02》[Bukan] Maling!
Beri keajaiban, selamatkan dari amarah Ayah. Tak hentinya Fae melafazkan doa-doa dalam hati.
Sejak semalam, dia belum bertemu lagi dengan Ginanjar. Hal ini jarang terjadi. Kadang, ayah Fae akan menunggu sambil membaca majalah bisnis di ruang keluarga. Kalau pun tidak, lelaki itu akan mengecek putrinya ke kamar saat tengah malam. Namun, pagi ini, Ginanjar bahkan tidak turun sarapan.
"Ayah mana, Bi?" tanya Fae kepada Bi Nur yang menuang susu cokelat panas.
"Sudah berangkat kerja, Non."
"Sepagi ini?"
Fae kehilangan minat untuk sarapan, meski hangatnya susu di pagi hari biasanya akan sulit Fae tolak. Firasatnya sangat buruk. Sampai sekarang dia belum menemukan solusi untuk liontin yang sudah dijual. Liontin pemberian ibunya, Ayah Ginanjar pasti murka. Buku Harry Potter juga tidak akan dikirim, jika pelunasan tidak segera dilakukan. Sementara waktu terus bergulir, tenggat semakin menipis.
Di sekolah, Daisy pun tampaknya tidak memiliki opsi apa-apa. Padahal kepandaian gadis itu tidak bisa diremehkan.
"Jadi gimana, dong?" Daisy membuka percakapan. Sepuluh menit lebih dilingkupi keheningan yang sangat membosankan. Ternyata, kantin pun tak mengubah mood-nya yang seharian ini sangat kacau. Aroma aneka rupa makanan yang merajah hidungnya bahkan tak membuat Fae mengumpat. "Gue bingung banget sumpah! Lo enggak ada ide apa gitu?"
Fae mengaduk es cokelat di depannya. Semua es batu yang mengambang telah mencair. Fae bertopang dagu. Berpikir membuat gadis itu malas.
"Live IG, yuk."
"Apaan, deh. Gue mau ngomong apa coba? Mana beberapa hari lalu udah koar-koar buku langka itu akan jadi milik gue."
"Ini akan memperbaiki mood lo yang jelek," bisiknya dengan sangat cepat.
"Hai, halo. Daisy hadir lagi, nih. Coba tebak sekarang bareng siapa? Taraaaa ... pemenang lelang kita! Yups, siapa lagi putri sultan kita, Faela Luqfua Ginanta. Yeay!"
"Apaan, sih, gue bilang enggak, ya, enggak! Maksa banget bikin konten!" Fae merebut ponsel dengan cepat dan membanting hingga retak. Tak puas, Fae menginjaknya dengan keras. Satu per satu penghuni kantin merubung. Selentingan tanya yang mengudara dengan cepat berganti dengungan hebat.
Gadis di hadapan Fae menatap nanar ke arah ponselnya. "HP gue!"
"Lo melewati batas, Daisy. Udah gue bilang, enggak mau live IG dan lo maksa!"
"Ini cara lo--"
"Diam! Gue akan ganti ponsel lo, jangan ganggu gue!"
Fae membelah kerumunan, gerakannya terhenti saat Daisy berteriak, "Enggak semua orang setajir lo! Hari ini lo banting HP, malam hari bokap lo bawa ponsel baru."
Langkah itu memang berhenti. Namun, dia tidak menoleh saat pergi. Fae tidak peduli. Dia sudah menghadapi begitu banyak masalah sendiri, tidak perlu ditambah masalah Daisy!
***
"Selamat datang, Fae. Tumben sendiri aja, di mana temanmu?" Seorang berbaju biru elektrik menyapa dengan sangat ramah. "Mau cari buku apa? Oh, iya. Ada buku baru karya Prince Pamungkas, loh. Mau saya bantu atau cari sendiri aja?" Intensitas kunjungan Fae dua sampai tiga kali dalam seminggu jelas memberi kesan tersendiri bagi Resty yang bekerja di tempat itu.
"Oh, ya? Apa seri terakhir sudah cetak?"
"Bukan, kayaknya launching buku terakhir dari tetralogi itu akan diundur, deh."
"Yah, kenapa?"
"Ini rahasia, ya," bisiknya. "Launching kali ini berbeda karena Prince Pamungkas akan adain jumpa fans."
"Serius?" Fae memekik girang merebut perhatian di sekitar. "Kapan?"
"Ssst! Jangan berisik. Harusnya bulan depan, tanggalnya belum pasti."
Fae kegirangan mendengar idolanya akan ke Jakarta. Dia bisa bertemu dengan penulis favorit, meminta tanda tangan, dan berfoto bersama. Kalau perlu, dia akan melakukan live Instagram secara eksklusif selepas acara.
"Terima kasih, Resty," ucapnya sembari meninggalkan tempat itu menuju ke deretan buku-buku fantasi. Saking akrabnya dengan tempat ini, gadis dengan rambut panjang yang lurus dikucir kuda bahkan hapal setiap sudut yang menjajakkan novel fantasi. Meski begitu, dia selalu menikmati setiap detik di tempat penuh buku. Desain-desain sampul yang kreatif selalu menarik perhatian Fae untuk membaca judulnya. Kadang, dia akan memasukkan buku ke keranjang tanpa berpikir.
Ada yang berbeda tanpa kehadiran Daisy. Tidak ada yang bisa diajak bicara. Sejak kejadian tadi pagi, hubungan mereka jelas memburuk.
Setelah melewati deretan novel religi, novel fantasi semakin dekat. Terletak di antara kumpulan novel horor dan romance. Matanya langsung terpaut warna oranye di rak teratas.
Warna itu sangat mencolok di kepung buku-buku yang memiliki warna dominan ungu, hitam, dan kelabu. Menurut Fae, desain sampul untuk novel terbaru Prince Pamungkas lebih cocok untuk genre teenlit. Seperti biasa dia tidak peduli.
Fae tak akan melewatkan kesempatan memiliki novel terbaru berjudul Si Peri Kecil. Judul yang membuat Fae mengerutkan kening saat mendengarnya pertama kali dari Resty. Siapa yang lebih gila mengagumi orang yang belum pernah ditemui? Belum pernah berkomunikasi?
Ya, itulah Fae pengagum Prince Pamungkas sejak debut nulis di platform daring tiga tahun silam. Penulis yang tetap mempertahankan sisi misterius membuat Fae begitu terobsesi padanya.
Belum banyak orang yang tahu identitas di balik nama pena Prince Pamungkas bahkan Fae yang sudah menjadi stalker Prince tidak berhasil melihat wajahnya.
"Ya, ampun, tinggi banget." Meski Fae sudah berjinjit maksimal, tetap saja tidak bisa menjangkau buku yang dituju. "Hai, itu buku gue!" teriak Fae.
Dia sangat kesal. Seseorang mengambil buku itu tanpa memberikan padanya.
Alis tebal di wajah cowok itu mengerut, saking dalamnya nyaris saling bertautan di setiap ujung-ujungnya.
"Berikan buku itu!"
"Kenapa aku harus memberikannya?"
"Ladies first," jawab Fae mencoba merebut Si Peri Kecil.
"Enggak, aku lebih dulu mengambil buku ini. Jadi, buku ini milikku." Terlihat cowok itu melenggang santai menjauhi dirinya.
Seandainya Fae punya tubuh yang sedikit lebih tinggi ... menyebalkan! Baru kali ini Fae bertemu orang yang sangat egois di dunia. Memanfaatkan kesempatan di dalam kesempitan. Dia berdecak kesal sambil mengutuk cowok bermasker hitam itu.
"Hei, tunggu!" Fae mencekal jaket bagian punggung cowok itu. "Gue Penggemar berat Prince Pamungkas. Gue yakin enggak ada yang menyukai dia melebihi gue. Tolong berikan buku itu."
"Bucin, lebai."
"Bucin, oke memang iya, tapi lebai ... em, enggak. Gini aja tanya apa pun tentang Prince sama gue. Kalau gue bisa menjawab semua pertanyaan lo, buku itu jadi milik gue, gimana? Adil, kan?" Fae tersenyum girang.
Sayangnya belum sempat mendapat jawaban, ponsel Fae terus berdering. Layar menunjukkan nama Ayah. Mau tak mau dia menggeser tombol hijau dan mendekatkan benda pipih keluaran Jepang itu ke telinga. Suara Ginanjar terdengar menggebu-gebu.
"Iya, Ayah aku akan pulang," jawab Fae sebelum menutup telepon.
Hah! Pergi ke mana dia? Kayak kutu loncat aja.
Hanya ditinggal mengangkat telepon sebentar, cowok bermasker di hadapannya sudah lenyap. Pandangan mata Fae jelalatan mencari orang yang memakai jaket baseball. Fae harus cepat-cepat menemukannya!
Dia akan mencari di deretan buku-buku nonfiksi. Mungkin, cowok bermasker yang membawa buku oranye miliknya ada di sana. Fae hampir menyerah. Namun, ekor matanya menangkap sosok cowok itu menuju ke tempat Resty.
Dengan susah payah menekan ego, Fae menemuinya sekali lagi. Memohon sekali lagi. Menyebalkan! Demi Si Peri Kecil. Demi Prince Pamungkas. Fae rela melakukan apa pun, sepertinya.
"Siapa namamu?" Suara yang terhalang masker terdengar berdengung.
"Eh, lo enggak perlu tahu siapa gu--"
"Mau atau enggak? Aku harus memastikan kepada siapa bukuku diberikan, kan?"
"Buku lo?"
"Maksudnya, calon bukuku," ralatnya.
"Fae."
"Ambil bukumu, Fae."
"Thanks, em--" Fae menggerakkan tangan kiri ketika bingung. Egonya mencegah Fae menanyakan nama cowok itu. cowok baik hati yang rela memberikan bukunya untuk Fae.
"Nirvand, panggil aku Nirvand." Cowok itu menyibakkan rambut ke belakang menampakkan bekas luka goresan di kening kanan.
"Oke, thanks, Nirvand." Fae merasa pipinya memanas. Namun, dia sadar tidak boleh hanyut terlalu lama atau Ginanjar akan marah besar.
"Ada kartu lain?" Resty mengembalikan kartu seukuran KTP. Fae pun mengambil kartu kedua dari dompet dan memasukkan kartu yang ditolak sebelumnya. "Apa ada kartu lain?"
Kartu ke-3 sudah diberikan. Dua kartu sebelumnya telah tertolak. Fae merasa cemas. Ada apa ini? Ayah menelepon dengan nada yang tidak sabar di jam bebasnya? Sekarang kartu-kartu ajaib pengabul keinginan-keinginan Fae tidak berfungsi. Fae sudah menggigiti kukunya dengan cemas.
"Apa ada uang kes? Kartu ini juga enggak bisa dipakai."
"Enggak mungkin. Coba, sekali lagi."
"Kami bahkan sudah mencobanya tiga kali." Resty menggeleng. Gadis berkepang tunggal itu mengambil buku Si Peri Kecil dan meletakannya di meja kasir. "Maaf, Fae. Kamu harus kembali lagi nanti."
"Tolong, berikan buku itu," pinta Nirvand kepada Resty. "Aku akan membayarnya."
Setelah meletakkan dua lembar ratusan ribu di kasir, Nirvand pergi dan tanpa mengucapkan sepatah kata.
***
Langkah riang Fae terhenti saat pintu kamar terbuka lebar. Dia mengendap-endap seperti pencuri di rumahnya sendiri. Betapa terkejutnya Fae mendapati seorang laki-laki berkaus hitam berdiri di depan lemari kesayangannya. Lemari kaca yang menjulang nyaris menyentuh langit-langit. Deretan novel fantasi tertata apik di dalam sana. Hati Fae mencelus saat jari-jari lentik cowok itu mendorong sliding door ke kanan.
Beranis-beraninya ....
Fae hanya bisa membatin atau maling itu akan lolos darinya.
Rambutnya lurus menutupi hampir seluruh kening. Tubuh itu sangat tinggi dibandingkan Fae. Namun, bukan berarti nyali akan menciut setelah melihatnya. Justru Fae menganggap menangkap maling yang berani masuk ke ruangan pribadi adalah tantangan.
Tantangan selalu menyenangkan. Fae menyeringai buas. Terlebih gadis itu melihat buku bersampul biru yang sangat tebal masih terongok di meja belajar masih dalam jangkauan Fae.
Fae menempelkan punggung ke dinding dengan mata tetap menatap waspada. Perlahan, dia menggeser kaki kiri selangkah diiringi kaki kanan begitu seterusnya sampai tangannya mampu menjangkau KBBI versi V miliknya. Kedua tangan Fae sudah menggenggam erat ujung buku. Dia makin geram saat cowok itu berani mengambil buku bersampul ungu dengan huruf keperakan yang paling dia sayangi. The Dreaming of Lucifer yang tidak boleh disentuh siapa pun selain dirinya.
"Lo enggak akan lolos dari gue!" Fae berusaha keras agar gumaman itu tidak terdengar kencang.
Hanya bunyi lembar kertas dibalik yang terdengar. Fae pun menekan napas. Seolah dengan begitu detak jantung pun akan memelan. Tinggal empat langkah lebar jarak antara maling itu dengan dirinya. Dia mulai menghitung mundur.
Tiga, dua, satu!
"Ada maling di kamarku!!!" Dengan kekuatan penuh Fae menghantamkan buku tebal di tangannya ke lengan cowok itu sambil berteriak tanpa henti.
***
📚📚📚
***
Cek gelombang, lanjut enggak, ya? Hm, follow akun ini dulu, yuk 😄
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top