10 - I'm the Blemish
Pada kenyataannya aku harus menunggu tidak berkesudahan hanya untuk sebuah penjelasan dari Dennis. Sejak kejadian di rumah sakit itu, dia tidak pernah sekalipun datang kembali. Bahkan mama juga menanyakan kepadaku mengapa Dennis tidak lagi datang menjengukku yang hanya bisa kujawab dengan diam. Ahhh Dennis, apa ada yang salah?
Akhirnya, setelah hampir dua minggu berada di rumah sakit, aku bisa pulang. Perban di kepalaku sudah dibuka dan mama papa sudaj menjemputku. Setelah mengucapkan terima kasih kepada dokter dan semua perawat yang merawatku, kami bergegas pergi.
Perjalanan dari rumah sakit ke rumah kami terasa sangat panjang. Mungkin karena hatiku yang sedang tidak bersemangat. Aku bisa melihat pelangi siang ini dari jendela mobil. Sepagian ini memang hujan terus menerus, dan ketidaknyamanan karena hujan tadi pagi dibayar dengan indah oleh sebuah pelangi.
Mama menengok kebelakang, kearahku dari kursi penumpang depan.
"Kamu baik-baik aja, Dream?" Tanyanya, dia agaknya sadar kalau hatiku sedang murung.
Aku mengangguk dan memaksakan sebuah senyum di bibirku. Aku melihat papa melihatku dari kaca tengah, dan dia tersenyum ketika melihatku tersenyum.
"Yakin?" Tanya mama lagi.
"Yakin, dong!" Kataku berusaha ceria.
"Baiklah," Mama mengiyakan dengan nada tidak yakin, tapi dia tidak bertanya lagi, dia merapikan duduknya dan kembali menatap jalan di depannya.
Aku menutup mataku, berusaha tidur. Aku ingin tidur tanpa mimpi seperti dua minggu terakhir ini.
Jangan bermimpi....jangan bermimpi...jangan bermimpi...
🌛🌛🌛🌛🌛🌛🌛
Aku menatap sekeliling kamarku, mama menutup pintu di belakangku. Aku menutup kedua mataku rapat-rapat. Dan pejamannya semakin erat, aku mau melepas segala pertanyaan yang ada dipikiranku, aku mau melepas curiga yang ada di hatiku. Apa yang salah sampai Dennis tidak datang lagi?
Aku menjatuhkan diri kelantai. Meraih backpack yang sedari tadi bertengger di pundak kananku, merogohnya mencari handphone yang kumatikan sejak semalam. Aku sengaja mematikannya karena kecewa tidak juga ada sms atau telpon atau WA atau Line yang masuk dari Dennis.
Aku mendekatkan handphone itu ke dadaku, lalu seperti merapal mantra berharap ada setidaknya sms yang mengatakan "maaf sayang aku belum sempat datang lagi, i'll see you soon, i miss you."
Bip bip
Aku nyaris melonjak kegirangan begitu handphone kunyalakan dan ada notifikasi sms.
Bip bip
Bip bip
Tidak hanya satu, tapi 3 sms!
Aku mengintip dari celah mataku yang masih tertutup. Lalu segera melempar handphone ke atas tempat tidur dengan kecewa. Aku hanya melihat nama Airin lalu Cinta lalu Airin lagi. Tidak ada Dennis.
Aku membaringkan tubuhku di lantai. Dinginnya lantai langsung menyergap seluruh tubuhku. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Apa rencanaku sekarang?
🌛🌛🌛🌛🌛🌛🌛
Sudah lebih dari dua minggu aku tidak menginjakkan kaki di gedung kantor ini. Melihatnya sekarang di depan mataku, rasanya agak sedikit aneh. Aku membayangkan kalau sosok Dennis ada di sana. Dan berpikir apa yang harus aku lakukan jika tiba-tiba kami berpapasan. Apa aku langsung menariknya saja dan bertanya "ada apa?" "apa yang terjadi?" atau aku lewat saja dan pura-pura tidak melihat, atau aku tersenyum saja dan menunggu reaksinya? Mungkin dia akan langsung berlari ke arahku dan mengatakan betapa dia sangat merindukanku dan akan memelukku erat-erat?
Sesantai mugkin aku melangkahkan kakiku memasuki gedung. Terus berjalan ke arah lift, aku memencet tombol naik, dan ketika pintu lift terbuka wajah itu berdiri di sana bersandar di dinding lift dan tanpa sengaja mata kami bertemu.
Jantungku serasa berhenti berdetak, Dennis di hadapanku juga nampak terkejut melihatku berdiri. Pintu lift nyaris tertutup, terburu-buru ku tekan tombolnya. Dennis menepi ke dinding lift sebelah kanan aku masuk dan berbalik dan berdiri tepat di belakang pintu. Aku membelakanginya.
Aku mengutuk diriku sendiri karena tidak ada satu skenario pun yang sudah kupikirkan yang berhasil kulakukan. Payah.... Umpatku dalam hati.
Dennis juga diam saja, dia tidak berusaha mengatakan apapun. Apa dia tidak penasaran sama sekali dengan keadaanku?
Pintu lift terbuka di lantai 5, Dennis melangkah keluar tanpa melirikku sedikitpun. Dan ketika pintu lift tertutup, aku memejamkan mataku kuat-kuat. Jangan menangis...jangan menangis...aku menguatkan diriku sendiri. Pintu lift terbuka di lantai 7 dan...
"Surpriseeeee!!" Maya dengan suara cemprengnya menyambutku dengan balon di tangannya. Aku celingak celinguk melihat adapakah ada orang lain bersamanya? Ternyata hanya ada dirinya sendiri.
"Apa yang kau lakukan?" Tanyaku sambil menerima balon pink bentuk hati yang dia berikan, lalu merangkulnya dan mengajaknya berjalan cepat ke ruangan kami.
"Aku senang kamu kembali....kolom mu itu merepotkan sekali..." Katanya sambil berusaha menyamakan langkah kami.
"Apa kamu sudah benar-benar baik?" Tanyanya sambil mendudukkan dirinya di atas bangku ketika kami sudah sampai di ruangan.
"Iya," Kataku sambil duduk dan menaruh balon tadi di atas mejaku. Lucu juga.
"Yakin?" Tanyanya lagi dan aku mengangguk.
"Mengapa kau tidak pernah menjengukku?" Aku bertanya sambil memasang wajah menyalahkan. Maya menundukkan kepalanya, merasa bersalah.
"Maaf, tapi kolom mu itu benar-benar merepotkan." Katanya.
Aku tersenyum jail, dan menggeser kursiku ke dekatnya. "Thank you! Aku baca tulisanmu, dan itu keren sekali! Kamu benar-benar partner yang oke, aku rasa tidak ada yang mengetahui kalau bukan aku yang menulis kolom itu dua minggu terakhir ini," Aku berkata tulus sambil mengacungkan dua jempol ke hadapannya. Maya sepertinya senang aku puji demikian, tapi aku memang sangat bersyukur karena dia mau melakukannya untukku.
"Jadi nanti mau makan siang dimana?" Tanya Maya. Aku mengedipkan mataku tanpa menjawab sambil menyalakan laptopku.
🌛🌛🌛🌛🌛🌛🌛
Pulang kantor malam ini dipersembahkan oleh yang namanya sendirian. Aku memutuskan untuk membeli kopi dulu sebelum pulang. Antrian di kasir malam ini lumayan panjang, tadinya aku sempat berpikir untuk membatalkan niatku membeli kopi, tapi kakiku tetap tidak bergerak dari antrean.
Ketika aku mendapatkan kopiku, aku tidak langsung pergi, aku memutuskan untuk duduk sebentar di sana. Kursi dekat jendela ini, menyelamatkan ku dari rasa bosan, aku bisa melihat kendaraan berlalu lalang, orang orang yang mondar mandir, cahaya lampu, bulan dan bintang yang lumayan banyak di langit hari ini. Sampai tiba-tiba aku menangkap sosok di luar sana, tepat di hadapanku di seberang jendela, sedang menatapku dengan tatapan "apa kau baik-baik saja?" Itu Dennis!
Dia langsung memutar tubuhnya dan pergi menjauh, berlawanan arah saat dia menyadari kalau aku melihatnya. Kakinya bergegas. Aku langsung berdiri, dan keluar dengan cepat, mengejarnya, berusaha menyamai langkahnya yang sangat cepat. Ketika dia membelokkan langkahnya di tikungan di depan kami aku merasa kehilangan harapan. Tapi ketika aku berbelok, dia ada disana, menantiku, menatap ke arahku.
Langkahku melambat, lalu berhenti kira-kira 5 langkah di hadapan Dennis. Aku bisa melihat wajahnya dengan jelas dari sini. Wajah kuatirnya yang tadi kulihat di balik jendela berubah menjadi sedingin es.
"Dennis" Aku berkata lirih.
"Kamu!" Dennis berseru dari tempatnya berdiri, "sebaiknya kita tidak perlu mengenal satu sama lain lagi."
Aku mematung mendengar apa yang Dennis katakan, apa maksudnya?
Aku membuka mulutku hendak mengatakan sesuatu, tapi Dennis cepat berkata, "ini demi kebaikkan mu."
Dennis berbalik dan langsung melangkah pergi. Aku masih mencerna, ketika bagian otakku yang lain memerintahkanku untuk mengejarnya. Dengan lutut bergetar karena tidak percaya dengan apa yang kudengar barusan, kakiku melangkah mengejarnya dengan susah payah.
Aku berhasil menarik ujung baju bagian belakangnya. Memaksanya untuk berhenti.
Aku berusaha menahan perasaanku. Berusaha mengendalikannya agar tidak meledak-meledak. Aku harus tenang, pasti ada penjelasan untuk semua ini.
"Kamu tidak serius kan, Dennis..." Suaraku bergetar, "mengapa kau melakukan ini padaku?" Aku langsung mengusap air mata yang mengkhianatiku dengan menetes tanpa ijin. Setidaknya Dennis tidak melihatnya.
"Karena..." Dennis menarik napasnya panjang lalu meneruskan ucapannya, "Karena kau adalah cela bagiku."
Aku menatap punggungnya yang berada tepat dihadapanku. Terasa semakin menjauh, menjauh dan menjauh....
Tercela? Apa yang salah denganku hingga aku menjadi cela baginya?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top