8 | Orange Chicken [Part 2]

Pukul sepuluh malam kurang lima belas menit, Tadashi kembali ke tempat itu. Ketika membuka pintu, terdengar bunyi lonceng yang mengalihkan seluruh atensi pegawai restoran.

"Mohon maaf, Tuan, kami akan segera tutup." Tadashi tidak mengindahkan ucapan salah satu pegawai restoran. Pandangannya masih menyisir tempat itu untuk mencari gadis yang ingin ditemuinya.

Pada akhirnya, di salah satu meja, ia menangkap presensi Evelyn. Gadis itu terlihat sedang mengelap permukaan meja, lengkap dengan celemek dan seragam karyawan berwarna merah-hitam. Pandangan kedua remaja itu bertemu.

"Aku ingin memesan sesuatu, jika masih diperbolehkan," ucap Tadashi pada Evelyn.

Gadis berambut hitam sebahu itu bergeming. Namun, dirinya paham bila Tadashi berniat melakukan hal lain selain memesan makanan. Sebenarnya, ia masih malas untuk bertemu dengan pemuda yang diam-diam berusaha mencuri kesempatannya untuk berkuliah di Yale University itu, tetapi ia tidak ingin membuat keributan di dalam restoran. Dengan sangat terpaksa, ia mengangguk, kemudian menoleh ke arah pegawainya yang lain. "It's okay, I got this. Kalian bisa pulang duluan nanti," ucapnya.

Beberapa pegawai yang ada di dalam restoran saling pandang, sama-sama memiliki tanda tanya besar di kepala mereka. Namun, pada akhirnya mereka mengangguk, membiarkan gadis itu mengatasinya sendiri. Evelyn mengambil buku menu di meja kasir, kemudian membawa Tadashi untuk duduk di salah satu meja yang telah dirapikan. Di dalam restoran, kini hanya tersisa satu pengunjung pria yang masih menikmati makanan penutup, ditambah Tadashi yang baru saja datang.

Tanpa melihat menu terlebih dahulu, Tadashi sudah mantap dengan pilihannya. "Orange chicken. Dua porsi."

"Minumannya?" tanya Evelyn sambil menekan tablet kecil yang dibawanya, menginput menu yang dipesan pemuda itu.

"Teh krisan."

"Dibawa pulang?" tanya gadis itu lagi tanpa memalingkan pandangan dari layar.

"Tidak, aku ingin memakannya langsung di restoran," jawabnya.

Mendengarnya, Evelyn melirik pemuda itu sambil mengernyit. Apakah Tadashi sedang berusaha untuk mengerjainya?

"Ah, ya, dan aku ingin kau yang mengantar makanannya ke sini," pinta Tadashi.

Gadis berambut hitam dengan highlight biru itu memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam, berusaha untuk meredam rasa kesalnya. Sekali lagi, ia tidak ingin pemilik restoran memecatnya karena membentak salah satu pelanggan. "Dua mangkuk orange chicken dan dua cangkir teh krisan. Silakan menunggu sepuluh hingga lima belas menit." Pada akhirnya, hanya itulah kalimat yang terucap dari bibir Evelyn. Gadis cantik itu berbalik badan dan kembali ke dapur.

Selama koki memproses pesanannya, Tadashi duduk sendirian di tempatnya sekarang. Pelanggan yang berada di meja lain kini telah selesai dengan makan malamnya. Pria itu beranjak, membiarkan piring sisa makan malamnya di meja, kemudian pergi meninggalkan restoran. Salah satu pegawai wanita mengambil piring kotor itu, kemudian melakukan sterilisasi terhadap meja yang baru saja ditinggalkan.

Keheningan meliputi tempat itu. Karena sudah waktunya untuk tutup, karyawan bagian operator mematikan musik yang diputar di pengeras suara. Papan tanda 'open' di pintu restoran juga telah berganti menjadi 'closed'.

Pada akhirnya, pintu dapur terbuka. Di sana, Tadashi menangkap presensi Evelyn yang sedang berjalan menuju mejanya, lengkap dengan dua mangkuk orange chicken dan dua cangkir teh krisan di atas nampan yang dibawanya. Gadis itu meletakkan pesanan pelanggannya di atas meja.

"Silakan menikmati," ucapnya.

"Aku memesan salah satunya untukmu. Aku tahu kau belum sempat makan malam," ucap Tadashi. Dan ya, tebakan pemuda itu benar. Sejak tadi, koloni cacing di perut Evelyn berdemo meminta makan.

Gadis itu bergeming sesaat. Pada akhirnya, ia memilih untuk menyingkirkan egonya, hanya untuk malam ini saja. Evelyn duduk di hadapan Tadashi, meniup teh krisan miliknya, kemudian meneguknya perlahan.

"Aku baru tahu kau bekerja sambilan di sini." Tadashi membuka percakapan sambil menyuap orange chicken dan nasi.

"Why are you here, Tadashi?" Evelyn bertanya tanpa basa-basi.

"Untuk menikmati masakan Tiongkok favoritmu," jawabnya.

"There are so many orange chickens in New York, then why are you choose this place?" Evelyn mengulang pertanyaannya. "Lagi pula, dari mana kau tahu apa makanan favoritku dan di mana tempatku bekerja sambilan?"

"Itu tidak penting, Ev," jawab pemuda itu, masih menikmati masakan Tiongkok di hadapannya dengan santai.

Evelyn bergeming. Waktu telah menunjukkan pukul sepuluh lewat lima belas menit, seluruh pegawai restoran yang sudah berganti pakaian berjalan menuju pintu keluar untuk pulang. Kini, di dalam restoran hanya ada dua remaja itu. Keheningan panjang meliputi mereka. Hanya terdengar suara dentingan alat-alat makan yang beradu dengan mangkuk.

"Tempat ini bagus. Aku mengerti mengapa kau memilih untuk bekerja di restoran ini," Tadashi mencoba mencari topik obrolan lain.

"Aku bekerja sambilan bukan karena ingin, tetapi karena harus," jawab Evelyn sambil meneguk teh krisannya. "Aku bukan remaja dengan hak istimewa sepertimu."

"Ev," ucap Tadashi serius. "Bisakah kau berhenti merendahkan dirimu sendiri dan bersikap sinis padaku?"

"Tapi memang begitu keadaannya," respons Evelyn cepat. "Aku terpaksa menyewa apartemen kecil di pinggiran kota dan tinggal sendirian di sana, maka karena itu bekerja sambilan adalah sesuatu yang terpaksa kulakukan."

Sesaat, Tadashi ingin menanyakan ke mana kedua orang tua gadis itu. Namun, ia mengurungkan niatnya ketika mengingat mimpi buruknya tempo hari lalu. Kemungkinan besar, orang dewasa yang sedang bertengkar hebat itu adalah kedua orang tua Evelyn. Membahas topik sensitif seperti itu adalah ide yang buruk. Evelyn bisa saja mengusirnya dari restoran saat ini juga.

"Kau bisa bayangkan betapa kerasnya usahaku untuk bertahan hidup? Bersekolah sambil bekerja untuk menghasilkan uang? Beasiswa Yale University adalah satu-satunya kesempatan untukku," terang Evelyn.

Ah, akhirnya Tadashi mendapatkan sedikit pencerahan mengapa Evelyn semarah itu padanya. Pemuda itu bungkam, membiarkan gadis itu untuk melanjutkan ucapannya.

"Program beasiswa Yale University tidak membebankan biaya pendidikan satu sen pun bagi siapa pun calon mahasiswa yang terpilih. Aku tidak ingin mendaftar jalur reguler, karena aku tidak punya uang sebanyak itu untuk membayar biaya pendidikannya. Jika aku tidak lolos program beasiswa, aku lebih memilih untuk tidak berkuliah."

"Kau ... benar-benar ingin berkuliah di Yale Law School?" lirih Tadashi.

"I'm done with New York," ucap Evelyn, kemudian gadis itu mengepalkan tangannya kuat-kuat. Terdapat sedikit kemarahan dari nada bicaranya. "Aku membenci tempat yang kusebut 'rumah'. Setelah lulus SMA, aku ingin pergi dari kota ini. Namun, setelah kuhitung-hitung kembali, baik secara kemampuan dan secara finansial, aku tidak bisa pergi terlalu jauh. Hanya Yale University satu-satunya kampus yang dapat kupertimbangkan."

Mendengarnya, seakan ribuan anak panah menghunjam dada Tadashi. Padahal, ia hanya ingin menjadi lebih dekat dengan pujaan hatinya. Namun, keputusan bodohnya malah menambah beban yang diderita gadis itu. Pemuda itu menggeleng perlahan. "I'm sorry, Ev. Aku tidak tahu soal itu," lirihnya, "Aku tidak bermaksud untuk membuatmu marah."

"Aku kecewa padamu, Tadashi, benar-benar kecewa," ucap gadis berambut hitam pendek itu dengan penuh penekanan. "Mengapa kau harus menggali informasi tentang beasiswa itu melalui obrolan kita tempo hari lalu dan turut mendaftar? Tidak bisakah kau mendaftar lewat jalur reguler saja?"

"I'm sorry. Aku sudah telanjur mengirimkan berkas dan formulir pendaftarannya," ucap Tadashi pelan. Pemuda itu kembali dirundung rasa bersalah.

Evelyn tertawa getir, kemudian duduk bersandar di kursi sambil melipat tangan di dada. "Bodohnya aku. Seharusnya aku tidak senaif itu untuk memercayaimu."

"Ev, listen to me. Aku tidak bermaksud menyingkirkanmu di program beasiswa itu."

"Lalu, mengapa kau ikut-ikutan mendaftar? Aku yakin kau sama sekali tidak berminat mempelajari Ilmu Hukum."

Tadashi bergeming, dibuat skak mat oleh pertanyaan gadis itu. Dirinya memutar otak, mencari jawaban yang masuk akal untuk dijadikan alasan. Tidak mungkin jika ia berkata jujur tentang perasaannya pada Evelyn.

"Tidak bisa menjawab? Mengecewakan." Evelyn mendengkus. Gadis itu beranjak, kemudian meletakkan piring dan cangkir kosong di atas nampan. "It's getting late. Go home, Tadashi."

"Ev—"

"Dan terima kasih untuk orange chicken-nya. Kau boleh membayar bagianmu saja besok di sekolah." Gadis itu menambahkan. Meskipun terdengar dingin, tetapi Evelyn mengucapkannya dengan tulus.

Baru saja Tadashi akan menjawab, Evelyn sudah memutar tubuhnya dan pergi meninggalkan meja. Mangkuk dan cangkir sisa makan malam tadi juga sudah dibawa untuk dibersihkan. Pemuda bermata sipit itu menatap punggung gadis pujaannya hingga menghilang di balik pintu dapur. Dengan perasaan kecewa, Tadashi memilih untuk pulang.

Dukung Dream Walker dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟

13 Mei 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top