mereka," Katanya lagi, "tapi ini hidupku, dan aku memiliki aturanku sendiri."

Dia menarik daguku dengan satu tangan, membuat wajahku semakin mendekat dengan wajahnya. Wajah kami hampir tanpa jarak. Matanya menatapku tajam dari balik bulu-bulu matanya, senyumnya mengembang Menggoda. Merasakan napasnya dari jarak sedekat ini membuat jantungku berdetak semakin cepat, membuat napasku menjadi tidak beraturan.

"I love you..." Dia mendesis.

"I lov...hmpp"

Aku rasa dia tidak membutuhkan jawaban. Dia langsung menekan bibirnya ke bibirku, semakin dalam dan semakin dalam. Menarik tubuhku semakin rapat dengan tubuhnya, kami tak lagi berjarak.

"Rindu," Desisnya lagi.

🌛🌛🌛🌛🌛🌛🌛

Aku yakin kaka beradik Martin dan Grace tidak akan berhenti sampai aku selesai. Aku yakin karena aku memimpikannya malam ini.

Ketika aku terbangun malam ini, hal pertama yang aku lakukan adalah menelpon Dennis. Kami sudah berjanji untuk saling menghubungi ketika aku bermimpi buruk ataupun dia memimpikanku. Kami harus melihat apakah ada koneksi dari mimpi-mimpi kami sehingga kami bisa mendapatkan solusi dengan lebih akurat. Kami harus bekerja sama.

Malam itu aku mengobrol dengan Dennis mengenai hal mengerikan yang kulihat dalam mimpiku, dan dia pun ternyata juga bermimpi tentangku. Kami berdiskusi dan membuat rencana. Dan rencana ini harus berhasil.

🌛🌛🌛🌛🌛🌛🌛

Aku mondar-mandir di ruang kerjaku saking tegangnya. Maya menatapku kebingungan. Bola matanya mengikuti kemana kakiku melangkah.

"Kamu kenapa sih?" Tanyanya ketika aku tidak juga duduk setelah hampir sepanjang hari ini hanya mondar-mandir.

Aku berhenti sejenak, menatap Maya, lalu kembali mondar-mandir. Aku gelisah sekali. Aku tidak bisa mengontrol gelisahku. Aku berpikir keras bagaimana bila rencana kami tidak berhasil. Apa yang harus kami lakukan dengan dua bersaudara itu? Apa seumur hidup kami harus selalu berurusan dengan mereka?

"Jam berapa sekarang?" Tanyaku ke Maya.

Maya melirik jam tangannya, "jam 12:05. Kau mau makan siang apa?" Tanyanya.

"Maaf Maya, kamu makan sendiri dulu ya, aku ada urusan sebentar." Lalu aku langsung keluar dari ruanganku. Menuruni lift, keluar gedung dan berlari secepat mungkin ke gang kecil ke belakang kantor. Saat ini, seharuanya kejadian itu sedang berlangsung. Aku harus bisa melakoni lakonku dengan baik. Aku hanya boleh berpikir sebagaimana yang sudah kami skenariokan. Harus sesuai atau Grace akan memergoki rencana kami.

Aku terdiam di ujung gang. Aku melihat Dennis sedang tersudut dan Grace ada di hadapannya, menangis. Martin berdiri di belakang Grace memunggungi mereka. Dalam mimpiku, kejadian selanjutnya adalah Dennis akan terjatuh dan banjir darah, karena Martin akan memukul kepalanya dengan pecahan kaca nako besar, dari bangunan kumuh di depannya, setelah sebelumnya dia memecahkan semua kaca di tempat itu dengan pandangan matanya. Dan dalam mimpi Dennis, dia melihat Martin dan Grace berusaha menyerangku, hendak melenyapkanku, dalam mimpinya, Martin memegang pecahan kaca besar saat akan menyerangku.

Aku harus berhasil. Kami harus berhasil.

"Dennis!" Pekikku.

Mereka bertiga sontak menatapku. Grace menatapku dengan pandangan menenggelamkan tidak senang.

Dan skenario pun mulai kumainkan. Akupun mulai berpikir.

Apa kau baik-baik saja, sayang?

"Aku baik-baik saja Dream," Kata Dennis, seolah menjawab yang kupikirkan.

Grace menatap Dennis, nampak bingung.

Aku akan mendekat, aku akan menyelamatkanmu dari perempuan itu...

"Jangan, jangan mendekat! Kau bukan lawan mereka!" Dennis memandangku memperingati.

Aku menghentikan langkahku yang tadi mulai kuayunkan.

Apa yang bisa kulakukan?

"Tidak ada, kau tetaplah disitu!" Dennis menatap Grace yang kebingungan.

"Kau... Kau bisa mendengarnya?" Grace sepertinya tidak percaya dengan kejadian di hadapannya. Bahwa Dennis bisa mendengar pikiranku.

"Iya," Jawab Dennis. "Ini tanpa di sengaja, sekitar beberapa hari lalu, tiba-tiba aku mendengarnya. Dia bukan lagi cela bagiku."

Grace melangkah mundur tidak percaya.

"Kau bohong!" Hardiknya. Dennis menggeleng keras.

Martin berbalik. Dia terlihat marah, pandangannya menyapu lampu-lampu jalan yang tergantung rendah. Semua pecah dalam satu sapuan pandangan. Aku refleks menundukkan kepala. Ini menakutkan.

Dennis mencoba tenang.

Grace menghapus air mata yang tadi turun entah mengapa dengan telapak tangannya kasar.

"Diam Martin!" Dia membelalakkan matanya ke Martin, memperingatinya agar menghentikan aksinya. Martin mendengus kesal.

Grace melangkah lagi merapatkan tubuhnya ke Dennis. Menatap Dennisku dengan pandangan yang tidak bisa kudeskripsikan. Gelap.

"Kau berbohong," Dia menekan kalimatnya.

"Tidak," Dennis membalas tatapan Grace tanpa rasa takut.

Hati-hati sayang

"Iya!" Dennis menatapku, "aku akan selalu berhati-hati." Lalu kembali menatap Grace.

Grace berteriak keras. Frustasi.

"Kau bisa mendengar apa yang kupikirkan kan, Grace?" Tanya Dennis. "Dengar saja! Jadi kau bisa yakin bila aku berbohong atau tidak."

Grace menatap Dennis. Lalu dia menutup matanya nampak berkonsentrasi.

"Mengapa kau tidak berpikir?" Geramnya.

"Apa maksudmu?" Dennis tidak mengerti, "aku memikirkan banyak hal di kepalaku sejak tadi."

"Kau tidak memikirkan apapun! Jangan berbohong padaku!" Dia mendorong Dennis merapat ke tembok. Dia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat menahan emosi.

"Grace, apa maksudmu?" Suara Dennis terdengar bergetar, seakan ketakutan. "Apa maksudmu kau tidak bisa mendengarku?"

Grace kembali melangkah mundur. Kakinya terlihat tidak stabil, dia hampir terjatuh kalau saja Martin tidak sigap menangkap tubuhnya.

"Grace, kau bilang kau tidak dapat mendengarku? Apa kau yakin?" Dennis menatap Grace seakan hendak menegaskan sesuatu. "Apa artinya aku cela bagimu? Apa artinya kau akan melenyapkanku?" Dennis menjatuhkan dirinya, bersimpuh dengan kepala menunduk di hadapan Grace.

"Mengapa kau melakukan ini padaku, Dennis? Setelah semua yang kita lalui, mengapa kau melakukan ini padaku, Dennis?!" Suaranya bergetar, air matanya tumpah.

"Apa yang bisa kulakukan, Grace?" Suara Dennis terdengar lemah. "Aku pasrah bila aku harus kau lenyapkan, tapi dia!" Dennis menunjukku, "dia tidak lagi sebuah cela, kau harus melepasnya, lalukan apa yang harus kau lakukan padaku?" Dennis menatap Grace dengan dalam.

"Grace!" Martin menatap adiknya, "mengapa kau begini? Apa kau ingin aku melenyapkan mereka? Aku akan melakukannya!"

Grace menggeleng keras. Dia nampak frustasi, matanya memerah penuh air mata. Tubuhnya bergetar karena emosi yang mungkin tidak dapat di kendalikan olehnya.

"Kau tau aku tidak bisa melakukan ini padamu, Dennis." Grace terisak. "Bagaimana mungkin aku melenyapkan kau, orang yang ku cintai?"

Dennis menatap Grace dengan pandangan iba.

"Ayo kita pergi, Martin!" Grace menatap Martin.

"Tapi Grace.," Martin hendak protes, dia terlihat tidak puas.

"Ayo! Aku malas berlama-lama dengan mereka. Aku malas mendengar pikiran perempuan itu!" Grace menatapku dengan pandangan menyelidik penuh kekesalan.

"Dan aku sedang tidak bisa menghadapinya," Grace mengalihkan pandangannya ke Dennis, lebih teduh dan terlihat tersiksa.

"Grace," Desis Dennis.

Grace menatap Dennis lagi, sepertinya dia mencoba membaca apa yang Dennis pikirkan --tapi tidak berhasil-- , lalu dia berjalan menjauh, tanpa sekalipun menatap kami kembali. Martin mengikutinya dengan kesal.

Ketika aku melihat mereka mengilang di tikungan, aku langsung berlari menuju Dennis yang saat ini sudah berdiri menatapku dengan tangan mengembang siap memelukku dalam pelukkannya.

"Sudah selesai," Katanya sambil memelukku erat.

"Benarkah? Benar-benar selesaikah?" Aku merasa ragu.

"Setidaknya kita tidak akan bertemu lagi dengan mereka dalam waktu dekat." Dennis meyakinkanku, "setidaknya itu yang aku dengar dari pikiran Grace."


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top