01》[Bukan] Bibliofili
Kecemasan Ginanjar bukan tanpa alasan. Buku Harry Potter cetakan pertama pasti akan menjadi target yang diincar putrinya, Faela Luqfua Ginanta. Desas-desus lelang buku langka telah tersebar seminggu terakhir di komunitas lelang yang diam-diam Ginanjar ikuti--dengan akun palsu tentunya. Ginanjar tinggal menunggu waktu sang putri merengek uang padanya.
Tidak! Hampir 700 juta untuk sebuah buku? Lagi pula, Fae sudah memiliki hampir semua karya JK. Rowling di antara deretan buku-buku fantasi koleksinya.
"Ayah, Fae pulang."
Ginanjar yang duduk di sofa kulit menengok ke sumber suara. Gadis berseragam SMA itu langsung mengempaskan diri di samping ayahnya, menggelayut manja. Tak peduli tubuhnya dilumuri bau tengik keringat yang menusuk hidung.
"Jam segini baru pulang?" Ginanjar menggulung lengan kemeja demi melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul tujuh malam. "Dari mana aja?"
"Dari Gramed bareng Daisy," jawab Fae mengendurkan pelukan. Dia tahu apa yang akan ayahnya tanyakan. Tanpa diminta, puluhan buku dikeluarkan dari tas punggung yang menggembung. "Lihat, Ayah. Bagus, ya? Ini terbitan terbaru, loh."
Dengan semangat, Fae memperlihatkan satu per satu buku yang semuanya bersampul putih dan masih tersegel rapi. "Cerita-cerita ini menang lomba di penerbit mayor, Yah. Ayah ingat, Fae pernah cerita tentang novel yang kuikuti sejak rilis pertama di Wattpad?"
"Ya," jawab Ginanjar sembari mengangguk. Jemari itu mengelus rambut sang putri yang diikat tinggi.
"Akhirnya terbit juga setelah hampir tujuh bulan," lanjut Fae. Binar matanya penuh kekaguman.
Seorang wanita gempal bertubuh pendek berlari membukakan pintu ketika bel berbunyi.
"Ada paket, Mbak Nur, kata Pak Hamid. Seorang satpam yang bekerja di rumah itu. Semua jenis paket atau pesanan apa pun yang ditujukan untuk penghuni rumah itu akan diterima olehnya terlebih dulu. Biasanya untuk paket-paket milik Fae akan diberikan ketika dia pulang.
"Makasih, Pak Hamid," jawab wanita itu menerima kardus besar yang terlihat berat. Fae mengamati wanita bersanggul sampai membungkuk saat membawa kardus melewati tangga melingkar.
"Bi Nur, taruh di sini aja. Nanti saya yang bawa ke atas."
"Nggih, Tuan."
Kardus kecokelatan dengan pengemasan yang sangat hati-hati, lakban yang kuat, dan tidak ada penyok sedikit pun. Ginanjar melihat dengan cermat, tangannya mengelus kardus itu sambil berkata, "Paket buku lagi?"
"Iya, Ayah. Semalam Fae dapat rekomendasi novel dari grup reading challenge. Kebetulan, salah satu kenalanku membuka jastip buku gitu di Bandung. Fae Nitip, deh. Enggak nyangka akan secepat ini."
"Memang buku apa?"
"The Saga of Daren Shan, Ayah. Film yang pernah kita tonton bersama waktu itu. Apa Ayah ingat?"
Ginanjar menelengkan kepala. "Sebanyak ini?"
"Enggak, sih. Ada buku lain, Ayah. Artemis Fowl Series ada 8 buku. Jadi totalnya ada 20 buku," jelas Fae dengan girang.
Gadis itu sudah membayangkan unboxing paket dan merekamnya sesegera mungkin. Fae tak sadar Ginanjar menghela napas kecewa ketika kembali menghempaskan diri di sofa. Menatap langit-langit berkubah cukup lama.
"Ayah, apa Fae bisa ke atas sekarang?"
"Tentu."
"Apa Ayah akan membawakan kardus ini ke kamarku?"
"Tentu saja, Sayang."
Kecupan singkat mendarat mulus di pipi Ginanjar yang memiliki ceruk ketika tersenyum.
"Terima kasih, Ayah." Fae melompat-lompat.
Berjalan ke kamarnya seringan kapas putih tertiup angin. Sangat ringan dan menyenangkan!
Handuk putih telah bertengger di puncak kepala, tidak banyak ritual yang dilakukan gadis bertubuh mungil itu selepas mandi. Dia hanya mengeringkan rambut dengan hair dryer sebelum sibuk dengan buku-buku barunya.
"Bi Nur keringkan, Non?"
Fae mengangguk. "Ayah belum bawa kardusnya ke kamar, Bi?"
"Sepertinya belum, Non. Tadi bibi lihat, Tuan sedang menelepon."
Aroma buku baru yang akan tercium setelah segel terbuka ... Ah!
Gadis berkaus kuning itu tidak sabar menunggu lebih lama lagi. Dia berlari gesit menuruni tangga, tetapi Ayah Ginanjar tidak terlihat di sofa. Hanya kardus besar yang terongok di meja. Alih-alih mengangkat kardus itu, Fae meletakkannya lagi. Rasa penasaran menggiring Fae ke ruang kerja.
Ginanjar terlihat mondar-mandir sambil berbicara dengan seseorang di saluran telepon. Tangan kiri yang terbebas menyeka sudut mata yang berkaca-kaca. Ada helaan napas panjang yang diembuskan. Ekspresi yang jarang terlihat olehnya.
"Ayah menangis?" gumamnya. Fae merapatkan tubuh ke dinding. Jantung Fae berdebar saat namanya disebut-sebut. Namun, dia tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan. Instingnya mengatakan ada yang tidak beres atau sesuatu yang buruk akan terjadi. Gadis itu menekan napasnya dalam-dalam.
"Fae sedang apa di sini?"
Organ sekepalan tangan di dalam dada seakan terlepas dari tempatnya. Dia tak menyangka Ginanjar akan keluar ruangan secepat ini.
"Anu, itu, Ayah. Fae--" Fae menyeka kening dengan punggung tangan. "Fae enggak lihat Ayah di sofa."
"Ah, iya. Ayah akan membawakan kardusmu ke atas. Ayo," jawab Ginanjar dengan senyum terbaiknya.
Lelaki setinggi 185 cm itu masih memakai jas beserta dasinya. Kemungkinan besar, dia buru-buru menelepon selepas Fae ke kamar. Langkah jenjangnya membuat Fae kesulitan menyamakan langkah. Fae pun berlari kecil.
"Akan ditaruh di mana?" Ginanjar memindai ruangan sesampainya di ambang pintu.
Gadis itu menggigit kuku tampak berpikir. "Di sini, Yah."
Pandangan Ginanjar sangat sulit diartikan saat mendapati tumpukan kardus di sudut-sudut ruangan. Dua lemari besar menjulang penuh dengan buku. Di sampingnya Fae menambah almari kecil setinggi orang dewasa. Tak hanya buku yang tersimpan di sana, ada beberapa boneka dan pernak-pernik untuk pengambilan foto dari koleksi buku-bukunya.
Tidak ada merah muda layaknya kamar remaja gadis pada umumnya, selain warna putih dan oranye mendominasi barang-barangnya.
"Ayah enggak melihat liontinmu, Fae."
"Fae melepasnya, Yah. Nanti, kupakai lagi." Fae berharap Ginanjar tidak menangkap getaran dalam suaranya.
"Boleh ayah lihat?"
"Bolehlah, Ayah. Sebentar, akan Fae cari," jawab Fae seketika itu berusaha mencari benda yang tidak pernah lepas dari lehernya.
"Cari? Apa kamu menghilangkannya?"
Mampus!
"E-enggak, Ayah. Fae mana berani ngilangin benda kesayangan Ayah."
"Oke, pakai dan jangan pernah berpikir untuk melepaskannya."
Fae bernapas lega, Bi Nur memanggil Ginanjar saat itu. Telepon penting, katanya. Ah, Fae tidak peduli. Dia hanya perlu mendapatkan kembali liontin bergambar teratai itu.
Seharusnya Fae berpikir ulang menjual benda itu! Dia telah mentransfer uangnya untuk DP buku yang dia menangkan. Harusnya Fae tidak membeli banyak buku bulan ini. Sekarang, gadis itu benar-benar kehabisan akal.
Suasana di kamar begitu sunyi, hanya jarum jam yang berdetak terus memacu debaran jantung. Kuku jempol telah terkikis sejak tadi menjadi korban gigi serinya. Ponsel yang tergeletak di meja rias tidak kunjung menyala. Daisy belum membaca pesannya!
"Daisy, please," gumamnya.
"Non, Tuan udah nunggu di bawah." Bi Nur sudah di depan pintu lagi. Fae mengangguk, meletakkan ponsel ke tempat semula sebelum turun. Jemarinya telah meremas celana nylon pendek yang dipakainya.
Semoga Ayah enggak tanya tentang liontin itu sekarang.
Tanpa sadar jemari Fae bertengger di kerah baju. Jari-jari itu meremas gelisah. Bukan Ginanjar, jika tidak menyadari hal kecil itu. Dia mengawasi putrinya yang tak kunjung menyuapkan makanan. Hanya memainkan nasi yang tercecer di piring beserta lauk-pauknya.
"Fae sakit?" Suara lembut Ginanjar layaknya petir yang menyambar-nyambar di telinga. Kaget bukan main. Fae terperanjat. Gadis itu nyaris mengumpat.
Alis Ginanjar semakin menukik tajam. Pasalnya, suara itu tidak terlalu keras untuk seseorang bisa terkejut saat mendengarnya.
"E-enggak, Ayah. Fae sedikit mual," bual Fae menutupi kegelisahan. Dia tidak bermaksud berbohong kepada ayahnya. Hanya menunda sebentar lagi dan akan memberi tahu segalanya di waktu yang tepat. Fae janji!
"Siapa yang datang, Nur?" tanya Ginanjar saat fokusnya terebut denting bel. Wanita gempal bernama Nur tak perlu perintah untuk membukakan pintu.
"Daisy, Om." Bandana di kepala gadis itu memisahkan poni ikal dengan rambut kecokelatan yang bergulung-gulung seperti ombak. Sangat lembut dan manis.
"Sendirian?" Ginanjar mengulurkan tangan saat Daisy izin mencium tangan.
"Iya, Om. Mau ajak Fae pergi kalau Om enggak keberatan."
"Malam-malam begini mau ke mana? Bukannya tadi siang sudah pergi?"
"Ke tempat Ragil, Om. Tadi siang dia enggak bisa ditemui, ada halangan yang membuat Ragil harus membatalkan janji. Kita sudah tidak punya banyak waktu, Om buat cari narsum baru. Sedangkan tugasnya dikumpulkan lusa."
Fae membelalak, siapa Ragil? Dari delapan ratus lebih siswa SMANSA tidak ada siswa bernama Ragil. Yang benar saja, Daisy! Ginanjar bisa melakukan apapun bahkan di luar pikiran seorang ayah pada umumnya. Bisa saja dia mengecek nama Ragil tanpa sepengetahuan mereka.
Cari mati, Daisy!
"Ragil seorang novelis, Om. Kita akan mewawancarai tokoh remaja yang berpengaruh untuk tugas pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Om Gin tahu sendiri, kan, nilai eksak Fae gimana? Hanya ini, Om agar Fae bisa menutup kekurangan nilai," papar Daisy.
Udah tahu nilai gue tiarap, dasar tusuk gigi! Pakai bawa nilai eksak segala.
"Pulang sebelum jam sepuluh, ya?"
"Gue ke atas dulu." Fae beranjak ke kamar diikuti Daisy. Dengan cepat pintu kamar dikunci. Fae memuntahkan semua ocehannya. Dia masih tidak terima alasan Daisy mengajaknya pergi. Menurutnya itu sangat tidak masuk akal. Dia tidak perlu berbohong untuk bisa keluar.
"Mau lo apa? Mau bilang liontinnya udah dijual buat DP Harry Potter?" Daisy pun kesal usahanya justru dipertanyakan.
"Enggak juga, Daisy!"
Saat keduanya turun, mereka tidak menjumpai Ginanjar di ruang makan.
Di luar, langit terlihat cerah. Hitam pekat itu seperti ditaburi pecahan kaca halus yang memantulkan cahaya. Memakai sepeda motor pilihan terbaik. Meski jarum pendek dan panjang mengimpit angka delapan, kemacetan Jakarta masih terlihat. Hati Fae ketar-ketir, sekarang bukan hanya liontin yang jadi masalah besar, melainkan kebohongan Daisy. Semoga Ginanjar sedang disibukkan tender miliaran rupiah. Tentu saja agar tidak punya waktu lebih mengurus urusan Fae.
"Itu tokonya, kan? Ya, ampun! Buruan," perintah Fae memukuli pundak Daisy.
Gadis di depan Fae berdecak kesal. Dia juga melihat sebentar lagi tokonya itu akan tutup. Namun, memukuli pundak jelas tidak menunda penutupan toko. Daisy membunyikan klakson beruntun, gerakan pria tua berkaus putih terhenti. Derak besi berkarat tak lagi terdengar. Pria tua itu membetulkan posisi kacamata bulat yang melorot. Dalam balutan celana bermotif naga, dia mendekat, menyipitkan mata yang penuh keriput.
Bunyi rem berdecit, kedua remaja putri itu bergegas penuh cemas menghampiri pria tua bertopi kep.
"Koh, ingat a-ku?" tanya Fae dengan tergagap-gagap. "Liontin yang kujual apa masih ada?"
"Banyak yang jual liontin hari ini. Ah, iya. Liontin teratai itu. Sudah ada yang membelinya."
"Apa?!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top