55 | The Long Night [Part 2]

"Mulai saat ini, tidak akan ada lagi anggota suku tak berdosa yang mati karena pengorbanan, karena kini kami punya ... Tadashi." Terdapat penekanan dari kalimat terakhir ketika Akando mengucapkannya.

Paham akan kode yang diucapkan dukun suku Indian itu, Kagumi menciptakan rantai yang terbentuk dari bayangan Wendigo. Rantai itu dengan cepat menjerat tangan dan kaki makhluk itu. Akando mengangkat tangan. Akar pepohonan menyembul dari permukaan tanah di sekitar Wendigo, menjerat kaki dan tangan makhluk itu.

Dengan pengendalian bumi milik Kele, tanah di sekitar kaki Wendigo bergerak membentuk lubang. Akar tanaman dan rantai bayangan menarik makhluk itu ke bawah, membuatnya terperosok sedalam lutut orang dewasa. Tanah di sekitar menangkap kaki Wendigo dan menguncinya cukup dalam. Ia berjuang untuk kembali naik ke permukaan. Wendigo itu mengaum liar ketika tidak mampu menggerakan tangannya yang terjerat.

Kawanan tentara suku Indian yang memegang tombak kini berlari dan berkumpul membentuk formasi. Andrian, Evelyn, dan Robert yang tidak lagi dijaga, berlari ke arah Dakota dan memapah pria tua itu ke tepi lahan kosong. Kagumi masih fokus pada pengendalian bayangannya, menahan makhluk haus darah itu agar tidak memberontak lebih jauh.

Noah yang beberapa saat lalu menendang punggung Tadashi hingga jatuh tersungkur kini membantu pemuda itu untuk berdiri. "Hei, aku tidak menendangmu terlalu keras, 'kan? Ngomong-ngomong, akting yang bagus."

"Aktingmu juga bagus. Mau bagaimana lagi? Kita berusaha menipu monster mematikan." Sedikit meringis, Tadashi menjawab. Ia menyapu debu di celana jeans dan hoodie-nya.

"Yeah. Dan kita harus terlihat meyakinkan." Noah menepuk punggung Tadashi. "Okay. Talk later." Pemuda berambut pirang itu kemudian melesat menyusul pejuang suku Indian lainnya. Noah berhenti di hadapan Wendigo, membuka telapak tangan dan mengeluarkan lidah api dari sana. Serangan pemuda itu mengenai lengan dan pipi Wendigo, membuat makhluk itu kini terfokus padanya.

Ketika atensi Wendigo teralihkan, beberapa pejuang suku Indian menancapkan tombak. Makhluk itu tidak kuasa menahan sakit ketika banyak senjata tajam terhunus ke punggung, lengan, dan kakinya. Tiga pejuang mengeluarkan tali laso dari balik pakaian mereka, lalu melilitkannya di leher dan lengan Wendigo. Mereka menarik tali tersebut, membuat tubuh Wendigo melengkung ke belakang. Kini, dada makhluk itu telah terekspos. Dengan serangan sebanyak itu, Wendigo masih mampu mengarahkan tenaganya untuk melepaskan ikatan. Serangan api dari Noah pun terasa tidak cukup untuk meredamnya.

Tadashi bergabung di samping Noah. Ia berkedip, lalu membuka telapak tangan. Kedua matanya bercahaya merah. Gumpalan kapas mendung berkumpul di langit malam Queens Forest Park, perlahan menutupi sebagian cahaya bulan. Menyatu dengan Takeshi, Tadashi merasa lebih kuat dari sebelumnya. Tadashi kini dapat merasakan muatan negatif dan positif yang bergesekan di langit. Ketika energi yang luar biasa tercipta, Tadashi membawanya ke tanah. Tangannya terarah ke Wendigo yang sedang terjebak. Langit mendung tiba-tiba mengeluarkan kilasan cahaya, disusul oleh bunyi gemuruh. Wendigo mengaum begitu keras ketika Tadashi berkali-kali menyerangnya dengan petir. Meskipun begitu, api dan petir tidak mampu membuat makhluk itu roboh. Namun setidaknya, itu dapat menyakitinya.

Dari tempat yang aman di kejauhan, Dakota duduk bersandar di batang pohon besar sambil memegangi perut. Pria itu tersenyum lemah di antara napasnya yang memburu. Binar kebanggan terpancar di kedua maniknya ketika melihat sang cucu dapat mengendalikan petir seperti dirinya.

Dari bayangan tubuh Wendigo, terbentuk sebuah massa yang tajam dan panjang, lalu melesat dengan cepat ke atas, menusukkan dirinya pada leher Wendigo. Makhluk itu meraung dengan sedikit parau. Massa tersebut perlahan berubah dan membesar, membentuk sebuah makhluk dengan dua sayap besar yang sedang memegang katana. Daitengu yang hadir dari bayangan berhasil menghunuskan pedangnya di leher Wendigo dan menjaga agar makhluk itu tidak memberontak lagi.

Kini, pergerakan Wendigo semakin terbatas. Tanpa makhluk itu sadari, Kele telah berada di belakangnya. Sang jendral berlari, kemudian melompat dengan menjadikan bahu Wendigo sebagai tumpuan. Kele mendarat tepat di hadapan makhluk itu dan berputar. Dengan tomahawk yang dikeluarkan dari dalam pakaiannya, ia membelek dada Wendigo. Darah merah kehitaman melumuri senjata itu.

Tadashi perlu menarik napas sejenak. Ia berhenti memanggil petir, tidak kuasa menahan senyum melihat apa yang terjadi di hadapannya. Sedikit lagi. Ya, ia hanya perlu bertahan sedikit lagi di medan pertempuran sampai Kele berhasil mengambil jantung makhluk. Setelahnya membakar organ tersebut hingga menjadi abu, segalanya akan berakhir.

Pemuda bermata sipit itu terengah-engah, berusaha mengatur napasnya menjadi normal kembali. Senyumnya tiba-tiba pudar ketika melihat uap panas di depan wajahnya setiap kali ia mengembuskan napas lewat mulut. Ia menoleh ke samping, melihat semua orang juga mengeluarkan uap yang sama. Hawa dingin berembus menggelitiki kulit, membuat bulu-bulu halus di lengan dan lehernya berdiri.

Awan mendung kini telah menutupi seluruh benda langit. Angin dingin berembus semakin kencang, menusuk hingga ke dalam tulang. Dari dalam lubang mata pada tengkorak Wendigo, muncul seberkas cahaya merah yang menyilaukan. Makhluk itu melolong dengan nada tinggi, menusuk pendengaran milik siapa pun yang berada di sekitarnya. Tadashi dan Noah menutup kedua telinga. Pejuang yang masih berusaha menahan pergerakan Wendigo memejamkan mata dan menunduk, berusaha meredam suara tersebut.

Namun, segalanya sia-sia. Lolongan tersebut terlalu kuat. Tadashi membelalak menyaksikan satu per satu pejuang yang berada di garis depan melepaskan cengkeramannya dari tali maupun tombak, lalu ambruk ke tanah.

"Oh, no ...," lirih Tadashi ketika mengedarkan pandangan.

Masih menahan akar tanaman yang menjerat wendigo, Akando berjuang sekuat tenaga untuk melawan kantuk yang luar biasa. Ia mengerjap dan menggeleng beberapa kali agar tetap sadar. Pria tua itu semakin kalut ketika satu per satu anggota sukunya ambruk ke tanah. Tidak bisa membiarkan serangan ini terus berlangsung, ia berteriak, "Wendigo berusaha membawa kita ke alam mimpi! Lawan rasa kantuk kalian! Jangan sampai tertidur!"

Dakota yang berada sekitar dua puluh meter dari medan pertempuran turut merasakan efeknya. Pria itu terkantuk-kantuk, mengerjap beberapa kali untuk melawan serangan wendigo. Ia lalu menguncang lengan Robert yang berada di sampingnya dan berseru. "Kita harus menjauh dari sini jika tidak ingin tertidur juga!"

Robert dan Andrian saling pandang, kemudian mengangguk. Dengan bantuan Evelyn, mereka memapah Dakota masuk ke dalam hutan, menghindar sejauh mungkin dari medan pertarungan.

Setelah mendengar lolongan tersebut, Kele mendadak diserang kantuk yang luar biasa. Ia mengerjap beberapa kali, berjuang untuk tetap sadar. Ia mengarahkan seluruh tenaganya untuk membelek dada makhluk itu. Sedikit lagi, akan ada lubang yang cukup besar di dada Wendigo dan ia bisa mengambil jantungnya. Namun, mengarahkan tenaga untuk kembali mengayunkan tomahawk pun rasanya sulit. Kele telah berada di ambang batasnya. Pria kekar itu memejamkan mata, kesadarannya menghilang. Tubuhnya terjatuh ke atas rumput dan tomahawk-nya menancap tanah.

Makhluk haus darah itu dapat kembali memberontak setelah beberapa pejuang melepaskan tombak dan talinya. Dengan tanduk rusanya yang besar dan tajam, ia menyundul salah satu pejuang di hadapanya. Ujung tanduk Wendigo yang keras tepat mengenai dadanya. Dengan satu kibasan kepala, pejuang itu terlempar sekitar lima meter dan kemudian mendarat di tanah dengan mata membelalak. Dadanya berlumuran darah, napasnya terhenti.

Melihat salah satu pejuang telah gugur, pasukan Indian lainnya menjadi lebih waspada. Mereka berusaha menahan Wendigo dengan tombak dan tali, tetapi menahan rasa kantuk pun rasanya sulit.

Di samping Tadashi, Noah berhenti menyerang dengan api ketika matanya tiba-tiba terpejam. Pemuda berambut pirang itu pun limbung dan jatuh, kemudian tak sadarkan diri. Tadashi berlutut di depan Noah. "Noah! Hei, hei! Sadarlah!" Tadashi berseru sambil mengguncang tubuh pemuda itu keras-keras, tetapi tidak ada reaksi. Begitu pula ketika kedua pipinya ditepuk beberapa kali, Noah tidak kunjung sadar.

"Sial! Sial! Sial! Sial!" umpat Tadashi panik. Ia memejamkan mata. Kalung taring serigala di lehernya bersinar. Dalam sekejap, kesadaran pemuda itu berpindah.

*****

Ketika membuka mata, tidak ada lagi medan pertempuran yang dikelilingi oleh pepohonan. Raungan Wendigo dan teriakan suku Indian pun lenyap bagaikan suara radio yang dimatikan. Tadashi berdiri di sebuah ruangan yang luas dan hening dengan gaya interior klasik. Ruangan ini didominasi dengan ornamen kayu, dua rak tinggi yang berisi banyak buku berada di kanan kirinya. Tadashi berkedip, cahaya merah di kedua matanya meredup. Ia mengedarkan pandangan ke sekitar sambil berjalan cepat, berusaha mencari Noah di alam mimpinya.

Ketika berjalan di sebelah jendela, ia menangkap figur seseorang dengan ujung matanya. Tadashi menoleh, melihat Takeshi dengan mata merahnya berada di pantulan kaca. Ketika mengedip, cahaya kemerahan di matanya pun meredup. "Hei! Apa yang terjadi? Bagaimana pertarunganmu melawan suku Indian itu? Apa kau menang?" oceh Takeshi.

Tadashi tidak menjawab. Ia mengalihkan pandangan dari kembarannya, masih menggerakan kedua tungkai untuk mencari sosok Noah.

"Mengapa kau tergesa-gesa? Apa yang terjadi? Di mana kita?" tanya pemuda berambut perak itu sekaligus. Ia berjalan mengikuti Tadashi di sepanjang jendela.

"Bantu aku mencari Noah," perintah Tadashi. Ia menoleh dan berhadap-hadapan dengan Takeshi. "Ceritanya panjang jadi aku akan menceritakannya nanti. Aku bersekutu bersama suku Indian untuk melawan Wendigo. Sayangnya, Wendigo membawa Noah ke alam mimpi di tengah pertarungan. Waktu kita sempit."

"Yeah, seolah-olah aku tahu siapa Noah dan seperti apa rupanya," keluh Takeshi sambil terengah-engah karena harus berjalan cepat mengikuti Tadashi.

Tadashi memutar bola mata. Tampaknya, di saat-saat seperti ini tidak ada gunanya meminta bantuan kembarannya itu. Tadashi berjalan melewati belasan muda-mudi yang sedang duduk di meja belajar sambil membaca atau menuliskan sesuatu di buku catatan. Ada pula yang berdiri di depan rak besar, menyisir satu per satu punggung buku untuk membaca judul dan nama pengarangnya. Beberapa dari mereka membaca sambil mendengarkan musik di kursi malas.

Ruangan yang terlihat seperti perpustakaan ini cukup luas dengan puluhan lorong. Tadashi membaca tulisan di tiap lorong yang diapit oleh rak-rak buku besar. Di sana tertulis pembagian kategori buku, seperti 'Arsitektur', 'Fisika Modern', 'Sastra', dan lain sebagainya. Di bawah tulisan-tulisan itu, terlampir logo Universitas Harvard dan tulisan 'Perpustakaan Umum'.

"Sial, bagaimana caranya mencari satu orang pemuda di tempat yang dipenuhi ratusan pemuda lainnya?" gumam Tadashi sambil menggigit bibir. Pemuda itu berjalan cepat menuju jendela untuk menemui Takeshi. Kini, dirinya berhadap-hadapan dengan kembarannya yang berambut perak itu. "Bagaimana caraku menemukan Noah dengan cepat? Aku tidak bisa begitu saja berteriak memanggil namanya. Ini perpustakaan," desaknya.

"Oke, sekarang jelaskan padaku siapa Noah dan seperti apa rupanya?" tanya Takeshi.

"Dia pejuang suku Indian, lulusan Harvard jurusan Ilmu Sejarah. Rambutnya pirang, usianya dua puluhan, tingginya sekitar 175 sentimeter. Terakhir melihatnya di medan pertarungan, ia mengenakan jaket flanel," jawab Tadashi cepat.

"Kau harus lebih spesifik." Takeshi mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru perpustakaan. "Di sini banyak pemuda yang berambut pirang dan memakai kemeja flanel. Kita tidak bisa mencarinya secara membabi buta."

Tadashi berdecak kesal karena sedang terburu-buru, tetapi ia harus meladeni pernyataan Takeshi. Ah, mengapa, sih, pemuda itu tidak berbicara langsung pada intinya? Ia bertanya dengan ketus, "Lalu apa idemu?"

"Pikirkan suatu area di perpustakaan ini yang mungkin ia kunjungi."

Tadashi menenangkan pikirannya yang kacau, lalu terdiam untuk berpikir. Ia mengulum bibirnya yang terasa kering. Matanya tertuju pada satu per satu papan yang menunjukkan kategori buku. Pemuda itu melebarkan mata dengan senyum yang mengembang. Bersamaan dengan Takeshi, mereka saling menoleh dan berkata, "Area buku-buku sejarah!"

Tadashi berlari dan menyisir area pembagian perpustakaan, berusaha mencari di mana buku-buku sejarah diletakkan. Tadashi merasa begitu optimis. Bagaimana bisa ia tidak memikirkan hal itu sebelumnya? Noah pasti pergi mencari buku sejarah, karena buku-buku itu tentu berhubungan dengan jurusan kuliahnya. Mau bagaimanapun, dunia ini adalah bunga tidur pemuda itu, sesuatu yang diciptakan alam bawah sadarnya.

Pada akhirnya, ia menemukan rak dengan tulisan 'Sejarah'. Di sana, Noah yang mengenakan kemeja flanel sedang menyisir satu per satu punggung buku-buku sejarah dengan cepat. Di sekitar kakinya, terdapat beberapa buku yang dibiarkan terbuka dan tergeletak begitu saja. Wajahnya terlihat tegang dan panik, napasnya memburu, seperti ada semacam iblis yang baru saja mengejarnya. Pemuda itu menarik satu buku hard cover yang cukup tebal, membaca daftar isinya, lalu melemparnya ke lantai sambil mendengkus kesal.

Tadashi berjongkok untuk melihat buku yang baru saja Noah lempar. "Noah, apa yang sedang kau cari?"

Noah terkejut, dengan cepat menoleh ke arah pemuda yang memanggilnya. Melihat presensi Tadashi, senyumnya mengembang. "Tadashi, hei!" Lalu pemuda berambut pirang itu kembali menyisir buku-buku yang berjejer di rak dengan wajah kusut. "Akhir semester sebentar lagi tiba dan aku belum menemukan literatur yang sesuai untuk esaiku! Esaiku harus sempurna dan aku tidak boleh tidak lulus mata kuliah ini! IPK-ku harus sempurna!" ujarnya sambil terengah-engah.

"Noah, hei, sadarlah!" Tadashi berdiri dan segera mencengkeram pergelangan tangan pemuda itu. Noah tersentak dan menoleh. "Kau sudah lulus bertahun-tahun lalu. Wendigo sedang bermain-main dengan mimpi dan ketakutanmu!"

Noah melotot, lalu tertawa remeh dan membentak Tadashi. "That's silly! Kau tidak lihat tanggal berapa sekarang? Waktu tenggat untuk esaiku segera tiba!"

"Kau bahkan tidak mengenalku sewaktu berkuliah!" Tadashi balik membentak. Noah bungkam. Ekspresi tegangnya kini sedikit melunak. "Wendigo membawamu ke alam mimpi di tengah pertempuran dan berusaha mengacaukan pikiranmu. IPK-mu akan baik-baik saja. Kau bahkan sudah lulus dan memiliki pekerjaan di New York sekarang!"

Noah membelalak mendengar ucapan Tadashi. Pemuda itu terlalu syok untuk menanggapi.

"Tenangkan dirimu. Tarik napas bersamaku!" perintah Tadashi. Pemuda bermata sipit itu menarik napas dalam-dalam, kemudian mengembuskannya panjang. Noah mengikutinya, berkali-kali hingga dirinya menjadi lebih tenang. Hening untuk sesaat ketika Noah berusaha mencerna semuanya. Ingatannya perlahan-lahan kembali.

"Astaga, aku ingat semuanya," lirih Noah, "kita ... kita sedang bertempur. Aku ... aku benar-benar merasa takut. Setiap akhir semester adalah neraka bagiku karena aku selalu takut tidak bisa meraih nilai IPK terbaik. Aku ... aku tidak ingin diremehkan lagi ...."

"Begitulah cara Wendigo memanipulasimu, Noah. Kau akan baik-baik saja. Ini hanya ketakutanmu di masa lalu," ujar Tadashi untuk menenangkannya.

Noah mengangguk. Setelah membiarkannya tenang untuk beberapa saat, Tadashi menepuk pundak pemuda itu, kemudian bertanya, "Sekarang, apa kau sudah siap untuk bertempur kembali?"

Pemuda berambut pirang itu menggigit bibir, lalu mengangguk mantap.

Dukung Dream Walker dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟

30 Juli 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top