9 | Everything is Messed Up

Hari-hari Tadashi di sekolah semakin mirip dengan neraka.

Pagi tadi, pemuda itu tidak sengaja menangkap presensi Evelyn yang sedang berdiri di depan loker. Gadis itu terlihat mengambil beberapa buku dari dalam sana, kemudian memasukkannya ke dalam tas. Setelah selesai, ia mengunci kembali lokernya dan berbalik badan. Tanpa sengaja, pandangan mereka bertemu.

Tadashi baru saja membuka mulutnya, hendak menyapa gadis berambut hitam pendek itu. Namun, Evelyn sudah lebih dulu berjalan berlawanan arah dengannya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Masih tidak ada keramahan di wajahnya.

Melihatnya, Tadashi mengembuskan napas kecewa. Pemuda itu kembali melangkahkan kedua tungkainya menuju kelas yang akan dihadirinya pagi ini.

Evelyn Rogers menjadi orang yang bertanggung jawab atas kacaunya perasaan Tadashi beberapa hari ini. Di kelas, tidak ada satu pun pelajaran yang ditangkap oleh kepalanya. Dibandingkan dengan mendengarkan penjelasan guru Kalkulus di depan ruangan, Tadashi lebih memilih menorehkan pensil di belakang buku catatannya. Otaknya telah merekam fitur wajah gadis pujaannya dengan baik, sehingga pemuda itu dapat menuangkannya dalam bentuk gambar tanpa melihat langsung objek aslinya.

Ketika sedang asyik memberikan shading di pipi gadis itu, ucapan guru Kalkulus menginterupsinya. "Mr. Reyes?"

Tadashi tersentak. Ia meletakkan pensilnya di atas meja dan mendongak ke arah wanita paruh baya di depan ruangan. Seluruh murid di kelasnya pun kini mengalihkan pandangan ke arahnya.

"Yes, Ma'am?" ucapnya, berusaha untuk tidak panik.

"Anda yakin sudah berada di kelas yang tepat?" Wanita itu melirik buku catatan Tadashi di kejauhan. "Karena ini bukan kelas Kesenian."

"I'm sorry, Ma'am," lirih Tadashi sambil menutup buku catatan.

"Ujian akhir hanya tinggal menghitung bulan. Lebih baik Anda menyimak dengan serius materi hari ini jika ingin lulus dengan nilai yang bagus," ucap guru Kalkulus sebelum berbalik badan dan kembali fokus pada papan tulis. Teman-teman sekelasnya pun kembali mengalihkan atensi ke depan ruangan.

Di sisi lain ruang kelas, Robert hanya bisa menggeleng-geleng pasrah melihat tingkah laku sahabatnya. Pemuda itu terkekeh pelan, tidak menyangka bahwa Tadashi yang selalu terlihat serius, bisa juga kehilangan fokus karena hal percintaan.

*****

"Kau terlihat sangat kacau," ucap Robert sambil menahan tawa.

Tadashi tidak menggubris. Sedikit kesal, ia menyuap es krim mint yang ada di atas meja.

Siang ini, Robert kembali membolos. Namun kali ini, pemuda berambut merah dengan sedikit freckles di pipi itu tidak sendirian. Ia turut mengajak Tadashi bersamanya. Ketika mengetahui bahwa sahabatnya akan mengunjungi toko es krim favoritnya, tentu pemuda bermata sipit itu tidak menolak. Karena sudah bertekad akan lebih serius pada pendidikannya, Robert juga mengatakan bahwa hari ini adalah hari terakhir dirinya membolos kelas, dan Tadashi menyetujuinya.

Davey's Ice Cream siang ini tidak terlalu padat. Di dalam kedai es krim kecil itu hanya ada Tadashi dan Robert yang sedang duduk di bar dekat jendela. Pengunjung yang lain mengantre di depan kasir, tetapi tidak berniat untuk menikmati makanan manis itu di dalam ruangan, melainkan membawanya pulang ke rumah.

"Aku serius." Robert mendengkus. "Mengapa urusan percintaan bisa mengalihkan fokusmu dari segala hal? I mean, kau orang paling ambisius yang pernah kukenal."

"Aku tidak hanya merisaukan sikap Evelyn tempo hari lalu. Namun, ucapannya juga sungguh menggangguku."

"Apa yang gadis itu katakan?" tanya Robert sambil menjilat ice cream cone cookies and cream-nya.

"Dia bilang bahwa aku tidak bersungguh-sungguh mendaftar ke Yale University untuk mempelajari ilmu Hukum."

"Lalu?"

"Aku ingin marah ketika ia mengatakan itu, sungguh!" ucap Tadashi dengan nada tinggi. "Tapi aku tidak bisa berkata apa-apa untuk membela diriku sendiri. Setelah dipikir-pikir, Evelyn benar. Jurusan Hukum dan Yale University bukan sesuatu yang benar-benar kuinginkan."

"Yeah. Kau mendaftar program beasiswa itu karena Evelyn, 'kan? Lalu, apa yang sebenarnya kau inginkan?"

"Dan yang lebih menyebalkannya lagi, aku tidak tahu apa yang sebenarnya kuinginkan. Apa yang harus kulakukan dalam hidupku?" Tadashi mengerang frustrasi sambil mengacak-acak rambutnya.

Pintu kedai terbuka, terdengar bunyi lonceng yang cukup nyaring. Seorang pemuda berambut pirang dengan hoodie berwarna merah maroon masuk ke dalam ruangan dan mengantre di depan kasir. Tadashi dan Robert tidak menghiraukan hal itu, masih fokus pada topik obrolan.

"Bagaimana dengan Harvard, Stanford, atau MIT?" tanya Robert.

Tanpa mereka sadari, pemuda dengan hoodie maroon itu menoleh ke arah mereka. Kemudian, ia kembali menaruh atensinya pada menu di depan kasir.

"Yeah, aku memang ingin berkuliah di sana, tetapi bagaimana dengan jurusannya?"

"Kurasa kau harus memulai dari awal. Kau harus tahu apa minat dan bakatmu terlebih dahulu." Robert menjilat es krimnya. "Sebaiknya kau mengunjungi guru konseling besok. Mungkin beliau bisa membantumu."

Setelah menerima pesanannya, pemuda dengan hoodie maroon itu berjalan menghampiri Tadashi dan Robert. Ketika merasakan kehadiran seseorang di dekat meja bar, keduanya menoleh.

"Hai, aku tidak bermaksud menguping, tapi aku tidak sengaja mendengar percakapan kalian tadi," ujar pemuda itu.

Robert meneliti pemuda berambut pirang itu dari ujung kepala hingga ujung kaki. Usianya mungkin sekitar dua puluh tahun. Gayanya cukup kasual, senyumnya hangat dan bersahabat. Ditambah lagi, ada satu hal yang menarik perhatian Robert; hoodie maroon yang dikenakan pemuda itu bertuliskan 'Harvard University', lengkap dengan logonya.

"Wow, kau mahasiswa Harvard?" tanya Robert tanpa basa-basi. Senyumnya merekah.

"Sebenarnya aku baru lulus tahun kemarin. Kebetulan sekali setelah lulus, aku langsung mendapatkan pekerjaan di New York. Ah, aku sampai lupa memperkenalkan diri. Noah Robinson, tapi kalian bisa memanggilku Noah," ucap pemuda asing itu sambil mengulurkan tangan.

"Robert." Pemuda itu menyambut uluran tangan Noah dengan percaya diri.

Setelah itu Noah mengulurkan tangannya pada Tadashi. Pemuda berambut sewarna langit malam itu turut menjabat tangannya. "Tadashi," ucapnya, sedikit kikuk.

Noah mengambil posisi untuk duduk di bar, sejajar dengan Tadashi dan Robert, tetapi pemuda berambut pirang itu masih tetap menjaga jarak, mengingat kedua remaja di hadapannya adalah orang yang baru pertama kali ditemuinya. Ia meletakkan cup es krim cokelatnya di meja bar.

"How's Harvard?" Robert membuka percakapan.

Noah mendengkus. "Tidak sesuai ekspektasiku dan tidak ada bedanya dengan universitas lain. Namun, kau bisa mendapatkan relasi yang bagus untuk bekerja. Beberapa seniorku bahkan sudah ditawari posisi yang bagus di perusahaan besar, bahkan sebelum lulus."

"Apa jurusan yang kau ambil?" Tadashi bertanya.

"Ilmu Sejarah," jawab Noah singkat. "Yeah, you know, kau mempelajari apa yang terjadi di masa lalu dan apa dampaknya untuk masa sekarang, dan masih banyak lagi hal-hal menarik lainnya."

"Wow, aku tidak pernah bertemu seseorang yang seantusias ini membicarakan tentang sejarah," celetuk Tadashi.

"Pelajaran Sejarah di SMA memang membosankan. Namun di universitas, kau bisa menemukan banyak hal menarik yang tidak pernah kau ketahui sebelumnya," jawab Noah.

"Well, you have my attention." Tadashi menopangkan dagu, bersiap mendengarkan kembali cerita pemuda berambut pirang itu. "Beritahu kami apa yang kau pelajari selama berkuliah."

"Ada satu topik yang sangat menarik perhatianku." Noah mengusap dagunya. "Aku mempelajari seluk beluk suku Indian dan apa yang terjadi pada mereka selama masa penjajahan, sekitar tahun 1900-an."

"Yeah, kami sering mendengar topik soal itu. Masa-masa yang sulit untuk penduduk asli Amerika. Bahkan, sekarang bangsa Eropa yang mendiami Amerika lebih banyak daripada penduduk aslinya sendiri." Tadashi menimpali.

"Ironis sekali. Suku Indian tersingkirkan dari tanah mereka sendiri." Robert turut berkomentar. "Tapi syukurlah keadaan sekarang tidak seperti itu."

"Kau tahu, meskipun tidak banyak artikel ilmiah yang membahasnya, legenda mengatakan bahwa penduduk asli negeri ini melawan kaum penjajah kulit putih dengan cara yang tidak biasa!" ucap Noah.

"What do you mean?" respons Tadashi.

Noah mencondongkan tubuhnya pada dua remaja itu, kemudian berbicara pelan. "Suku Indian melawan penjajah dengan ilmu hitam!"

"You kidding!" seru Tadashi.

"But that's true! Itulah mengapa banyak penjajah kulit putih yang gugur dalam waktu semalam. Tidak ada luka bekas pembantaian dan tidak ada darah di medan pertempuran. Banyak sejarawan bilang, mereka mati secara alami karena usia, tetapi juga tidak sedikit yang menentang teori itu, karena terlalu banyak yang mati 'secara kebetulan' dalam satu malam."

"Kurasa mereka menggunakan semacam racun, atau sejenisnya?" tebak Tadashi. Berbeda dengan pemuda itu, Robert mulai merasa tidak nyaman dengan pembicaraan ini.

Noah menggeleng. "Ilmu hitam yang mereka kuasai jauh lebih hebat dari hanya sekadar racun—"

"Anyways ...." Tidak tahan lagi, Robert memotong cerita Noah. "Bagaimana dengan Harvard itu sendiri? Menurutmu, apa kami harus mencoba mendaftar ke sana? Sama seperti Tadashi, sebenarnya aku pun sedikit tertarik berkuliah di sana."

"Yeah, aku baru saja akan menanyakan hal yang sama!" Tadashi menimpali.

Noah mengedikkan bahu. "Jika ada jurusan yang kau minati di Harvard, mengapa tidak?"

"Apakah relasi di sana benar-benar akan membantuku mendapatkan pekerjaan yang bagus sepertimu?" tanya Tadashi.

Noah tersenyum sambil menepuk bahu Tadashi. "In one condition. Kau harus rela menukar waktu tidurmu untuk bergaul dengan semua orang. Senior, dosen, asisten laboratorium, dan masih banyak lagi. Dan ya, bergaul tidak selalu harus datang ke party tiap akhir pekan. Kau bisa menghadiri science fair atau acara-acara yang bersifat akademik lainnya."

Robert terkekeh sambil menyikut lengan Tadashi. "Kurasa itu hal yang sulit dilakukan untuk introver sepertimu."

"No!" Tadashi berseru. "Demi masa depan yang bagus, aku akan melakukannya!"

Dering ponsel yang cukup nyaring mengalihkan atensi ketiga pemuda itu. Noah mengambil benda pipih dari dalam saku hoodie-nya, kemudian membaca pesan yang tertera di notification bar.

"Ups, ini kolegaku. Sudah waktunya untuk kembali ke kantor," ucap pemuda berambut pirang itu.

"Senang berbincang-bincang denganmu, Noah, terlebih lagi soal Harvard," ujar Tadashi dengan senyum yang merekah.

"Ah, ya, ini kartu namaku." Noah mengambil dompet kulit hitam dari saku celana jeans-nya, kemudian mengeluarkan kertas kecil dengan desain minimalis dan menyerahkannya pada Tadashi. "Kau bisa menghubungiku kalau kau mau membicarakan soal Harvard atau mimpimu—ah, tidak, mimpi kita." Pemuda itu mengedipkan salah satu matanya.

"Mimpi ... kita?" Tadashi bergumam.

"Gotta go. Bye, guys!" Noah beranjak, kemudian mengambil cup es krim cokelatnya dan berlalu meninggalkan keduanya. Terdengar bunyi lonceng ketika pemuda berambut pirang itu keluar dari dalam kedai dan berjalan di trotoar.

Dari balik kaca kedai, Robert menatap punggung Noah yang kian mengecil, hingga menghilang di antara kerumunan manusia. Entah mengapa, intuisinya merasakan ada sesuatu yang aneh dengan pemuda itu.

"Apa kau merasa ada sesuatu yang aneh pada pemuda Harvard bernama Noah itu?" tanyanya pada Tadashi.

Tadashi menggeleng. "What do you mean?"

"Ia membicarakan soal pembantaian dan ilmu hitam pada dua murid SMA yang tidak dikenalnya, dan senyumnya, entahlah, aku merasa ada yang ganjil dengan itu," ucap Robert pelan.

"Itu karena aku bertanya apa yang ia pelajari di Harvard, 'kan? Itulah mengapa ia menceritakan soal suku Indian dan perang yang mereka lakukan di masa lalu."

"Kau benar, mungkin aku berpikir terlalu jauh," lirih Robert. Sejurus kemudian, ia tersenyum dan menepuk punggung Tadashi. "Baiklah, lupakan saja soal itu. Nikmatilah es krimmu dan jam-jam membolos terakhir kita!"

"Yeah. Es krimmu bahkan sudah meleleh." Tadashi menimpali.

"Oh, right!" Dengan segera Robert menjilat ice cream yang sudah mencair dan menetes ke cone yang dipegangnya. "Ke mana tujuan kita setelah ini?"

"Perpustakaan?" ucap Tadashi polos.

"Boooring!" keluh Robert.

"Kau bilang ingin lebih serius soal pendidikanmu, 'kan? Ini waktu yang tepat untuk mencari-cari buku tentang bisnis!"

"Yeah, tapi kita sedang membolos. Apa kau tidak punya ide lain? Kita bisa melakukan hal seperti itu kapan-kapan!"

"Ke rumahmu?" Tadashi memberi saran. "Kita pulang saat jam sekolah berakhir, jadi kedua orang tuamu tidak akan tahu kalau kita membolos."

"Lalu?"

"Bermain video game?"

Robert mengangguk setuju. "Yeah, itu ide yang bagus. Bermain Playstation 5 sendirian itu sungguh membosankan. Akan menyenangkan jika kau ikut bermain bersamaku. Tapi sebelum itu, bagaimana jika kita mengunjungi video game store? Ada beberapa kaset game yang ingin kubeli."

Tadashi mengernyit. "Bukankah kaset-kaset game-mu sudah menumpuk?"

"Yeah tapi ... ketika sudah berkuliah, kita tidak bisa bermain game lagi, 'kan? Jadi sebaiknya kita bermain sepuasnya sebelum lulus."

"Kau benar." Tadashi menyeringai. "I'm in. Tunggu sampai aku mengalahkanmu!"

Robert balas menyeringai. "That won't happen."

Tadashi tertawa kecil sambil mengangkat tangannya, sedangkan Robert merespons dengan melakukan high five. Keduanya kembali bercakap-cakap di Davey's Ice Cream hingga jam sekolah berakhir, kemudian berkendara menuju video game store.

Dukung Dream Walker dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟

17 Mei 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top