62 | The Long Night [Part 9]
Noah yang berada di barisan paling akhir terengah-engah. Kedua tungkainya begitu sigap berlari zig-zag menghindari pepohonan dan semak belukar. Dirinya agak kesulitan melihat akibat minimnya cahaya bulan. Dirinya hanya bisa mengandalkan cahaya dari api kecil di tangannya. Raungan Wendigo terasa semakin kencang setelah terdengar sesuatu yang berjatuhan di kejauhan. Ketika menengok ke belakang, rupanya dinding pembatas yang terbuat dari batang pohon dan sulur tanaman itu telah rusak. Patahan batang pohon berdiameter kecil terjatuh ke tanah. Dalam cahaya api unggun yang kian meredup, Noah dapat melihat sepasang mata merah di antara kegelapan. Wendigo berusaha menembus masuk melewati lubang yang dibuatnya.
"Dinding itu telah hancur!" teriaknya.
Semua yang mendengar mempercepat langkah. Beruntung, hanya beberapa meter lagi mereka akan sampai di lahan kosong tempat di mana pertarungan dimulai. Setelah melewati hutan, pohon sakral tampak menjulang di kejauhan, begitu pula jasad-jasad suku Indian yang tergeletak begitu saja di rumput.
"Larilah ke dekat pohon sakral!" teriak Kagumi.
Wanita itu berhenti tepat di jalan masuk dan berbalik menghadap hutan, sedangkan yang lainnya berlari melewati wanita itu. Setelah Robert dan Noah yang berlari paling akhir melewatinya, Kagumi meletakkan Daitengu yang sudah bisa berdiri untuk bertengger di bahunya.
"Serahkan ini padaku. Beristirahatlah," ujar Kagumi pada sang gagak. Makhluk itu kemudian melompat dari bahu Kagumi dan menukik tajam. Setelah nyaris mencapai tanah, ia mengubah wujudnya menjadi seperti adonan roti yang ditarik, kemudian berubah warna menjadi hitam transparan dan menyatu dengan bayangan Kagumi.
Wanita itu mengangkat kedua tangan dan berkomat-kamit, merapalkan sesuatu yang sulit dimengerti. Asap hitam tipis tercipta dari telapak tangannya, kemudian menyebar membentuk massa padat di hadapannya, menghalangi jalan masuk bagaikan perisai yang sangat besar. Wendigo Alpha yang berhasil melewati dinding pembatas melesat sangat cepat menuju Kagumi, kemudian meraung kesakitan ketika moncong dan tanduknya menabrak dinding yang tercipta dari sihir Kagumi.
Tadashi berbalik, melihat sang ibu yang sedang berusaha keras menahan makhluk itu. Ia menoleh pada Noah dan berteriak, "Bakar jantung itu sebelum perisai ibuku rusak!"
Dengan sigap Noah merebut jantung Wendigo dari tangan Robert dan melemparnya ke tanah. Ia mengarahkan tangannya pada benda itu. Lidah api disemburkan dari telapak tangannya, menghasilkan kobaran yang cukup besar sehingga Robert dan Evelyn harus mundur untuk menghindari hawa panas. Noah berusaha keras untuk berkonsentrasi meskipun suara dentuman dan lolongan Wendigo terdengar berkali-kali di belakangnya.
Terdengar suara retakan. Kagumi menoleh ke kanan, sedikit panik ketika cakar Wendigo nyaris menembus perisai yang dibuatnya. Ia mengarahkan sebagian kemampuannya untuk menambal bagian yang retak.
Evelyn menoleh pada Kagumi dan Noah bergantian. Jaket Robert telah dilahap lidah api secara keseluruhan, tetapi jantung Wendigo masih utuh, seperti kebal terhadap kobaran api.
"I don't understand! Aku sudah membakarnya dengan sihir! Mengapa benda ini tidak meleleh juga?" seru Noah frustrasi.
"Mungkin karena sihirmu adalah anugerah dari Wendigo!" Tadashi merespons.
"Lalu bagaimana cara kita memusnahkan benda ini? Dengan api biasa tidak bisa, dengan apiku pun tidak bisa!" teriak Noah semakin frustrasi.
Evelyn kemudian mendongak pada pohon sakral yang berjarak sekitar lima meter darinya, lalu menoleh kembali pada Kagumi. Tidak jauh darinya, ia melihat benda keperakan berkilau di bawah cahaya bulan, tergeletak begitu saja di rerumputan. Pandangannya kembali pada pohon sakral yang menjulang. Matanya sedikit membelalak ketika memikirkan sesuatu yang cukup brilian.
"Sihir ... yang bukan anugerah dari Wendigo ...," gumamnya, kemudian berseru, "itu dia!" Dengan segera gadis itu berlari ke arah benda berkilauan itu.
Tadashi yang melihat Evelyn melesat pergi berteriak, "Apa yang kau lakukan! Jangan jauh-jauh dari kami!" Namun, Evelyn tidak merespons. Karena kalut, Tadashi turut berlari menyusul gadis itu.
Evelyn berhenti di hadapan katana milik Daitengu yang ditinggalkan di medan perang. Ia merunduk dan mengambil benda itu, lalu menoleh pada Tadashi. "Tadashi, ikuti aku!" teriaknya. Gadis itu berlari kembali ke arah Noah. Menggeram frustrasi, Tadashi berbalik dan berlari di belakang gadis itu.
"Kau! Pengendali api! Minggir!" teriak Evelyn sambil berlari. Noah menoleh. Melihat Evelyn membawa katana dan melesat ke arahnya, refleks ia mundur dan menghentikan lidah api yang keluar dari telapaknya. Dengan keyakinan penuh, Evelyn menghunuskan senjata tajam tersebut pada jantung Wendigo.
Terdengar bunyi dentuman, disusul oleh suara pecahan kaca di kejauhan. Perisai yang dibuat Kagumi telah hancur berkeping-keping. Wanita itu terdorong dan jatuh terjungkal ke belakang. Melihat cakar dan puluhan taring tajam yang terarah padanya, dengan sigap wanita itu menyilangkan tangannya yang terkepal seperti huruf X, lalu membuat perisai yang lebih kecil hanya untuk melindungi diri.
"No! Mom!" teriak Tadashi. Refleks, ia mengarahkan kedua tangan pada Wendigo dan kembali memanggil petir.
Karena kalut, petir yang Tadashi panggil meleset sekitar setengah meter dari makhluk itu. Gemuruh memekakkan telinga. Wendigo melompat melangkahi Kagumi yang telah siap dengan perisainya, kemudian berlari cukup gesit menuju Tadashi.
Sekuat tenaga, Kagumi berguling, kemudian berusaha bangun. Namun, Kagumi telah mengarahkan seluruh kekuatannya untuk membuat perisai dan ia membutuhkan sedikit waktu untuk memulihkan diri. Wanita itu berteriak pada Tadashi. "Makhluk itu tidak peduli pada apa pun kecuali jantungnya!" Kemudian, dirinya kembali membaringkan diri di atas rumput sambil memegang dadanya yang terasa sesak. Perlahan, wanita itu mencoba mengatur napas. Rasa lelah yang luar biasa meliputinya, seperti baru saja berlari mengelilingi Queens Forest Park yang memiliki luas 218 hektare tanpa jeda.
Mendengar ucapan sang ibu, Tadashi membelalak. Rupanya, itulah alasan mengapa Wendigo tidak menyakiti sang ibu meskipun perisainya telah hancur. Ia menoleh pada Evelyn di belakangnya. Makhluk itu tidak menginginkannya. Justru, gadis itu yang kini menjadi targetnya.
Tanpa mengucapkan apa-apa lagi, Evelyn membawa katana dengan jantung Wendigo dan berlari menuju pohon sakral.
"Apa yang akan kau lakukan dengan jantung itu?" teriak Noah.
"Ikuti saja aku dan siapkan apimu! Aku punya ide!" balas Evelyn. Noah pun berlari mengikuti gadis itu.
Tadashi adalah pertahanan terakhir Evelyn. Noah tidak bisa membantunya karena ia harus fokus memusnahkan benda itu. Tadashi kemudian berdiri menghalangi Wendigo dan bersiap memanggil petir lagi.
"Takeshi, kumohon bantu aku. Kerahkan seluruh kekuatanmu," bisiknya.
Ia memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam. Ketika membukanya, cahaya merah tampak di sekitar irisnya. Ia membutuhkan petir terdahsyat yang pernah ada. Petir yang bahkan kakeknya pun tidak pernah pangil. Sesaat, di telapak tangannya muncul kilasan putih kemerahan. Petir berwarna kemerahan dari langit menyambar Wendigo Alpha. Terdengar suara gemuruh yang cukup dahsyat. Kali ini berbeda. Meskipun petir itu tidak bisa membunuh, tetapi makhluk haus darah itu berhasil ambruk hanya dalam satu kali serangan. Ia jatuh tersungkur di tanah dan meraung kesakitan.
Tadashi tidak kuasa menahan senyum. Meskipun menggabungkan kekuatannya dengan milik Takeshi untuk memanggil petir tentu akan menguras tenaganya, Tadashi tidak peduli. Dirinya merasa begitu bersemangat. Ketika Wendigo berdiri dan berusaha bangun, Tadashi kembali mengarahkan tangan, membawa energi listrik dari awan mendung di atas kepalanya pada makhluk itu. Kilatan merah dan gemuruh yang dahsyat kembali datang.
"Takeshi, kau akan bangga padaku," bisiknya sambil menyeringai.
Sayangnya, petir yang dibuat Tadashi memengaruhi orang di sekitarnya. Evelyn jatuh saking kagetnya. Katana dalam genggamannya terlepas dan berguling di rumput. Tadashi memanggil petir kemerahan berkali-kali, membuat Robert berinisiatif untuk mengajak Andrian dan Dakota untuk masuk ke sisi lain hutan dan berlindung di sana.
Rupanya, Evelyn terkilir. Jeans yang dikenakannya pun robek ketika lututnya bergesekan dengan tanah. Darah segar mengalir di sana. Selain kesulitan untuk bangun, gadis itu pun tersiksa dengan suara gemuruh yang berkali-kali menyambar di belakangnya. Ia meringkuk, tubuhnya gemetar. Gadis itu menutup kedua telinga, merasa takut setengah mati.
Pendengaran Noah pun tersiksa akibat gemuruh yang Tadashi hasilkan, tetapi ia masih bisa menahan rasa takutnya. Pemuda berambut pirang itu berlutut, membantu Evelyn berdiri. Namun, gadis itu menggeleng. Pandangannya tertuju pada jantung Wendigo yang tertancap katana, kemudian pada pohon sakral yang hanya berjarak sekitar tiga meter darinya.
"Bakar bersama pohon itu!" teriak Evelyn di tengah-tengah riuhnya gemuruh, berharap pemuda berambut pirang itu memahami apa yang dikatakannya.
Sesaat, Noah sempat mengernyit karena kebingungan. Jika ia membakar pohon tersebut, tentu itu akan merugikan para esper seperti Kagumi atau Tadashi. Namun, rupanya bukan itu yang Evelyn maksud. Senyumnya mengembang. Ia mengambil katana dengan jantung Wendigo dan menancapkannya ke batang pohon besar itu. Didorongnya senjata tajam tersebut hingga Noah tidak bisa menancapkannya lebih dalam lagi. Dari tikaman yang dibuat Noah, hadir api berwarna kehitaman menyelimuti pedang dan organ makhluk itu.
Tidak ingin berlama-lama, ia mengeluarkan lidah api dari telapaknya, mengalirinya pada jantung Wendigo. Kobaran api berwarna merah-jingga milik Noah dengan cepat menjalar ke seluruh pohon. Api kehitaman dan merah-jingga bersatu dan saling mengikat. Dalam sekejap, pohon sakral para esper telah dilahap api sepenuhnya. Cahaya dari api yang dibuat Noah bahkan mampu mengalahkan cahaya dari bulan.
Evelyn dan Noah melihat retakan kemerahan pada jantung Wendigo, seperti lava yang menyembul keluar dari dalam tanah gunung berapi. Organ yang semula berwarna hitam keunguan itu perlahan-lahan berubah menjadi hitam kemerahan. Sisi-sisinya semakin hitam dan retak, perlahan-lahan luruh menjadi abu.
"Hey, it's working!" teriak Noah bersemangat. Ia menoleh pada Tadashi dan berteriak kembali. "Jantungnya perlahan-lahan terbakar!"
Mendengarnya, Tadashi tersenyum. Ya, ia hanya perlu bertahan sedikit lagi hingga semuanya benar-benar berakhir.
Namun, petir yang dipanggil Tadashi melemah. Ketika ia berniat untuk menyerang lagi, tidak ada petir kemerahan yang menyambar makhluk itu. Lebih buruknya, kini tidak ada percikan listrik sedikit pun yang ia tangkap dari langit. Panik, Tadashi menoleh pada Evelyn dan Noah yang berada di belakangnya. Jika dirinya kalah, maka tidak ada lagi yang bisa melindungi mereka.
Segalanya terasa begitu cepat baginya. Baru saja Tadashi hendak kembali memanggil petir, Wendigo telah bangkit. Cakar tajam makhluk itu sudah berada di hadapannya, berayun cepat dan berhasil mengoyak dadanya. Tadashi merasakan perih yang luar biasa, tubuhnya kehilangan keseimbangan akibat dorongan yang begitu kuat dari depan.
Bersamaan dengan itu, petir kembali menyambar makhluk haus darah itu. Sayangnya, serangan terakhir Tadashi hanyalah petir biasa, sehingga Wendigo hanya merasakan sakit, tetapi tidak bisa membuatnya roboh. Karena jaraknya dengan Wendigo cukup dekat, ia pun terkena dampak dari petir yang dipanggilnya. Kilasan cahaya menyilaukan membutakan pandangannya. Ketika memejamkan mata, tubuhnya terlempar ke belakang.
Evelyn menjerit histeris ketika menyaksikan Tadashi terpental setelah mendapat serangan dari Wendigo. Tubuhnya terjatuh cukup keras di atas rumput, tidak terlihat ada gerakan apa pun untuk bangun. Noah yang mendengar teriakan Evelyn pun refleks menoleh. Jantungnya seperti ditinju begitu keras ketika melihat Tadashi tergeletak di rumput. Hoodie-nya bersimbah darah, kedua matanya terpejam.
"Tadashiii! Sialaaan!" teriak Noah. Napasnya memburu. Kekalutan yang luar biasa meliputinya.
Noah merasa harus melindungi Evelyn dan menghentikan makhluk brutal itu. Sayang sekali jangkauan api Noah tidak akan bisa melukai Wendigo dalam jarak sejauh ini. Ia harus berhenti membakar jantung itu dan menyerang Wendigo dari jarak dekat. Namun, perlahan-lahan lidah api yang berasal dari telapaknya mengecil. Panik, ia kembali berkonsentrasi untuk membakar organ menjijikan di hadapannya. Inilah prioritasnya sekarang.
"Come on, come on!" serunya frustrasi. Namun, api yang diciptakannya tidak kunjung membesar.
Wendigo meraung liar, merasa begitu marah pada Tadashi setelah belasan kali dihujani petir yang begitu dahsyat. Tadashi membuka matanya lemah, melihat makhluk itu mengangkat cakarnya tinggi-tinggi dan bersiap untuk mencabiknya lagi. Ia kembali memejamkan mata. Tubuhnya terlalu lemah untuk memanggil petir, atau bahkan untuk menghindar sedikit saja.
Dukung Dream Walker dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟
13 Agustus 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top