65 | Sunrise [END]

Setahun kemudian, hari pertama liburan musim panas

Tadashi bangun pagi-pagi sekali, bahkan sebelum alarm di ponselnya menyala. Pemuda bermata sipit itu menuruni tangga ranjang bertingkat, lalu membuka tirai kamar asramanya. Sinar matahari pagi menerobos masuk ke dalam ruangan. Seorang pemuda bertubuh gempal dengan rambut ikal yang sedang berbaring di ranjang bawah mengerang, kemudian berbalik menghadap tembok bercat putih dan menarik selimut.

"Reyes, tutup kembali tirainya!" protes pemuda itu.

Tadashi menoleh, kemudian terkekeh. "Ayolah, Baker! Sekarang hari pertama liburan musim panas! Kau tidak bersiap untuk pulang?"

"Aku belum memutuskan mau pulang ke rumah ibuku atau apartemen ayahku," jawab teman sekamar Tadashi cuek.

"Pulang saja ke tempat di mana kau bisa makan enak."

Pemuda dengan nama belakang Baker itu berbalik badan menghadap Tadashi, kemudian terbahak. "Kau benar-benar genius!"

Tadashi mengambil handuk yang tergantung di besi ranjangnya. "Aku akan mandi dan bersiap pulang ke New York bersama pacarku. Pastikan kau mengunci pintu kamar jika kau ingin kembali ke rumah ibumu!"

Pemuda gempal itu kembali menarik selimut dan menjawab malas. "Yeaaah ... whatever."

*****

Satu jam kemudian, Tadashi sudah berdiam di seberang apartemen Evelyn, duduk di bangku pengemudi mobilnya. Setelah lulus SMA, Evelyn dan sang ibu memutuskan untuk tinggal di New Haven, sehingga gadis itu tidak perlu menetap di asrama khusus mahasiswa Yale seperti Tadashi.

Pemuda itu menoleh pada bangunan bertingkat di seberang jalan. Pintu apartemen belum terbuka dan Evelyn tidak kunjung terlihat batang hidungnya. Tadashi sudah mengiriminya pesan beberapa saat lalu, tetapi gadis itu tidak kunjung menjawab. Terakhir kali, gadis itu mengatakan bahwa dirinya baru saja terbangun dan akan bersiap-siap terlebih dulu. Karena bosan, Tadashi menopang siku pada kaca jendela mobil, lalu menggulir Instagram untuk membunuh waktu.

"Tidak mungkin ia masih mandi, kan?" Tadashi bermonolog.

"Mungkin ia sedang mencatok rambutnya."

Tadashi melotot, mendongak ke arah spion pengemudi setelah mendengar suara. Di sana, ia melihat dirinya yang sedang tersenyum, hanya saja rambutnya berwarna keperakan.

"Sudah kubilang untuk tidak tiba-tiba berbicara, 'kan? Kau ingin aku terkena serangan jantung?" keluh Tadashi.

"Ayolah, sudah lebih dari setahun aku selalu berada di sisimu, dan kau masih belum terbiasa?" cibir Takeshi dalam pantulan kaca.

"Kau sempat menghilang delapan bulan setelah Wendigo itu tewas, lalu tiba-tiba kau muncul di cermin kamar mandi asramaku dan mengatakan 'halo'. Kita sudah sepakat soal 'menampakkan diri tiba-tiba ketika aku sedang sendirian'!"

"Oh, kukira tadi kau berbicara padaku," ujar Takeshi polos. Tadashi mendengkus karena jengkel, kemudian memutar bola mata.

Hening untuk sementara ketika Tadashi memalingkan pandangan dan kembali menggulir media sosial. Masih belum ada pesan masuk dari Evelyn di notification bar. Meskipun diabaikan, Takeshi masih menampakkan dirinya di kaca spion tanpa merasa lelah sedikit pun.

"Sebagai perwujudan dari esperku, kau tidak mau memberitahuku seperti apa kemampuanku?" Pada akhirnya, Tadashi membuka percakapan kembali, meskipun pandangannya tetap tertuju pada ponsel.

"Bagaimana kau mengetahui bahwa dirimu adalah dream walker?" Takeshi balik bertanya.

Tadashi mencebik sambil mengedikkan bahu. "Aku tidak ingat apa-apa ketika kecil, karena ibuku menghapus memoriku. Yang kutahu, tiba-tiba aku bermimpi, tetapi itu bukan mimpiku sendiri. Ketika pemuda bernama Noah mendatangiku dan mencoba menipuku, barulah aku tahu kalau aku adalah seorang dream walker."

"Kalau begitu, kau akan mengetahu hal itu dengan sendirinya."

Tidak sabar, Tadashi melirik kembarannya di kaca spion. "Mengapa kau tidak memberitahuku sekarang saja?"

Sebelum Takeshi menjawab, terdengar ketukan dari arah kaca jendela penumpang depan. Tadashi menoleh, melihat Evelyn sudah berada di samping mobilnya. Gadis itu mengenakan kaus hitam dengan jaket jeans, juga celana berwarna gelap. Ia menggendong ransel besar, tangan kanannya sibuk membawa power bank yang terhubung dengan ponsel. Gadis itu kemudian menunjuk ke arah belakang mobil.

Tadashi paham dengan kode tersebut. Ia menekan sebuah tombol yang digantung bersama kunci mobilnya, dan pintu bagasi pun terbuka. Evelyn dengan segera menyimpan ransel besarnya di dalam sana. Kemudian, gadis itu membuka pintu penumpang depan dan duduk di jok yang cukup empuk.

Evelyn meletakkan ponsel dan power bank-nya di atas dashboard, kemudian mengenakan sabuk pengaman. Gadis itu menyibak rambut hitam sebahunya ke belakang bahu, kemudian menoleh pada Tadashi. "Maaf, aku lupa mengisi daya ponselku. Ponselku mati sesaat setelah aku membalas pesanmu pagi tadi."

"It's okay." Tadashi meraih pipi Evelyn dan mengelusnya lembut, kemudian menarik gadis itu mendekat. Pemuda itu mencondongkan tubuh, mengecup cepat bibir Evelyn. Setelahnya, mereka berdua saling bertukar senyum. "Selamat hari pertama liburan musim panas!" ucap Tadashi.

"Selamat hari pertama bermalas-malasan juga!" jawab Evelyn ceria. Gadis itu mengecup bibir Tadashi sekali lagi, kemudian mengedarkan pandangan ke arah kaca jendela dan spion depan. "Di mana Takeshi? Aku ingin menyapanya juga."

"He's here." Tadashi mengarahkan kaca spion samping pada Evelyn. Namun, pemuda itu kini hanya melihat dirinya yang berambut hitam. Semua gerakannya di pantulan cermin pun sama sepertinya. "Em ... kurasa ia pergi entah ke mana."

Evelyn tersenyum simpul sambil mengedikkan bahu. "Tidak apa-apa, nanti juga ia akan muncul dengan sendirinya."

Tidak ingin membuang waktu di perjalanan, Tadashi segera menyalakan mesin mobil dan mulai berkendara menuju New York. Melalui jalan tol, perjalanan hanya memakan waktu sekitar satu setengah jam. Tadashi sesekali melirik spion, tetapi Takeshi sudah lenyap dari pandangannya.

Sejak kembalinya Takeshi, pada awalnya Tadashi enggan untuk memberitahu orang-orang sekitarnya, termasuk Evelyn. Namun, ia merasa tidak boleh menyimpan rahasia sepenting itu. Tadashi awalnya berspekulasi bahwa Evelyn akan kesulitan menerima Takeshi sebagai perwujudan esper dari dirinya, berhubung dulu gadis itu sempat ragu untuk menerima Tadashi sebagai dream walker. Namun di luar dugaan, gadis itu dapat menerima Takeshi dengan baik. Sejauh ini, Tadashi tidak merasakan ada yang aneh dalam dirinya. Kemampuan espernya belum juga terlihat. Hal itu tidak menjadi masalah karena hari-harinya kini tidak diwarnai oleh hal-hal magis yang mengganggu.

Lima belas menit setelah mulai berkendara, Tadashi meminta Evelyn untuk menghubungi sang ibu melalui video call. Pemuda itu memang sudah memberitahu kedua orang tuanya bahwa ia akan pulang di hari pertama musim panas. Namun, tetap saja Tadashi merasa harus mengabari mereka lagi. Setelah dering yang ketiga, wanita itu menjawab. Di layar ponsel terlihat Kagumi yang tersenyum penuh kerinduan. Di sebelahnya, hadir pula Andrian dengan wajah tidak sabarnya. Keduanya masih mengenakan pakaian rumahan.

"Hi, Mom, Dad," sapa Tadashi ketika Evelyn mengarahkan ponsel pada pemuda itu. Tadashi bergantian melirik jalanan dan layar. "Aku dan Evelyn sedang dalam perjalanan menuju New York."

"Evelyn ikut bersamamu?" tanya Andrian bersemangat.

Evelyn mengarahkan ponsel pada dirinya sendiri, kemudian melambaikan tangan pada pasutri di layar. Gadis itu tersenyum. "Halo, Andrian, Kagumi!"

Selama satu menit ke depan, Kagumi dan Andrian begitu antusias mengobrol dengan Evelyn. Tadashi yang ingin bergabung dengan obrolan, menjulurkan kepala untuk melihat layar, membuat Evelyn harus kembali mengarahkan layar pada pemuda itu. Gadis itu kemudian berbisik, "Hei! Fokus saja pada jalanan!"

"Sorry," cicit Tadashi. Ia melirik ayah dan ibunya sebentar, kemudian kembali fokus pada jalan tol di hadapannya. "Kami akan menemui Robert dan Noah terlebih dahulu, jadi kami akan pulang sedikit terlambat."

"Sebaiknya kalian sampai sebelum matahari terbenam, karena kalian harus membantuku menyiapkan makan malam!" ujar Kagumi.

"Dan jangan lupa dengan es krim chocolate mint sebagai makanan penutup. Aku baru saja membelinya kemarin. Jika kau terlambat, kami akan menghabiskannya sendiri!" seru Andrian.

Mendengar sang ayah menyebutkan dessert favoritnya, tentu Tadashi menyanggupi. Setelah sepuluh menit berbincang-bincang dengan kedua orang tuanya, mobil yang mereka kendarai kembali hening. Evelyn merasa bosan menatap mobil-mobil yang melintasi jalanan bebas hambatan di sekitarnya. Maka, dirinya memutuskan untuk menyalakan radio dan mengubah-ubah frekuensinya sampai menemukan lagu yang mungkin disukainya. Di salah satu frekuensi radio, Evelyn sekilas mendengar siaran berita ekonomi.

"... Saham salah satu perusahaan teknologi terbesar di Amerika Serikat, Stellar Inc., terus mengalami penurunan setelah sang CEO, Theo Wilder ...."

Evelyn lagi-lagi mengubah frekuensi radio hingga menemukan stasiun yang memutar lagu Somebody That I Used to Know dari Gotye. Dengan segera Tadashi menarik tangan Evelyn dari tombol-tombol radio.

"Nooo! Ini lagu favoritku!" seru Tadashi.

"Relaaax, Tadashi. Kau bisa memutar lagu ini berulang-ulang di Spotify!"

"Tapi rasanya berbeda ketika kau menemukan lagunya di radio." Sambil mengarahkan kemudi dengan kedua tangan, Tadashi menggerakan kepala seirama dengan irama musik. Jemarinya mengetuk-ngetuk kemudi. "But you didn't have to cut me off ...."

"Make out like it never happened and that–mengapa aku ikut menyanyikan lagu bodoh ini?" Dengan segera Evelyn meraih tombol radio, tetapi Tadashi menampar punggung tangan gadis itu.

"Hei!" protes Evelyn.

"This is my sooong!" seru Tadashi. Pemuda itu menggerak-gerakan kepalanya, persis seperti boneka pajangan berwujud gadis Hawaii di atas dashboard yang kepala dan tubuhnya dihubungkan dengan per. "Now you're just somebody that I used to know ...."

Evelyn mendengkus, memutar bola mata, kemudian memalingkan pandangan dari Tadashi. Ia menopang dagu sambil melihat jalanan di luar jendela. Selama dua menit ke depan, Evelyn terpaksa harus mendengarkan suara sumbang kekasihnya. Meskipun jengkel, gadis itu tidak memiliki tenaga untuk marah.

Di antara nyanyian, Tadashi mengingat hal penting yang nyaris saja ia lupakan. Pemuda itu berseru, "Hei, hei, Ev!"

"What?" tanya Evelyn ketus, masih memandangi mobil-mobil yang melintasi jalan tol.

Tadashi mengambil ponselnya dari atas dashboard dan mencolek lengan Evelyn, kemudian menyerahkan benda elektronik pipih itu. "Bisakah kau kabari Noah dan Robert untuk bertemu di restoran sekitar jam dua siang?"

Evelyn menerima ponsel tersebut sambil mengernyit. "Bukankah kita akan bertemu mereka sebelum makan siang?"

Tadashi melihat pertigaan Y di hadapan mereka. Rambu di sebelah kiri menunjukkan bahwa Kota New York dapat ditempuh dengan melewati jalan tersebut. "Aku takut kita tidak bisa sampai tepat waktu." Setelah mengatakannya, tiba-tiba Tadashi membelokkan kemudi ke kanan.

Mobil yang dikendarai Tadashi tidak mengarah ke Kota New York. Evelyn tidak sempat membaca ke mana rambu di sebelah kanan akan membawa mereka. Ia menoleh ke jalanan di belakangnya. Rambu-rambu tersebut menjauh dari mereka dan semakin sulit dibaca. "Tadashi, kau salah jalan!" ujarnya.

"Tidak, ini jalan yang benar." Tadashi tersenyum tanpa memalingkan pandangan dari jalanan. "Kita akan mengunjungi seseorang terlebih dahulu. Dan beritahu aku jika kita melewati toko bunga."

*****

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih satu setengah jam, keduanya sampai di sebuah lahan yang cukup luas. Tadashi memarkirkan mobil di depan pagar dan masuk melalui pintu gerbang yang besinya telah berkarat. Evelyn mengikutinya di belakang dengan karangan bunga di tangannya. Keduanya menggerakan tungkai mengikuti jalan setapak, melewati bebatuan nisan yang berjejer di kanan kiri mereka.

Gadis itu mengedarkan pandangan, melihat pepohonan berdaun jarang yang berjarak cukup jauh satu sama lain. Rumput liar yang masih hijau cukup sulit ditemui. Di bawah kaki mereka, banyak berserakan dedaunan kuning kecokelatan yang telah mengering, begitu pula ranting-ranting yang telah patah. Melihat ke sudut mana pun, tidak ada yang mengunjungi makam selain dirinya dan Tadashi.

Tadashi kemudian berbelok untuk keluar dari jalan setapak. Keduanya berjalan sambil memindai satu per satu nisan yang berbaris di hadapan mereka, hingga Tadashi menemukan nama yang begitu familier terukir di salah satunya. Pemuda bermata sipit itu berhenti, kemudian berjongkok untuk menyingkirkan dedaunan kering yang berserakan di sekitar. Setelahnya, Tadashi menyingkirkan tanah dan debu yang menutupi ukiran di nisan tersebut hingga ia dapat membacanya dengan jelas. Jemarinya merasakan tekstur halus batu berwarna abu muda di hadapannya.

DAKOTA H. CAMPBELL
Beloved father, grandfather, and brother

Evelyn menyerahkan seikat bunga lily putih pada Tadashi yang sedang berjongkok. Kemudian gadis berambut hitam itu merunduk, menepuk pucuk kepala Tadashi dan berucap lirih, "Aku akan memberimu sedikit privasi."

Tadashi mendongak, kemudian mengangguk. Setelahnya, Evelyn berbalik dan berlalu pergi. Semakin lama, punggungnya terlihat semakin mengecil, hingga akhirnya menghilang di balik pepohonan dan tidak terlihat lagi keberadaannya.

Tadashi kembali menoleh pada nisan kakeknya. Tanpa sadar, pandangannya berkaca-kaca. Tadashi menarik napas dalam-dalam, kemudian mengembuskannya sambil tersenyum. Kerinduan yang begitu besar membuncah di hatinya. Tadashi telah menantikan momen ini sepanjang tahun. Pada akhirnya hari ini pun tiba, dimana ia dan kakeknya tidak lagi terpisahkan oleh jarak.

"Grandpa, it's me." Tadashi meletakkan seikat lily putih di depan nisan. "Sesuai janjiku, aku akan mengunjungimu setiap musim panas, dan mungkin aku akan mengunjungimu lebih sering lagi di masa depan."

Tadashi mendaratkan bokongnya di atas tanah, lalu menekuk lutut dan memeluk kedua kakinya. Ia perlu mengubah posisi duduk senyaman mungkin karena begitu banyaknya hal yang ingin dirinya ceritakan pada Dakota. "Hari ini aku pulang ke New York. Aku begitu merindukan Mom dan Dad, sama sepertimu. Aku juga merindukan Robert! Bersama Noah, mungkin kami akan mengunjungi Akando dan anggota suku lainnya. Kele bilang, jika aku mengunjunginya lagi, ia akan mengajariku cara menggunakan tomahawk! I'm sooo excited!" seru Tadashi ceria. Semangatnya begitu meluap-luap hingga ia lupa bahwa dirinya kini sedang berbicara satu arah dengan sang kakek. Namun, pemuda itu tidak merasa sedih ataupun canggung, seolah sang kakek benar-benar ada di hadapannya.

"Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku begitu mencintai apa yang kulakukan di Yale. Memang tidak mudah, tetapi itu bukan masalah jika aku menikmatinya, 'kan?" Tadashi mendongak, melihat dedaunan di pohon yang menari-nari tertiup angin. "Aku tertarik mempelajari desain grafis, tetapi ketika mengenal banyak alumni dan senior, rupanya mempelajari fotografi juga menyenangkan." Pemuda itu kemudian menoleh kembali pada nisan sang kakek. "Menurut Grandpa, aku harus fokus mempelajari yang mana?"

Tadashi meletakkan dagunya di lutut, kemudian mendesah pelan sambil tersenyum. "Kau tahu? Aku dan Noah kini berteman baik. Ia banyak membantuku soal perkuliahan. Hubunganku dan Evelyn juga baik-baik saja, meskipun terkadang bertengkar karena kesulitan menemukan waktu luang untuk berkencan. Gadis itu begitu sibuk dengan organisasi kampusnya. Rupanya, ia tidak main-main ketika mengatakan ingin mempelajari segalanya tentang hukum. Evelyn begitu serius bahkan sejak ia mengajukan beasiswa ke Yale, dan ... pada awalnya aku merasa tidak percaya diri." Pemuda itu kemudian duduk tegak dengan wajah yang serius. "Namun, Grandpa tidak perlu khawatir karena aku bisa mengatasi rasa rendah diriku."

Ya, tentu Tadashi tidak ingin mengganggu istirahat sang kakek dengan membuatnya khawatir. Maka, ia memutuskan untuk berbagi hal-hal yang menyenangkan saja. Menit demi menit berlalu, matahari perlahan-lahan memanjat naik dan menghasilkan cahaya yang lebih terik. Tidak terasa Tadashi telah mengoceh hampir setengah jam dan ia mulai merasa haus.

Pemuda berambut hitam itu kembali mengukir senyum. Tadashi beranjak dan berdiri tegap di hadapan sang kakek yang sedang tertidur panjang. Angin sepoi-sepoi mengibarkan anak rambut pemuda itu, menerbangkan dedaunan yang berada di bawah kakinya. Tadashi meraih kalung taring serigala yang tergantung di lehernya, kemudian menggenggamnya erat. Ia mendongak, menatap hamparan langit biru yang begitu cerah, seolah-olah memberinya energi ekstra untuk menjalani hari.

Pemuda beretnik asia-kaukasia itu menunduk, menatap nisan Dakota dengan keyakinan penuh. "I just want you to know, bahwa aku baik-baik saja di sini. Kini, aku telah terlahir sebagai Tadashi yang baru. Aku bisa menjadi esper yang kuat seperti Mom, menjadi prajurit yang kuat seperti Indian lainnya, dan aku bisa mewujudkan impianku sebagai seniman. Aku bisa menjadi apa pun yang kuinginkan, dan ini semua berkatmu, Grandpa."

Tadashi berbalik, hendak berlalu pergi, tetapi langkahnya terhenti. Untuk terakhir kalinya, ia menoleh pada nisan Dakota dan tersenyum penuh arti. Kehangatan menjalar di pipinya. Kata demi kata yang mengantre untuk diungkapkan seluruhnya telah keluar dari bibir Tadashi, membuat beban berat yang dipikul di seluruh tubuh seolah-olah menguap begitu saja. Jika memungkinkan, ia ingin berada di tempat ini lebih lama lagi, mencurahkan kerinduannya pada sosok yang begitu berarti untuknya. Namun, hidup terus berputar, dan kedua tungkai Tadashi harus tetap melangkah.

"May we meet again, Grandpa. Somewhere, someday."

Dukung Dream Walker dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟

13 Agustus 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top