54 | The Long Night [Part 1]
Suku Indian telah mengepung area kosong di sekitar pohon sakral itu. Akando tidak ingin menunda rencananya lebih lama lagi. Maka, ia memutuskan untuk menahan kawanan Tadashi dan memanggil Wendigo ke tempat ini.
Noah mencengkeram bagian leher hoodie Tadashi. Ia menyeret lalu mendorongnya hingga tubuh pemuda asia-kaukasia itu jatuh dan berlutut di atas rumput. Tadashi menoleh ke kanan, menyaksikan masing-masing pejuang suku Indian menyeret paksa kakek, orang tua, dan kedua temannya. Tentara suku Indian memegangi mereka dengan kuat. Tadashi lalu meneliti satu per satu tentara yang Akando bawa. Beberapa tentara mengacungkan tombak pada mereka.
Akando, dengan war paint berwarna putih menghiasi wajah, berjalan ke barisan depan. Dukun suku Indian itu kemudian memejamkan mata. Bibirnya berkomat-kamit melafalkan sesuatu yang tidak dapat Tadashi dengar. Pikiran pria itu kini terhubung dengan si makhluk haus darah itu. Melalui telepati, Akando memberitahu di mana lokasinya dan meminta makhluk itu untuk datang.
Beberapa menit setelah bertelepati dengan Wendigo, angin malam bertiup lebih kencang, membawa debu dan dedaunan kering. Akando dan tentara suku Indian mulai merasakan suhu yang perlahan-lahan menurun. Evelyn dan Robert saling pandang dalam kengerian. Bulu kuduk mereka berdiri, tubuh dua remaja itu pun mulai terasa dingin dan hampir dibuat menggigil. Berbeda dengan Kagumi dan Andrian. Alih-alih merasa takut dan terdistraksi oleh udara dingin, mereka justru menjadi lebih waspada terhadap sekitar. Pandangan mereka mengedar di antara pepohonan, mengantisipasi ada pergerakan Wendigo di kejauhan.
"Saya rasa Wendigo Alpha itu sudah dekat," ujar Kele, jendral perang yang berdiri tepat di samping Akando. Wajahnya pun dihiasi war paint.
"Bagus! Segalanya pasti berjalan dengan lancar malam ini," jawab Akando tenang.
Tiba-tiba, terdengar semak belukar yang saling bergesekan. Semua yang ada di sana refleks memalingkan pandangan ke sumber suara. Sekitar sepuluh meter di hadapan mereka, di antara pepohonan dan kegelapan yang mencekam, terlihat ada pergerakan. Sulit melihat apa yang terjadi di dalam sana akibat minimnya cahaya. Perlahan, segalanya menjadi jelas. Ketika melihat bayangan hitam di antara semak dan pepohonan, Tadashi menelan ludah.
Dengan bantuan cahaya bulan, wujudnya perlahan-lahan kian jelas seiring dengan langkah beratnya yang semakin mendekat. Tubuh jangkung kurus dengan tulang rusuk yang menonjol, jemari dengan kuku-kuku tajam, serta kepala berwujud tengkorak rusa dengan dua tanduk yang menjulang. Ketika menatap kedua matanya, hanya kegelapanlah yang terlihat. Dingin, kosong, seperti tidak ada kehidupan di sana. Mulutnya perlahan-lahan terbuka lebar, menunjukkan taring-taring tajam yang siap mengoyak siapa pun yang ada di hadapannya.
Evelyn dan Robert menahan napas saking takutnya. Tubuh mereka bergetar hebat. Berkali-kali melihat makhluk haus darah itu tidak membuat keduanya terbiasa. Sebelumnya, mereka masih memiliki kesempatan untuk melarikan diri. Namun, kini jarak makhluk itu cukup dekat dengan mereka, dan dalam hitungan detik, Wendigo itu dapat memangsa mereka jika ia mau.
Tadashi menelan ludah. Berkali kali ia meyakinkan diri sendiri untuk tenang, tetapi pemuda itu tidak dapat menipu perasaannya sendiri. Ia mengepalkan tangan, berusaha mengenyahkan rasa takutnya.
Wendigo Alpha di hadapan mereka menggeram pelan, mengedarkan pandangan secara perlahan, menyisir satu per satu manusia yang berada di hadapannya.
"Terima kasih telah datang," ucap Akando pada makhluk itu.
Geraman Wendigo memelan. Makhuk itu kini tertuju pada Akando. Meskipun tidak memiliki mata dan pupil, Akando tahu bahwa makhluk itu sedang menatapnya, mencoba berkomunikasi dengannya.
"Seperti yang Anda lihat, Tuan Wendigo, kami telah menemukan seorang dream walker," ucap dukun itu ketika menoleh pada Tadashi. Dukun itu kemudian berjalan dua langkah ke depan. Pandangannya tertuju pada kegelapan di balik bulatan mata di tengkorak makhluk itu. Sambil menggeram pelan, Wendigo memiringkan kepalanya sedikit. Alih-alih merasa terintimidasi, Akando melanjutkan perkataannya kembali dengan cukup tenang. "Dengan kehadiran seorang dream walker, suku Indian kini dapat kembali melakukan ritual. Anda tidak perlu berburu sendirian lagi untuk mencari mangsa. Mulai malam ini kami akan kembali melayani Anda."
"Itu tidak akan terjadi, dukun gila!" teriak Tadashi. Dengan cepat Noah menendang punggung Tadashi hingga pemuda itu tersungkur ke rumput dan meringis kesakitan. Evelyn hampir memekik melihat Tadashi diperlakukan sekasar itu.
Melihat putranya diperlakukan kasar, Andrian berang. Pria berambut pirang itu memberontak berusaha melepaskan diri, lalu seketika membeku setelah dua pejuang suku Indian mengarahkan ujung tombak yang tajam padanya. Rahang pria itu mengeras, ditatapnya pejuang suku Indian di hadapannya dengan tajam.
Akando menoleh ke belakang sambil mengangkat tangan, mengisyaratkan semuanya untuk tenang. Andrian pun kembali bungkam. Tadashi tidak dapat berbuat apa-apa ketika Noah mencengkeram hoodie jaketnya, menarik pemuda itu untuk kembali berlutut.
Keheningan kembali meliputi malam itu. Ketika melihat Tadashi, Wendigo memiringkan kepalanya ke kanan sekitar empat puluh lima derajat, meneliti pemuda beretnik asia-kaukasia itu sambil menggeram halus. Tadashi kini tidak merasa takut sedikit pun. Sebaliknya, ia merasa geram dan jijik. Alisnya bertaut, rahangnya mengeras. Ada emosi yang menunggu untuk ditumpahkan, juga keinginan untuk menghabisi makhluk itu dan mengakhiri penderitaan yang dialaminya sejak lama.
Keheningan yang mencekam meliputi hutan kota ketika Wendigo dan Tadashi saling pandang. Gumpalan kapas mendung berkumpul di langit malam Kota New York, perlahan menutupi sebagian cahaya bulan. Bayangan menutupi separuh wajah Tadashi. Meskipun begitu, makhluk itu masih dapat melihat fitur-fitur wajah Tadashi dengan jelas.
Kini, cahaya bulan telah tertutup nyaris seluruhnya. Dalam kegelapan yang tiada satu pun orang yang menyadarinya, Kagumi menggerakan jemari kanannya sedemikian rupa. Bayangan Wendigo yang terdistorsi di rerumputan bergerak, berubah wujud menjadi bentuk panjang yang abstrak seperti empat tentakel gurita. Masing-masing dari tentakel itu kembali mengubah wujudnya menjadi lingkaran-lingkaran kecil yang saling bertautan.
Akando menyaksikan perubahan pada bayangan Wendigo. Pandangannya lalu kembali pada makhluk itu. "Ya, benar. Dialah dream walker yang kami maksud, Tuan," ujar Akando.
Kini, atensi Wendigo kembali tertuju pada Akando. Dukun suku Indian itu kembali berucap, "Mulai saat ini, tidak akan ada lagi anggota suku tak berdosa yang mati karena pengorbanan, karena kini kami punya ... Tadashi." Terdapat penekanan dari kalimat terakhir ketika Akando mengucapkannya.
Paham akan kode yang diucapkan dukun suku Indian itu, Kagumi mengangkat kedua tangan selevel kepala dan membuka telapaknya lebar-lebar. Tentakel yang tercipta dari bayangan Wendigo kini telah berubah menjadi rantai. Ketika Kagumi mengepalkan tangan, keempat rantai itu mencuat ke atas permukaan tanah. Bagaikan terbuat dari besi sungguhan yang cukup kokoh, rantai itu dengan cepat menjerat tangan dan kaki makhluk itu. Akando mengangkat tangan. Akar pepohonan menyembul dari permukaan tanah di sekitar Wendigo, menjerat kaki dan tangan makhluk itu.
Dengan pengendalian bumi milik Kele, tanah di sekitar kaki Wendigo bergerak dan membentuk lubang. Akar tanaman dan rantai bayangan menarik kaki makhluk itu ke bawah, lalu tanah menutup dan menguncinya cukup dalam. Makhluk mengerikan itu terperosok sedalam lutut orang dewasa, ia berjuang untuk kembali naik ke permukaan.
Wendigo itu mengaum liar ketika tidak mampu menggerakan tangan dan kakinya yang terjerat. Amarah meliputinya setelah sadar bahwa suku Indian telah bersekutu dengan dream walker untuk mengkhianatinya. Merasa semakin berang, makhluk itu menatap Akando sambil meraung cukup nyaring.
Dukun Indian itu bersikap tenang, berkonsentrasi untuk menahan akar tanaman yang membelit tangan dan kaki makhluk itu. Ia tersenyum puas setelah mengetahui bahwa rencananya bersama Dakota dan Tadashi kemungkinan besar akan berhasil. Setelah memenangkan pertarungan ini, suku Indian akan menjalani hari-hari mereka dengan tenang tanpa bayang-bayang teror dari makhluk haus darah di hadapannya.
*****
Sekitar satu jam yang lalu di alam mimpi
"Seseorang yang dapat menyelamatkan suku Indian dari teror Wendigo hanya kau, Tadashi. Entah kau membantu kami untuk memimpin ritual, atau kau menyerahkan kemampuanmu padaku," ujar Akando pada Tadashi yang sedang mengunjungi alam mimpinya untuk menyelamatkan Dakota.
"Meskipun itu akan membuat keseimbangan otakku terganggu dan membuatku kehilangan kewarasan?" bentak Tadashi. Pemuda itu berdiri di hadapannya sambil memapah Dakota.
Akando bergeming sejenak sebelum berbicara kembali. "Apa pun risikonya untuk kepentingan suku Indian. Suku leluhurmu, Tadashi."
Tadashi tidak pernah merasa semurka ini seumur hidupnya. Rahangnya mengeras, tangannya terkepal. Tanpa sadar, kedua matanya bercahaya merah. Pemuda itu hanya ingin hidup tenang layaknya remaja lain. Ia tidak perlu ikut campur dalam permasalahan yang dialami leluhurnya di masa lalu, 'kan? Ia juga merasa tidak memiliki tanggung jawab untuk menyerahkan kekuatannya pada Akando, maupun membantu suku Indian untuk melakukan ritual penumbalan manusia.
"Tunggu!" potong Dakota. Pria tua itu menepuk dada cucunya, menenangkan Tadashi yang tampaknya akan maju untuk menghajar Akando sendirian. Tadashi berkedip dan cahaya di matanya meredup. Ia menoleh pada sang kakek, begitu pula Akando yang mengalihkan pandangan pada sepupunya itu.
"Bagaimana jika kita membunuh makhluk itu?" tanya Dakota.
"Apa?" seru Tadashi dan Akando bersamaan. Keduanya membelalak.
Dakota menoleh pada Akando. "Apa yang terjadi jika Wendigo tidak ada? Apakah kewajiban suku Indian juga akan hilang?"
Sepupunya itu bergeming sejenak, sedikit tidak yakin dengan jawabannya. "Aku ... tidak pernah memikirkannya hingga sejauh itu. Namun, ritual persembahan tumbal itu memang berawal ketika salah satu leluhur kita melakukan perjanjian dan menyatukan raga dengan Wendigo Spirit."
"Secara teknis, ini seperti ketika kau bekerja di suatu perusahaan. Kau tidak akan memiliki kewajiban untuk bekerja lagi jika bosmu meninggal dunia atau perusahaanmu bangkrut, 'kan?" Tadashi menimpali.
"Ya, itu masuk akal." Akando mengangguk. "Tapi sekalipun kita ingin membunuh makhluk itu, apa kau sadar semua itu adalah misi bunuh diri?"
Tadashi menelan ludah. Ya, tentu ia tahu seperti apa kekuatan makhluk itu. Berkali-kali bertemu di alam mimpi ataupun dunia nyata, dirinya tidak pernah menang dari Wendigo. Tadashi selamat karena terus melarikan diri.
"Wendigo juga tidak bisa mati hanya dengan serangan petir. Kemampuanku tidak ada gunanya," ujar Dakota lemah. Ia mengerang ketika kedua kakinya terasa pegal akibat terlalu lama berdiri, kemudian pelan-pelan mendaratkan bokong di atas rumput. Tadashi membantu sang kakek untuk duduk. Setelahnya, pemuda itu mengambil posisi duduk di sebelah Dakota. Akando pun turut mendaratkan bokongnya di rerumputan.
"Sekali Wendigo mengincarmu, kau hanya bisa memohon belas kasihnya, berharap ia akan melepasmu, meskipun kita tahu itu mustahil," lirih Akando. Pria tua itu mengembuskan napas kecewa. "Dengan kemampuan maksimalnya, makhluk itu dapat berlari secepat cheetah, memanipulasi pikiranmu, bermain-main dengan mentalmu sebelum menjadikanmu sarapannya."
"Tapi ... makhluk itu pasti punya kelemahan, 'kan?" tanya Tadashi.
Akando menggeleng. "Ia juga tidak bisa mati begitu saja dengan kemampuanku. Kami, keturunan suku Indian yang dianugerahi kemampuan spesial, seperti pengendali angin atau pengendali bumi, apa pun jenis kemampuannya, tidak akan ada yang bisa mengalahkannya. Lagi pula, jumlah kami yang memiliki kemampuan supranatural tidak sebanyak dulu karena tidak semua leluhur kami menurunkan gennya pada generasi sekarang."
"Apakah ada anggota suku yang dapat mengendalikan api? Bagaimana dengan api?" tanya Tadashi lagi.
"Noah dapat mengeluarkan api dari tangannya," jawab Akando.
"Ya, itu mungkin berhasil, jika kita bisa melumpuhkannya dan mengambil jantungnya untuk dibakar. Namun, api sendiri tidak bisa melukai Wendigo secara signifikan. Jantungnya yang beku harus dibakar hingga menjadi abu, sedangkan makhluk itu terlalu kuat untuk dilumpuhkan. Mau bagaimanapun, makhluk itulah yang menganugerahi manusia dengan kemampuan-kemampuan itu." jawab Dakota.
"Ini seperti kita berkonspirasi melawan dewa," tambah Akando.
"Bagaimana dengan pengendali metal? Kita bisa melumpuhkan Wendigo dengan itu. Ikat lengan dan kakinya dengan rantai, lalu tikam jantungnya dengan metal sebelum dibakar. Atau kita bisa membuat sebuah kerangka dengan metal-metal itu, lalu mengurungnya di dalam penjara-"
"Tidak ada pengendali metal dalam sejarah suku Indian, Tadashi," potong Dakota.
Tadashi mendengkus. Apa yang sebenarnya ia pikirkan? Berharap Magneto akan bergabung bersamanya untuk memerangi Wendigo?
"Like I said, this is a suicide mission," ucap Akando pahit. "Aku melakukan hal ini dengan berbagai pertimbangan. Kita membutuhkan seorang dream walker, karena memang tidak ada cara lain selain terus menumbalkan manusia."
"No!" bentak Tadashi, "kita akan mencari jalan keluar tanpa melibatkanku atau kemampuan dream walking-ku, oke?"
Akando menunduk, memejamkan mata sambil mengembuskan napas berat. Pria itu memijat pangkal hidungnya. Dukun suku Indian itu merasa lelah luar biasa. Jika ia memiliki pilihan lain, dirinya tidak akan nekat meneror kehidupan seorang remaja dengan berusaha mengambil kemampuannya.
Tiba-tiba, Tadashi memikirkan sesuatu yang penting. Alisnya bertaut. "Mengapa Wendigo selalu memangsa manusia di alam mimpi? Mengapa mereka tidak melakukannya di dunia nyata?"
"Itu salah satu perjanjiannya dengan leluhur kami. Wendigo dapat memakan langsung jasad penjajah di alam mimpi. Awal mulanya, kami tidak ingin berperang di dunia nyata karena tidak ingin merusak alam. Lagi pula, kemampuan kami akan lebih maksimal ketika digunakan di alam mimpi." Akando berhenti sejenak untuk mengambil napas. "Itu sebabnya seorang dream walker akan memimpin ritual, membawa tentara suku Indian dan musuh ke alam mimpi, lalu kami berperang, dan Wendigo bisa langsung memangsa para penjajah yang gugur di alam mimpi."
"Jika kemampuan yang diturunkan Wendigo pada anggota suku hanya bisa maksimal ketika berada di alam mimpi, bagaimana dengan kemampuan Wendigo itu sendiri?" tanya Tadashi lagi.
Dakota dan Akando saling melirik. Untuk sejenak, dua pria tua itu berusaha mencerna perkataan Tadashi. Lalu, senyum Dakota mengembang. "Mungkin itu bisa berhasil."
"Apa yang berhasil?" tanya Akando.
"Bertarung melawan Wendigo di dunia nyata." Dakota menjelaskan. "Dunia nyata bukan medan perang untuknya. Wendigo tidak bisa memanipulasi alam di dunia nyata dan manusia yang ada di sana."
"Ya. Dia tidak bisa memanipulasi kita, tetapi kita masih bisa bertarung dengan sihir di dunia nyata." Tadashi menambahkan.
"Tapi, bukankah leluhur kita bertarung di alam mimpi karena tidak ingin merusak alam? Itulah inti dari semua ini, 'kan? Jika kita melawan Wendigo di dunia nyata, entah separah apa kerusakan yang akan dihasilkan." Akando menggeleng tak setuju.
"Well, apa kita punya pilihan lain?" tanya Tadashi sambil mengangkat kedua alis.
Dukun suku Indian itu menatap Tadashi dalam keheningan. Ia mengulum bibirnya yang terasa kering sambil menimbang-nimbang.
"Semua pilihan ada risikonya, Akando, dan kurasa kita bisa meminimalisir kerusakannya jika kita menyusun strategi yang tepat," ucap Dakota lagi.
"Fine. Kita jalankan rencana ini," putus Akando.
"Good." Dakota tersenyum. "Meskipun kemampuan kita tidak bisa maksimal jika digunakan di dunia nyata, tetapi dengan bekerja sama, kurasa kemampuan kita akan menjadi efektif."
"Oke, kalau begitu kita butuh rencana yang sangat matang," ujar Tadashi. Pemuda itu kemudian menoleh pada Akando. "Bisakah kau dan pasukanmu menemui kami di Queens Forest Park? Kita bisa menyusun strategi dan bertarung di sana. Di malam hari, taman itu tutup dan tidak akan ada pengunjung yang datang. Kita bisa meminimalisir korban jiwa dan kerusakan."
Akando menjawab dengan anggukan.
Dukung Dream Walker dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟
30 Juli 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top