04》[Bukan] Konspirasi.

Bapak benar, putrinya Om Ginanjar memang cantik, tapi sayang, galak. Otomatis bibir Nirvand terangkat menanggapi hatinya yang berargumen. Tiba-tiba sensasi dingin menyentuh ujung bibir. Nirvand membelalak, gadis itu mungkin menyadari dirinya menyeringai. Fae pun sengaja menekan balok es dengan kencang saat mengobati luka-lukanya.

"Bagus, akhirnya selesai juga. Mari kita makan selagi masih hangat." Lelaki flamboyan itu telah mengganti pakaiannya dengan lebih santai. Pantalon hitam dipadukan oblong putih. Rambut cepaknya selalu rapi seperti biasa.

Mereka telah duduk mengelilingi meja panjang penuh makanan. Makanan yang disajikan beraneka rupa dari olahan ayam, ikan, dan sayur. Menu yang dihidangkan terlalu banyak menurut Nirvand.

"Sepertinya, ayah harus bicara sekarang," ucap Ginanjar saat melihat Nirvand menyelesaikan makan.

Sementara Fae tak memasukkan makanan sedikit pun ke mulutnya. Padahal beberapa waktu yang lalu, rasa lapar mempermalukan dirinya di depan orang asing--Nirvand.

Lapar itu menguap begitu bangku di depannya diduduki si tukang modus. Insting Fae menyala-nyala. Benar saja, saat acara makan selesai, Ginanjar akan membicarakan--lebih tepatnya memberitahukan bahkan mungkin memerintah--hal penting.

"Fae tahu kesalahan besar apa yang kamu lakukan?"

Fae menghentikan aksinya memainkan makanan di piring. Tangan kiri yang bertengger di kerah berpindah ke mulut. Gigi-giginya mulai menggerogoti ujung kuku yang mulus. Tidak, Fae tidak bisa mengelak!

Apa harus membahasnya sekarang, Ayah? Fae membatin. Dia melihat ke arah Nirvand yang membersihkan bibir dengan tisu, anggun sekali. Hai, bukan saatnya mengagumi orang lain! Nasib lo lagi di ujung tanduk, Fae.

Fae menatap Ginanjar penuh permohonan agar tidak membuka sisi gelapnya sekarang, apalagi di depan orang asing! Entah Ginanjar tidak menangkap kode itu atau sengaja mengundang si tukang modus menjadi ....

Jangan-jangan dia mata-mata suruhan Ayah!

"Fae lihat, ayah." Ucapan seperti sihir itu tidak bisa Fae bantah. Lebih-lebih, Fae merasa sangat bersalah untuk beberapa hal. "Jelaskan ini," pintanya.

"I-itu ...."

Hitam di atas putih tak bisa Fae pungkiri. Namun, kapan Fae mengambil kartu kredit Fiona? Dia pun tidak ingat.

Tagihan itu untuk melunasi lelang Harry Potter?! Astagaaa.

Fae terlalu terkejut untuk berkata-kata. Dia mengecek ponsel yang berada di meja kecil tak jauh dari meja makan. Benda itu dicabut paksa dari charger.

Komunitas Lelang Buku Langka. Puluhan nomor menge-tag memberi selamat atas kepemilikan buku itu secara resmi. Seolah jantung Fae nyaris melompat. Pagi tadi bahkan dia bertengkar dengan Daisy saking pusingnya memikirkan liontin dan kekurangan pembayaran itu.

Bagaimana ceritanya buku itu sudah resmi menjadi milik Fae? Ginanjar membayarkannya? Probabilitasnya dibawah dua puluh persen!

"Ayah enggak mempermasalahkan uang yang sudah kamu gunakan tanpa seizin ayah, tapi ... Fae harus belajar sesuatu dari ini karena ayah enggak suka caramu yang seperti ini."

Lelaki itu menunduk, gerakan menelan ludah terlihat dari jakun yang bergerak. Di saat bersamaan, kembali mendongak melanjutkan perkataannya dengan berat. Terlukis dari wajahnya yang penuh kesedihan.

"Ayah akan melelang semua buku-bukumu sebagai gantinya. Fae tahu, kan, semua itu bahkan belum cukup. Lagipula, ada yang lebih penting di atas segala hal dan itu kebahagiaanmu. Fae harus lebih dewasa dan bertanggung jawab. Untuk itu, ayah meminta Nirvand untuk mengajakmu ke Sedaren besok pagi." Ginanjar menarik napas panjang dan berkata, "Fae harus tinggal bersama Paman Karsa sampai ayah menjemputmu lagi. Jadilah anak yang manis."

"Tapi, Ayah--"

Elusan lembut di puncak kepala seperti perpisahan terakhir. Tidak ada yang menyenangkan. Di ruangan serba putih berlapis cat waterproof, Fae seorang diri. Dia seperti tersesat di ruang hampa, kosong, dan tidak ada apa pun.

Pergi dari sini?

Pandangan Fae beredar mengelilingi ruangan. Dia mendongak melihat ke lengkungan besar menyerupai kubah yang merupakan langit-langit tertinggi di rumahnya. Pandangan itu turun ke lantai empat. Selasar yang lapang tampak kosong, tetapi dia melihat dirinya berlarian bersama Fiona dan Maya. Bayangan seperti hologram berlari menuruni anak tangga melewati lantai tiga. Mereka kembali bercengkerama, sekarang tidak hanya bertiga. Sesosok lelaki membaur bersama mereka. Hanya tawa yang mengudara di sana.

"Non," panggil Bi Nur membuat semua tawa itu menghilang, hologram itu memudar.

Fae beranjak dari ruangan itu dan berlari ke kamarnya.

"Pergi dari rumah ini? Pergi dari kamarku?" Fae terus berlari, menangis sejadi-jadinya. "Fae enggak mau pergi!"

Sesampainya di kamar napasnya terengah-engah. Disekanya wajah itu dengan punggung tangan. Gadis itu mulai mondar-mandir tak tenang. Dia harus melakukan sesuatu. Semua tidak mungkin terjadi begitu saja. Pasti ada dalang dibalik peristiwa ini. Siapa yang mengambil kartu kredit Fiona? Fae bahkan tak ingat dia telah mengambil kartu itu. Dia pun tak akan melupakan segala hal mengenai Buku Harry Potter yang sudah menyita jam tidurnya berhari-hari, apalagi jika sudah melunasinya?
Ini pasti sebuah konspirasi!

Dengan kesal, Fae menemui Nirvand yang ada di kamar sebelah, di kamar Fiona. Tidak peduli wajahnya merah terbakar amarah. Fae tak bisa menutupi keterkejutannya. cowok itu tengah merebah santai di atas ranjang. Dua lubang telinganya tersumbat headset. Matanya terpejam, dada yang naik-turun teratur tidak menunjukkan bahwa dia sedang tidur karena jempol kaki yang terbalut kaus kaki bergerak-gerak. Mungkin, mengikuti ritme musik. Enak bener!

Dari samping samping ranjang, Fae mencengkeram dan menarik kerah kaus hitam dengan sekuat tenaga. Namun, aksi itu tidak berdampak banyak, meski akhirnya cowok di depannya mengucek mata dan menatap heran. Kedua headset penyumbat telinga pun dilepas.
"Katakan apa tujuan lo dateng ke sini?"

"Pertanyaan macam apa itu, bukannya barusan Om Ginanjar udah ngomong sama kamu?"

"Gue tahu! Kenapa lo mau dateng?"

"Enggak ada hal yang lebih mulia daripada menurut orang tua," jawabnya sambil tersenyum.

Jawaban yang membuat Fae cukup terkejut. Fae mengamati sekali lagi cowok di depannya setelah dirinya mundur beberapa langkah melepas cengkeraman itu.

Wajah yang teduh dilengkapi dua bola mata yang tak kalah menenangkan saat dipandang. Ketika menatapnya, dia nyaris terhanyut di lautan yang gelap. Di mata yang menenangkan itu seperti ada rahasia di dalam sana. Fae tidak mempercayai mata itu, juga mulutnya. Setelah apa yang dia lakukan, perkataannya tidak bisa dipercaya dengan mudah.

Fae mundur beberapa langkah sampai menabrak dinding. Tubuhnya luruh ke lantai, dia menekuk kaki. Perlahan tangis pecah. Rasanya masih seperti mimpi, Ginanjar benar-benar mengirimkannya ke rumah Paman Karsa. Fae bahkan tidak memiliki ingatan apa pun tentang sahabat ayahnya itu. Bagaimana bisa dia harus tinggal jauh dari sang ayah dan di tempat asing? Membayangkannya saja tidak pernah.
"Semua akan baik-baik saja," bisik suara rendah itu. Narvind telah jongkok di sampingnya.

Tangannya terulur memegang pundak Fae.

"Lo enggak tahu apa-apa!" Fae pergi dengan mengentakkan kaki.

Di kamarnya, Ginanjar sedang mengemas barang-barang Fae ke dalam koper besar. Di ambang pintu, Fae menatapnya dengan kalut. Ginanjar tidak main-main dengan keputusannya.

***
📚📚📚
***

Reader's, temani Fae ke rumah Paman Karsa, yuk! Mereka pindah ke Dreame 😉

Diantar sama penerbit Grass_Media
Lewat seleksi Drop Your Book.
Kamu juga bisa ikutan event Grassmediaxdreame yang dibuka setiap awal bulan dari tanggal 1-7.

Di dreame/Innovel sudah episode 10 lhoo ...
Yuk, mampir!

https://m.dreame.com/novel/ExObUz/zOKWFIEnHAA028Q==.html

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top