Core 2 • Crash Landing in The Multiverse
d r e a m c o r e
A novel by Zivia Zee
•
[Playlist 02 || Not About Angels]
How unfair, it's just our luck
Found something real that's out of touch
But if you'd searched the whole wide world
Would you dare to let it go?
KAMI sungguhan naik kapal pesiar!
Tiga bulan pertentangan penuh dari seluruh keluarga-terutama pamanku-tidak membuat Kakek goyah. Itulah hebatnya Kakek kami.
Poseidon, kapal pesiar yang tengah berlayar di sepanjang Samudera Atlantik. Aku dan keluarga besar menyewa enam belas kamar untuk tujuh hari perjalanan menuju Miami.
Aku sudah tahu bahwa liburan kali ini tidak akan ada bedanya dengan liburan-liburan sebelumnya. Liburan keluargaku tidak pernah jadi liburan hangat yang menyenangkan. Alih-alih, justru jadi ajang debat dan gulat setiap saat. Namun Kakek tidak pernah menyerah.
Ironisnya, bahkan semesta pun tampak menyerah dengan keluarga kami. Lihat saja, malam ini Samudera Atlantik tidak benar-benar tidur. Samudera mengombang-ambingkan kapal, Seolah-olah ia tahu ada satu keluarga besar tukang cari keributan yang harus ditenggelamkan agar tidak merusak tatanan dan ketenangan dunia.
Samudera saja tidak sudi ada kami di atasnya.
Dari atas kasur, aku bisa merasakan gempuran ombak membuat kapal berguncang pelan. Tiap guncangannya membuyarkan semua alur imajinasi yang sudah kurancang untuk kunikmati sampai jatuh lelap. Akhirnya aku bangkit dari kasur dan pergi ke dek seraya menenteng gitar pemberian Papa.
kapal terasa seperti gunungan lentera di tengah-tengah kehampaan. Gulita Samudera Atlantik yang dirundung embus dingin angin laut, menari-nari beriring ombak yang menenun riak. Di ujung geladak, bersandar pada terali aku memangku gitar dan mulai memetik nada-nada.
"She's got a smile that it seems to me. Reminds me of childhood memories. Where everything was as fresh as the bright blue sky ...."
"Klasik."
Sebuah suara datang menginterupsi. Asalnya dari seorang lelaki yang secara tiba-tiba sudah berdiri jarak serentangan tangan di sampingku.
Bahuku melompat terkejut. Sejak kapan dia ada di sana? Aku sama sekali tidak merasakan hawa keberadaannya. Langkah kakinya saja tidak kedengaran.
Atau aku yang terlalu asyik nyanyi-nyanyi sendirian?
"Kenapa kamu suka lagu lama?" tanyanya.
Aku melantangkan gumam. Sejujurnya, aku tidak pernah benar-benar memikirkannya. Alasan-alasan presisi untuk menyukai sesuatu dibanding yang lainnya. Namun aku menemukan spontanitas jatuhnya keputusanku melantunkan lagu milik Guns n Roses sebagai lagu pertama mungkin didasari pada apa yang sering didendangkan di telinga ini.
"Papa sering menyetel lagu-lagu lama." Lelaki itu mengangguk paham.
Kepalanya menoleh padaku sejurus angin laut menerbangkan helai-helai rambut di dahinya. Ia menyuguhiku sepasang iris sewarna lautan yang berkilat dari pendar cahaya kapal.
"Bukan alasan yang bagus. Menyukai sesuatu karena orang lain atau karena terbiasa dengannya."
Hidungku mengeluarkan dengusan spontan diiringi tarikan seujung bibir. "Tapi suaraku bagus 'kan?"
Kakiku mengambil dua langkah mendekat. Memetik alunan-alunan pelan. Kuiringi dengan beberapa bait lirik The Reason milik Hoobastank yang kudendang dalam lirih. Cukup untuk didengar telinga kami berdua saja.
Matanya mengembara selain padaku seolah-olah tak ingin mengakuinya, dan ia memang tidak mengakuinya. "Bagus tidaknya sesuatu itu relatif."
"Bagus tidaknya sesuatu memang relatif," timpalku, "tapi merdu tidaknya suara itu sudah ada nilai dasarnya, nada. Kalau cantik tidaknya seseorang juga ada nilai dasarnya, kebaikan. Menurutku saat ini aku sedang melakukan kebaikan, mengajari seseorang tentang estetika suatu hal. Jadi, menurutmu aku cantik atau tidak?"
"Menurutku, gaya bicaramu melompat-lompat, cara berpikirmu nyeleneh. Kamu juga cukup narsis dan aneh," ujarnya dingin.
"Mungkin maksudmu unik," bantahku, "jadi, mau menyudahi basa-basisnya dan mulai kenalan atau kamu lebih suka membahas bedanya aneh dan unik denganku?"
Mata lelaki itu berputar ke atas. "Auriga, aku tahu namamu."
"Kamu tahu namaku?" Tanganku menutup mulut yang menganga spontan. Tidak bisa dipercaya. Apa aku seterkenal itu?
Tunggu, aku memang terkenal. Maksudku, keluargaku terkenal. Keluargaku cukup terpandang di Jerman dan kakekku adalah seorang tokoh politik. Aku pernah dikuntit paparazi dan dikejar-kejar pemburu tanda tangan. Namun, baru kali ini ada penggemar yang mengikutiku sampai ke kapal pesiar.
Ya, kalau dilihat-lihat, lelaki ini memang nampak salah tempat. Kaus oblong polos berwarna putih kusam dengan celana pendeknya terlihat kontras dengan kemewahan Poseidon dan tamu-tamunya yang lain.
Apa dia jual ginjal demi ikut keluargaku naik kapal pesiar?
"Bodoh, kamu juga tahu namaku," ujarnya dingin.
Alisku bertaut satu. "Hah?-AW!"
"Kebiasaan mengkhayalmu itu memang bukan urusanku, tapi kau sudah di luar batas!"
"Sakit, Agatha ...," desisku seraya mengusap belakang kepala yang baru saja digeplak cewek judes yang entah datang dari mana ini tanpa alasan.
"Kalau bukan mengkhayal, kerjaanmu berkeliaran sana-sini. Aku sebenarnya tidak peduli, tapi jangan melakukan keduanya sekaligus!" geramnya. Alisnya tertekuk tajam dan wajahnya merenggut seram.
"Aku tidak lagi ngayal," protesku tak terima, "aku cuma cari angin." Kemudian kembali memetik pelan senar-senar gitar. Melanjutkan lagu yang sedang kunyanyikan tadi.
"Matamu! Pokoknya jangan bertingkah aneh-aneh. Aku tidak mau sampai repot disuruh Papa menjagamu atau semacamnya-bisa tidak kau hentikan itu?! Kita berada di atas kapal pesiar mewah yang tidak memerlukan pengamen."
Ah! Lihat tidak?
Barusan ada ribuan jarum yang menghujam ke jantungku! Apakah di Samudera Atlantik ada semacam hujan peniti atau hanya kata-kata Agatha yang terlalu sinis dan tajam?
Aku memeluk gitarku. Cemberut. Gadis yang mengenakan turtleneck putih dengan celana panjang berwarna ungu itu tidak pernah ramah denganku. Padahal aku sayang padanya, meski sepertinya Agatha tidak pernah sayang padaku.
"Ada apa?"
Sembari memangku tangan, matanya menilaiku dari ujung kaki sampai ujung kepala. Berkata, "Ganti bajumu, poles wajahmu-pakai pewarna bibir atau apa 'kek biar nggak dekil-dekil amat! Kakek mau kita semua ada di aula makan sekarang juga. Cepat siap-siap! Jangan sampai Bibi Nora memaksaku menyeretmu untuk yang kedua kalinya."
Gadis itu menyibak rambutnya, lalu pergi begitu saja.
Kuhela napas panjang.
"Agatha memang ketus, tapi sebenarnya dia baik," ujarku. "Eh, bukan maksudku bilang dia cantik, ya. Meski kami bersaudara, tapi jelas aku lebih cantik daripada dia. Aku juga lebih baik hati. Menurutmu bagaimana? dia cantik atau tidak?"
Hanya ada kekosongan yang menyambut kala aku memalingkan wajah ke tempat cowok asing tadi berdiri. Ya, menyaksikan kakak dan adik bertengkar memang tidak menarik. Sebenarnya cowok itu melakukan hal yang benar. Dia menyelamatkan dirinya sebelum ikut terseret ke dalam cekcok tak bermutu kami. Kendati demikian, tetap saja ... dasar tidak sopan!
Pada akhirnya, aku menuruti Agatha untuk pergi ke aula. Namun sesampainya di sana, yang kulihat hanya ada beberapa sepupu serta paman dan Bibi Nora di lantai atas aula. Agatha bahkan tidak ada di situ.
Kebosanan serentak menyergap meski belum lima menit aku menginjakkan kaki di aula makan. Acara formal bukan hal yang bisa aku nikmati dan daripada itu, aku lebih suka mengajak orang asing bicara di geladak sana atau turun ke lantai bawah dan main akustik dengan para awak kapal. Itu lebih terasa seperti liburan, setidaknya buatku.
Setelah menghabiskan seluruh kue di nampan hasil menahan seorang pelayan pembawa camilan yang lalu-lalang, akhirnya aku memilih merangkak ke atas panggung dan duduk di kursi vokalis yang menghadap mikrofon.
"Ekhem," dehamku memulai.
Aku bisa melihat segalanya dengan lebih jelas dari sini. Aula makan bersimbah remang lampu temaram dan pendar lilin-lilin aroma di meja-meja melingkar. Beberapa tamu menaruh perhatian mereka padaku dan beberapa lainnya berbincang-bincang dengan kolega mereka.
"Ah! Hai kamu ... ups!"
Cepat-cepat aku membekap mulutku. Bodoh! Namun melihat cowok berkaus oblong yang tadi kutemui di dek melenggang masuk dari arah pintu membuatku tidak tahan untuk menyapa dan menanyakan namanya. Beberapa tamu mengumbar tawa kecil akan tingkah kikuk yang kulakukan. Cowok itu geleng-geleng kepala sembari melihatku tak habis pikir.
Semerta saja ujung-ujung bibirku tertarik mengumbar senyum canggung. Pipiku pasti sudah semerah buah ceri sekarang.
"Maaf," kataku canggung, lantas menoleh pada kru panggung di belakang, memberikan isyarat kalau aku ingin tampil. Segera setelah itu lampu-lampu seluruh ruangan itu meredup dan lampu sorot di atasku menyala.
"Tuan dan nyonya sekalian, para tamu terhormat Poseidon dan terkhusus keluargaku yang tengah merayakan liburan keluarga. Semoga malam ini kita semua diberikan kebahagiaan. Jangan lupa nikmati segelas sampanye untuk merayakan apapun yang kita capai malam ini, tapi jangan makan kue almond-nya. Itu untukku saja."
Gelak tawa mengumbar dari sepenjuru ruangan. Mataku menyibak hamparan aula dan segera bertemu pandang dengan cowok asing yang kutemui di dek tadi. Ia begitu kontras dengan pakaian kasual di antara kerumunan tuksedo dan gaun. Menyimpan tangannya di saku, matanya memandangku seolah menunggu.
Aku pun mulai memetik nada.
We know full well there's just time
So is it wrong to dance this line?
If your heart was full of love
Could you give it up?
'Cause what about, what about angels?
They will come, they will go, make us special, oh ....
Don't give me up
Don't give me up
How unfair, it's just our luck
Found something real that's out of touch
But if you'd searched the whole wide world
Would you dare to let it go?
'Cause what about, what about angels?
They will come, they will go, make us special, oh ....
Don't give me up.
Don't give me up.
Selagi aku bernyanyi, denting-denting pisau dan garpu para tamu mulai kembali bersahutan. Para pelayan berlalu lalang dengan nampan-nampan di atas tangan mereka, menghampiri tiap-tiap meja yang memesan kudapan dan gelas-gelas wine. Sepasang tua yang duduk paling dekat dengan panggung bergandengan tangan seraya menikmati temaram lampu kandelir besar yang menggantung di tengah ruangan.
Aku bisa melihat sisi lantai atas aula dari bukaan yang menghadap panggung. Bibi dan pamanku duduk di sofa dekat terali tengah membicarakannya sesuatu, sesekali melirik padaku. Meninggalkan mereka dan apapun yang dibahasnya, mataku kembali mencari-cari cowok asing tadi di antara lalu lalang pelayan dan beberapa tamu yang mencari meja. Aku menemukannya tak lama kemudian. Dia masih berdiri di tempat terakhir aku melihatnya, masih menontonku.
Serentak begitu mata kami bertemu, gemuruh petir mahadahsyat menyela segala perbincangan yang tengah berlangsung di kapal ini. Gelegar langit memotong semua urusan-urusan, seolah meminta seluruh penumpang kapal memberi atensi padanya. Pianis di belakangku otomatis menghentikan lagu, begitu pula aku yang menggantung bait terakhir lagu tanpa sempat menyelesaikannya. Untuk sesaat, Poseidon dan seluruh isinya dilanda keheningan yang begitu mencekam.
Semua kepala menengadah seolah mencari tahu ada apa dengan langit yang bak meledak. Namun semesta menjawab segala tanya di wajah mereka dengan anomali lain yang kian bersambang. Lilin-lilin di semua meja mati bak ada hembusan angin yang menyapu cahaya remang mereka. Beriringan kemudian lampu-lampu mulai berkedip-kedip.
Orang-orang mulai berdiri dari tempat duduknya masing-masing, begitu juga dengan aku yang segera bangkit dari kursi vokalis. Mataku menyapu para tamu dan menemukan mereka mulai riuh menyerukan kebingungan mereka selagi menatap langit-langit aula dan jendela. Kemudian kapal tiba-tiba berguncang hebat. Aku tidak sempat meraih pegangan apapun dan langsung membentur lantai podium. Meja-meja bergeser dari tempatnya dan piring-piring berjatuhan dari nampan. Para tamu segera histeris.
"Papa!" seruku panik. Sedetik kemudian aku sadar bahwa sejak awal Papa tidak ada di aula. Lalu aku ingat ada paman dan bibiku di sini. Aku harus segera mencapai mereka.
Tiang penyangga mikrofon jatuh tepat di sampingku. Badanku terperanjat menghindar seraya mencoba bangkit. Namun guncangan yang lebih keras memorakporandakan kapal. Badanku kembali menghantam lantai. Tepat saat itu, aku melihat Bibi Nora jatuh berguling hingga ke dasar tangga.
"Bibi!"
Bibi Nora tidak bangun lagi. Samar-samar kulihat darah mengaliri kepalanya. Para tamu yang panik berlari ke segala arah melewati tubuhnya, beberapa tersandung karenanya. Kupaksakan kaki dan tanganku menopang tubuhku hingga aku berhasil bangkit berdiri. Namun seperti semua belum cukup buruk, tiba-tiba saja seberkas cahaya masuk dari jendela-jendela kapal menyinari seluruh ruangan.
Tidak ada lagi yang terlihat selain sinar putih yang membutakan. Petir di luar kembali menggelegar. Ombak menghantam badan kapal, mengguncangnya amat hebat. Namun, kali itu bukan hanya sekadar guncangan. Bak Poseidon terangkat dari lautan. Perspektifku jungkir balik seiring lantai kapal terjungkir.
Histeria massa bersahut dari segala arah. Silih berganti dengan gempuran ombak dan gemuruh guntur. Namun semua terasa pekak kala tubuhku mulai terjungkir. Telingaku berdenging dan semua hiruk-pikuk di sekitar seakan meredam. Jantungku berdegup keras kala tubuhku tak lagi memiliki pijakan. Tanganku terjulur Ke atas berusaha meraih keselamatan. Namun yang tergenggam hanya udara dan kehampaan.
Aku tahu hidupku berakhir kala gravitasi mulai menarikku jatuh, karena rasanya aku jatuh lama sekali. Bak terjun bebas dari atas langit menuju permukaan air laut. Namun aku justru merasakan tubuhku mendarat di lantai dengan rasa sakit yang tak cukup berarti. Tatkala aku membuka mataku, rupanya aku hanya jatuh tersandung kotak onderdil di tengah-tengah lorong toko reparasi cyborg. Membangunkan John M. Wayner si pemilik toko yang tengah tidur pulas di meja kasir.
Di lorong lain, Nareeya yang tengah mengutil beberapa karet metal melotot seram ke arahku.
Hening sesaat.
Begitu alarm berbunyi, aku baru sadar kalau aku sudah berpindah dunia.
Tbh, Writing Auriga's character is a bit challenging for me. Karena aku biasa nulis dari sudut pandang karakter introver seperti Aurora di karyaku yang sebelah, meanwhile di sini Auriga itu sangat ekstrover.
Tapi aku ingin mencoba hal baru dan memastikan bahwa ramuan tiap karakterku beda satu sama lain. So here I am! I present to you my newest mc, Auriga Hesper✨
Feel free buat ngasih kritik n saran.
Enjoyy 🥨☕✨
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top