05》[Bukan] Rambut Palsu.
Ketukan pintu dibiarkan begitu saja. Bi Nur masuk dengan membawa segelas susu dan meletakkannya di meja. Wanita tambun berumur sekitar empat puluh tahun menepuk pundak Fae yang naik-turun.
"Saya bantu pasang rambut palsunya, Non?"
"Bukan rambut palsu, Bi!" bentak Fae yang kesal setengah mati.
Berulang kali dia menjelaskan rambut kecokelatan yang dipakainya bukan rambut palsu, melainkan rambut ekstensi. Tetap saja Bi Nur menyebutnya rambut palsu. Dalam keadaan normal Fae tak keberatan Bi Nur menyebutnya apa. Emosinya benar-benar labil sekarang.
"Fae apa kamu sudah siap?" tanya Ginanjar seraya berteriak.
Susah payah Fae menekan luapan amarah yang masih menguasainya. Tanpa mengindahkan apa pun, gadis dengan rambut dikucir kuda itu menyeret satu koper besar berisi pakaian. Ransel berisi buku-buku dan menyambar boneka kuning kesayangan. Dia mengabaikan Bi Nur yang menawarkan segelas susu cokelat. Fae meninggalkan kamar yang ditempati selama belasan tahun. Tak pernah sedikit pun membayangkan akan meninggalkan kediamannya. Lantai marmer memantulkan kembali kenangan demi kenangan yang dilalui di rumah ini.
Kekecewaan Ginanjar menjungkir balikkan kehidupannya dalam hitungan detik. Meski berharap yang terjadi hanya bagian kecil dari mimpi, terpisah dari rumah dan kenangannya tetap fakta yang menyakitkan.
Dengan gontai Fae menuruni tangga melingkar. Di ujung tangga, Ginanjar telah siap dengan setelan jas hitam mengilap yang sangat rapi, kacamata bertengger di hidung mancungnya. Di samping kanan, cowok asing yang tiba-tiba masuk dalam hidup Fae sibuk memainkan ponselnya.
Dengan lembut Ginanjar berkata, "Ayo, Fae kita hampir terlambat."
Sikap Ginanjar sangat bersahabat dan melindungi. Tangan kiri yang merangkul pundak Fae begitu posesif seakan tak ada yang bisa mengambil putri kesayangannya. Sepanjang perjalanan menuju stasiun, Ginanjar berceloteh tentang Paman Karsa. Sebaik apa pun sahabat lamanya menurut Ginanjar, tak mengikis kecemasan Fae sedikit pun. Dia meremas boneka Pikachu dan memeluk erat.
Ginanjar menyuruh Fae turun lebih dulu. Fae memandang sekeliling ketika mobil berhenti di Stasiun Gambir. Dia memasukkan Pikachu ke ransel sebelum masuk peron. Fae melihat gelagat Ginanjar mulai resah berulang kali sang ayah melirik arloji. Tak lama kemudian dia pun menelepon.
Terlihat Ginanjar memeluk cowok asing yang tinggi berkulit terang setelah menutup telepon. Heran sekali mereka berbincang cukup lama, mau tak mau Fae mengamati wajah tirus membingkai hidung mancung dengan dagu meruncing, membuat Fae mencari satu kata yang menggambarkannya yaitu cantik. Hanya saja alis tegas dan bibir dengan belahan tengah di bibir bawahnya menunjukan kalau dia laki-laki. Rambut Nirvand sedikit berantakan saat tertiup angin sehingga menutupi sebagian dahinya. Namun, saat dia berbicara gingsul sebelah kiri menarik perhatian Fae. Hingga tanpa disadari Fae menatap Nirvand dengan intens.
Ginanjar menepuk bahunya dengan lembut dan ramah seolah bertemu dengan kawan lama yang tak pernah berjumpa selama bertahun-tahun sebelum berpisah. Entah mengapa perbuatan kecil itu membuat Fae sedikit tidak nyaman.
Ginanjar menyelipkan kerlingan mata menggoda putrinya. Lalu ciuman mendarat di kening menyalurkan sensasi hangat yang membuat Fae ingin menangis saat itu juga.
"Aku percaya padamu, Nirvand."
"Baik, Om."
"Jaga Fae, ya."
Nirvand mengangguk sopan. Fae masih melihat punggung bidang Ginanjar yang menjauh tanpa menoleh ke arahnya lagi. Derik koper kian lirih membuat Fae menoleh. Dia ditinggal!
Kalau Fae boleh mengutuk satu makhluk paling enggak peka di dunia, dia akan menulis nama Nirvand di urutan pertama
Sial! Fae mengumpat dalam hati.
Gantungan Pikachu sekepalan tangan membuatnya mudah mengenali ransel yang dibawa Nirvand. Dia pun mengejar cowok itu. Rambutnya bergoyang seiring pergerakan. Napas pun memburu saat menyamai langkah jenjang Nirvand.
"Kenapa ditinggal?" tanya Fae kesal.
"Menyebalkan."
Jantung Fae seakan berhenti berdetak saat cowok itu berhenti mendadak dan menatapnya tajam. Fae hanya mendengkus. Bisingnya peron seakan tak terdengar. Keduanya seolah terhipnotis dan masuk labirin tak berujung.
Kesadaran mereka kembali saat seorang tanpa sengaja mendorong Fae yang berdiri di dekat pintu kereta. Dengan sigap Nirvand menarik lengan Fae hingga dia mendarat tepat di dadanya. Kejadian yang terlalu cepat itu membuat Fae kembali panik. Dia tak suka keramaian yang terlalu.
Ada gigil kecil yang tak terdeteksi Nirvand, tetapi perubahan wajah yang membiru membuat cowok itu tanggap. Dia menyela di antara kerumunan dan mendudukkan Fae di bangku.
"Minum ini."
Gadis itu menggeleng dengan tatapan hampa saat Nirvand menyodorkan sebotol air mineral.
"Permisi, Pak. Apa saya bisa duduk di tempat Anda? Pacar saya sakit." Dalam keadaan normal, Fae pasti akan menimpuk kepalanya dengan benda apa pun yang ada di tangan walau itu sebilah pisau.
"Duduk aja. Biar saya berdiri," sahut lelaki berkumis tipis setelah melihat wajah pucat Fae.
"Terima kasih, Pak."
Gigil itu semakin menjadi-jadi. Nirvand mengamati perubahan wajahnya yang memucat, ada kerinduan tak terjelaskan saat melihat raut Fae. Nirvand menepis semua pikiran yang hinggap di kepalanya. Dia melepas jaket baseball miliknya untuk menghalau getaran tubuh Fae yang kian dahsyat.
Fae menjauhkan jaket. Masih segar diingatannya, beberapa menit yang lalu Fae baru saja ditinggal. Dia tidak punya siapa-siapa yang tulus memedulikannya.
"Jangan membantah, kamu tanggung jawabku sekarang. Aku enggak punya jawaban untuk bapak, kalau kamu kenapa-kenapa."
Kali ini tak ada penolakan, Fae memejamkan mata. Ingin sekali dia membaca salah satu buku baru yang dibawanya. Namun, keadaan di kereta sangat tak memungkinkan. Napas yang memburu perlahan teratur. Dia benar-benar tertidur.
Kepalanya terjatuh ke bahu wanita memakai jaket berbulu. Lirikan tajam ke arah Fae sangat tak sedap dipandang. Nirvand merasakan pancaran tak mengenakkan itu. Dia memindahkan kepala Fae ke pundaknya. Tidur yang terganggu membuat Fae mengerang kecil dan membuka mata sejenak. Aroma hutan yang menenangkan dari tubuh Nirvand membuatnya semakin terlelap. Apalagi kecepatan kereta yang konstan.
Enam jam perjalanan tak terasa. Dia seperti bergoyang dalam ayunan bayi yang nyaman. Bahkan sampai orang-orang keluar, Fae belum juga terbangun. Sementara pundak Nirvand mulai merasa pegal betul menjadi bantalan berjam-jam.
"Bangun kita udah sampai." Nirvand mengusap puncak kepala yang dikucir kuda.
Perbedaan kelembutan rambut yang kontras, mau tak mau Nirvand menyusuri rambut panjang Fae dengan telapak tangan dan mengamatinya. Hanya gelengan pelan saat mengetahui rambut itu adalah rambut ekstensi. Nirvand mendesah pelan. Entah apa yang dipikirkan.
"Fae, kita udah sampai." Menaikkan nada satu oktaf ternyata tak mengusik kenyamanan tidur Fae. Nirvand menggoyang bahu Fae, diulangi lagi dengan ritme lebih kencang saat gadis itu mulai menguap. Gerbong mulai kosong dan gadis manja ini belum bangun, keterlaluan!
"Gadis manja, bangun!"
Fae meregangkan otot-ototnya yang kaku di saat matanya belum terbuka sempurna. Dia membelalak kala wajah Nirvand hanya berjarak satu jengkal darinya. Mata hitam itu menghunuskan aura permusuhan yang kental. Fae bergidik ngeri.
"Beraninya mengambil kesempatan di tengah kesempitan," ucap Fae sambil berlalu setelah menoyor wajah jirus itu. Tak peduli cowok itu mengeluh atau mengumpat. "Dasar, Tukang modus!"
Sesaat Fae terpesona, langit telah berubah kuning keemasan membentang bak permadani. Beberapa burung gereja hinggap di atap-atap dan gerbong kereta yang bergeming. Udara segar langsung memenuhi paru-paru Fae. Dia tak pernah merasakan bernapas bisa sebebas ini. Sangat sejuk, meski di sore hari.
Di belakang Fae, Nirvand menyeret koper besar dengan wajah merah padam. Dia merutuki gadis manja yang songong dan tidak tahu terima kasih.
Hanya muak yang Fae rasakan saat mendengar suara serak Nirvand mengajaknya melanjutkan perjalanan.
"Enggak usah sok ngatur!"
"Halo, Nona. Anda tamu di sini. Jadi, demi kemaslahatan bersama, tolong jangan ngeyel." Nirvand merasakan hawa panas naik dengan cepat ke ubun-ubun.
Fae terpingkal mendengar logat Nirvand yang terdengar aneh. Ada desakan di bawah sana yang memaksa dikeluarkan apalagi dengan tawanya yang tak bisa dikontrol.
Jauh beberapa meter dari toilet wanita, Nirvand masih menelaah apa yang salah dari ucapannya. Dilihat dari sisi mana pun tak ada kelucuan yang ditangkapnya. Mengapa gadis itu terpingkal sampai air mata menggenang di sudut mata?
"Ke toilet cewek ngekor juga? Dasar penguntit, tukang modus," cemooh Fae sambil mengubek ransel jingga mencari sesuatu.
Nirvand meletakkan selembar uang dua ribu ke meja pembayaran. "Di desa pun toilet enggak gratis."
Fae tak menyahut. Dia hampir menumpahkan seluruh isi ransel ke bangku plastik berwarna hijau. Namun, dia tidak menemukan dompet dan tiga buku Prince Pamungkas yang dibawa. Fae yakin selemah-lemah otak yang dimiliki, tak mungkin akan melupakan tiga buku kesayangannya itu. Dia mengelap keringat yang membasahi rambut kasar yang mencuat dari ikatan.
"Om Ginanjar mengambil dompet dan bukumu sebelum kita pergi." Fae hampir tak percaya dengan indra pendengarannya. Namun, dia tak menemukan dompet dan buku itu mana-mana.
"Yang di koper juga?"
"Semua. Sebentar lagi malam, buruan. Kamu bisa melanjutkan semua itu di mobil."
"Mobil?" tanya Fae nyaris tak percaya. Setelah melewati perjalanan panjang yang melelahkan semua itu belum berakhir. Ayahnya tidak hanya mengasingkan dirinya ke negeri antah-berantah, tetapi tidak membekali uang sepeser pun.
Bagaimana dia akan membeli buku? Ginanjar bilang, Fae harus bersekolah juga, tanpa uang jajan?
"Tidak, Ayaaah!" Teriakan Fae tak hanya mengundang perhatian sekitar.
Orang-orang mulai menyemut dan bertanya satu sama lain. Tak mendapat jawaban, semua saling menerka dan mengiyakan saat mereka berbagi argumen.
"Apa yang kamu lakukan? Dasar gila!" Nirvand menjambak rambutnya sendiri dengan frustrasi. "Mereka pikir, aku menyakitimu," lanjutnya.
Fae menangis tiada jeda, tidak peduli tangisan itu memancing setiap pandangan mata mengarah kepadanya.
"Dasar manja, berhenti bersikap seperti anak kecil. Ayo, masuk." Nirvand tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Dia menarik tangan Fae dan memaksanya masuk ke mobil.
Perjalanan malam hari akan berbahaya di desa yang memiliki penerangan minim. Terlebih lagi dalam keadaan yang sangat lelah.
Fae mendekap boneka Pikachu berukuran sedang dengan air mata yang masih bercucuran. Dia tidak sadar beberapa kali Nirvand melirik ke arahnya. Boneka yang warna kuningnya sudah memudar menarik perhatian Nirvand. Nirvand melihat banyak boneka Pikachu dalam berbagai ukuran di kamar Fae. Mengapa boneka buluk itu yang dibawa?
Cahaya keemasan membentang sejauh mata memandang bias jingga jatuh mengguyur hijaunya tanaman padi yang baru tumbuh. Angin sendalu menggerak-gerakan tanaman itu seperti tarian. Terlihat lembut dan memberi impresi yang menenangkan. Perlahan perhatian Fae terebut pemandangan alam yang menakjubkan di depan matanya.
"Aku punya beberapa buku, kamu bisa membacanya."
"Serius? Lo suka baca juga?"
"Enggak terlalu. Seseorang membuatku menyukainya," jawabnya tanpa mengalihkan pandangan dari jalan berbatu.
***
📚📚📚
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top