1 - My Name is Dreamer
-edited-
Ini terjadi sepuluh tahun lalu, saat
aku masih berumur tujuh belas.
Aku ingat sekali hari itu, ketika untuk pertama kalinya mama mengijinkanku menginap bersama teman-teman di puncak. Mama memang tidak pernah mengijinkanku -anak satu-satunya- untuk berjauhan darinya lebih dari lima belas jam.
Trauma, tepatnya.
Sebenarnya aku bukan anak tunggal, aku mempunyai seorang kakak laki-laki, Josh, dan dia sudah tidak ada ketika aku baru beranjak empat belas tahun. Saat itu Josh berusia delapan belas. Dia pergi meninggalkan kami karena terjatuh ke jurang saat mendaki sebuah gunung dengan teman-teman pecinta alamnya.
Josh meninggalkan kami dalam arti sebenarnya, bahkan hingga saat inipun tubuhnya tidak ditemukan.
Masih jelas sekali bagaimana orang-orang bercerita tentang mama yang histeris saat itu. Tubuhnya bergetar hebat tidak terkendali, matanya melotot memerah sambil mengucurkan air mata. Dan papa hanya bisa mematung menyandarkan tubuhnya pada tembok agar tidak limbung.
Aku?
Saat itu aku berada di kamarku, menutup seluruh tubuhku dengan bed cover, air mataku mengalir bercucuran. Aku menangis tanpa suara. Tapi, bahkan di balik bed cover, aku masih bisa mendengar tangisan mama yang menyayat hati.
Wajar sekali, walaupun ketika akhirnya mama mengijinkanku pergi dengan teman-temanku untuk menginap kala itu, aku bisa melihat wajah cemasnya, khawatirnya, bahkan tarikkan-tarikkan halus diujung mata dan bibir nya yang berusaha tegar untuk tidak menangis.
"Dream akan baik-baik aja, ma." Aku menggenggam tangan mama berusaha meyakinkannya, "Janji," kataku lagi.
Mama berusaha tersenyum dengan tulus, "Hati-hati," katanya, "Kabarin begitu tiba disana, ok?"
"Oke, tante!" Airin, sahabatku yang berdiri dibelakangku yang menyahut tidak sabar.
Sepertinya dia berpikir kalau acara perpisahan untuk lokasi yang jaraknya tidak lebih dari 3-4 jam dari tempat tinggal kami ini, terlalu panjang dan penuh drama.
Mama menyunggingkan senyumnya kearah Airin, lalu mengangguk. Menepuk-nepuk tanganku sebentar dan melepasku pergi.
Aku pergi dengan meninggalkan satu kecupan dikeningnya. Acara satu malam ini sepertinya akan terasa panjang untuk kami.
🌜🌜🌜🌜🌜🌜🌜
"Woi! Lama amat sih?!" Andre terlihat tidak sabar, melongokkan kepalanya dari balik jendela kemudi.
"Biasa deh,ada sinetron dikit. Tuan putri akhirnya dilepas dari istananya," Airin menjelaskan asal sambil menuju kearah Avanza hitam milik Andre yang terparkir di depan rumah.
Aku berusaha mengacuhkan dan langsung masuk ke bangku tengah. Airin mengikutiku. Didalam mobil nampak Andre dan Roy duduk dibangku depan, dan Cinta sudah duduk anteng di bangku paling belakang, duduk selonjor dengan novel ditangannya. Si kutu buku.
🌛🌛🌛🌛🌛🌛🌛
Malam ini kami akan tinggal di vila papanya Andre. Orang tua Andre memang seorang pengusaha property yang sukses.
Vila nya sendiri terlihat indah, asri dan nyaman. Aku dan Cinta memutuskan untuk mengitari villa itu.
"Dream! Cinta! Hati-hati ya di taman sebelah kiri, pagarnya ada yang ambruk beberapa hari lalu dan belum diperbaiki. Takut kepeleset. Jurangnya lumayan dalem soalnya," Andre memperingatkan ketika mengetahui aku dan Cinta akan berkeliling. Kami mengangguk mengiyakan.
Vila ini lumayan besar, ada kolam renangnya dan ada banyak pendopo yang bisa dijadikan tempat bersantai.
Bahkan di taman sebelah kiri yang Andre infokan tadi, aku bisa melihat banyak pohon mawar dan beberapa tanaman rambat yang indah. Sekilas aku melihat tembok yang runtuh, lalu mengintip ke baliknya, ada jurang kecil yang lumayan dalam juga. Mungkin mati sih ngga kalau jatuh kesana, tapi luka-luka sudah pasti.
Mataku tetiba menangkap sesuatu yang bersinar dari balik mawar di taman itu. Kecil, bersinar dan melayang. Kunang-kunang? Bahkan senjapun belum.
"Cin, liat deh itu!" Aku menunjuk kearah cahaya yang kuanggap kunang-kunang itu.
"Liat apa?" tanya Cinta, pandangannya mengikuti tanganku yang menunjuk.
"Itu loh," Aku melangkah kearah si kunang-kunang. "Aneh ya, masa jam segini udah ada kunang-kunang."
Aku terus mendekati kunang-kunang perlahan-lahan.
"Mana sih?" Cinta menyipitkan matanya, sepertinya dia belum melihat juga apa yang kulihat.
"Ini nih," Aku memperlambat langkahku, karena semakin dekat dengan tembok pagar yang runtuh.
Aku merentangkan tanganku kedepan, berusaha meraih kunang-kunang itu, ketika Airin berteriak dengan lantang.
"Oi! Napain?!" Suaranya seakan menjerit, mengagetkatku. Tubuhku limbung kedepan. Dan dalam sepersekian detik aku merasakan tubuhku amblas di antara reruntuhan tembok, berguling jatuh seakan tanpa dasar.
Aku dapat mendengar pekikkan panik Cinta dan Airin. Hanya itu, hanya itu. Selebihnya aku hanya merasakan pusing dan sakit yang sangat dibagian belakang kepalaku. Apa aku akan mati dengan cara yang hampir sama dengan Josh?
Lalu beberapa saat sebelum aku menutup mataku, kunang-kunang itu terbang berputar-putar di depan mata, semakin dekat dan semakin dekat sampai aku tidak bisa ingat lagi.
🌛🌛🌛🌛🌛🌛🌛
Aku rasa aku baru setengah sadar ketika aku melihat sekelilingku tampak samar. Aku mendengar mama menangis dan papa berusaha menenangkan. Tidak lama seseorang menjerit, dan aku melihat seorang anak lelaki seumurku tersungkur di lantai, dan seorang gadis kecil berpakaian pink terbujur kaku penuh darah di atas tempat tidur. Lelaki dan perempuan setengah baya nampak menjerit dan memeluk gadis itu panik.
Aku berusaha memperjelas pandanganku.
Percuma!
Tapi aku bisa melihat jam berwarna hitam di dinding menunjukkan pukul satu malam. Lalu aku kembali tertidur.
Aku kaget setengah mati dan ketika mataku membuka, mataku langsung menangkap jam dinding hitam yang sama, jam tiga pagi. Dan entah bagaimana, kemudian aku sudah berada di lobby rumah sakit, dan aku melihat mobil Andre di depan lobby, ketika tiba-tiba sebuah sedan hitam menabrak mobil itu secara mendadak, ringsek bemper belakangnya. Aku sempat berpikir, betapa paniknya Andre nanti ketika ayahnya menanyakan mengenai bemper belakang yang rusak. Kasihan.
Aku rasa setelah itu aku tertidur lagi. Karena tiba-tiba mataku terbuka karena cahaya dari lampu senter yang di arahkan seorang dokter ke mataku.
Refleks aku berkedip karena silaunya, lalu perlahan mataku membuka. Aku melihat dan mendengar mama menangis dengan sedihnya, dan papa berada di sampingnya berusaha menenangkan. Aku berusaha mengingat-ngingat, karena adegan ini sepertinya sudah terjadi tadi. Apa mama masih menangis sejak aku setengah sadar sebelumnya?
"Ma," desisku.
Aku melihat mama menegang, lalu serta merta meraih tanganku. Air mata masih membanjir, "Dreamer," lirihnya, ada sedikit rasa lega.
"Bagaimana perasaanmu, Dream?" tanya papa yang terlihat tegar, walaupun rasa kuatir yang terpancar di matanya tidak bisa ditutupi.
"Aku rasa, aku masih hidup, pa," suaraku sedikit terbata, berusaha melucu tapi sepertinya tidak lucu. Karena mama malah menangis lagi.
"Saya rasa, kami harus melakukan CT scan kekepala anda, nona.." Dokter pria tampan itu tersenyum, lalu pamit meninggalkan kami.
Mama memelukku berkali-kali seakan tidak percaya kalau aku masih hidup. Aku yakin kalau mama sudah berpikiran yang tidak-tidak tadi. Aku yakin separuh nyawanya sudah sempat melayang tadi.
"Ini sudah lewat tengah malam, dan kamu sudah pingsan sejak sore tadi. Mama sangat kuatir, nak. Jangan bikin mama kuatir lagi, oke?" pintanya memohon. Aku mengangguk lemah.
Andre dan Airin muncul dari balik pintu, ketika mama dan papa meninggalkanku untuk mengurus administrasi dan beristirahat diruang tunggu. Aku baru menyadari kalau aku masih di ICU.
Aku melirik tempat tidur disebelahku, seorang anak perempuan berpakaian pink yang tubuhnya penuh dengan darah. Dokter dan beberapa perawat sepertinya sedang melakukan tindakkan. Seorang lelaki muda seusiaku, dan pasangan setengah baya nampak saling berpegangan dengan cemas di ujung tempat tidur. Lalu gorden pemisah ditarik dan aku tidak bisa melihat apa yang terjadi lagi.
"Kenapa?" tanyaku berbisik sambil melirik ke tempat tidur di sebelahku.
"Tabrak lari," Andre menjawab berbisik nyaris tidak terdengar. Aku mengangguk-angguk mengerti dan memutuskan tidak bertanya lagi.
Aku melihat jam yang berada tepat didinding depan tempat tidurku. Beberapa detik sebelum menuju jam satu.
"Tidakkkk! Tidakkk! Tidakkkk!" Tiba-tiba teriakkan dari tempat tidur sebelah terdengar histeris.
Aku, Airin dan Andre membelakkan mata kami. Gorden terbuka, dokter dan perawat nampak menjauh. Aku melihat lelaki muda itu bersimpuh dan menangis. Dan pasangan itu bergantian memeluk gadis kecil berbaju pink yang berlumuran darah itu.
Gadis itu mati?
Aku melirik jam di dinding. Tepat menunjukkan jam satu pagi.
Aku merasa jantungku berhenti, aku seakan menolak bernapas. Jadi kejadian sebelumnya, belum terjadi? Apa sebelumnya aku hanya bermimpi? Apa aku belum sadar sepenuhnya tadi? Apa yang terjadi? Kejadian ini sama seperti kejadian saat aku setengah sadar tadi.
Aku meremas sprei tempat tidur. Ada apa ini? Apa yang terjadi denganku?
Aku menolak tidur, walaupun semua orang memintaku istirahat, aku tidak bisa. Mama dan papa sudah memindahkanku ke kamar VIP. Namun banyangan kejadian-kejadian tadi masih nampak jelas.
"Kita balik dulu ya, Dream," pamit Airin.
"Gue anterin, gue juga mau balik dulu ya, Dream," pamit Andre juga.
Aku mengangguk. Keduanya pamit ke papa dan mama yang sedang beristirahat diatas sofa.
Jam menunjukkan pukul dua lima puluh pagi hari saat itu.
"Ndre!" panggilku membuat Andre menghentikan langkahnya di ambang pintu.
"Kenapa?" tanyanya.
"Dilobby nanti hati-hati ya, gue kuatir mobil lo bakal kena tabrak," kataku ragu, sambil berusaha membingkai kejadian di mimpiku sebelumnya.
Andre mengernyitkan keningnya, "Di lobby? Tabrak? Seharusnya ga ada yang ngebut sih di rumah sakit,lo kayak peramal aja." Andre tersenyum tidak percaya. Lalu menghilang di balik pintu.
"Apa yang kamu katakan, Dream?" tanya papa, ternyata dia mendengarkan. Aku diam saja.
Jam tiga pagi, aku melirik handphone yang ada di genggamanku, tidak berdering. Ahhh mungkin aku salah, mungkin kejadian tadi hanya kebetulan. Tidak ada telpon, artinya mobil Andre baik-baik saja.
Baru saja aku memikirkan kalau semua adalah sebuah kebetulan, tiba-tiba handphone ku berdering. Aku melihat nama yang tertera, Andre.
Aku merasa jantungku berhenti, jam tiga lewat dua menit.
Dengan rasa takut aku mengangkat telpon itu.
"Halo, Ndre," sapaku pelan.
"Dream!" Suara Andre berteriak tertahan di seberang telpon, "Apa lo paranormal? Mobil gue ditabrak sedan hitam dan bempernya rusak parah, bagaimana lo bisa tau?!" Dia terdengar panik.
Aku merasa duniaku berhenti. Apa yang terjadi? Apa yang harus aku lakukan?
Dan sejak saat itulah, tidur adalah sesuatu yang buruk bagiku.
My name is Dreamer, and I am a dreamer.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top