42 | Overwhelmed
"Kau tidak bisa terus-terusan menjadi idiot penakut yang selalu bersembunyi di balik tempurung."
"Hey, no need to worry. She's back," ucap Evelyn, turut menenangkan Tadashi yang sedang panik.
Mata Tadashi menyipit, mengamati sang ibu yang baru saja kembali ke alam mimpi. Pemuda itu melihat senyum yang sama persis dengan Kagumi yang ia temui di kamar Dakota, hari di mana Akando menyerang rumahnya. Refleks, Tadashi berdiri di hadapan Robert dan Evelyn, menghalangi keduanya dari sosok itu. Rahangnya mengeras, bersikap ekstra siaga terhadap 'makhluk' di hadapannya.
"It's not her!" seru Tadashi.
Kalung taring serigala di leher Tadashi menyala. Lingkungan sekitar terasa gelap untuk sesaat, tetapi ketiganya dengan cepat membuka mata kembali. Robert mengerang pelan, memijit pelipisnya yang terasa pusing. Dirinya seperti dibangunkan mendadak dari tidur yang sangat nyenyak. Begitu pula Evelyn yang langsung tersentak, duduk tegak di jok penumpang belakang. Napasnya memburu.
Ketika mengedarkan pandangan, mereka menyadari bahwa pantai dengan matahari tenggelam itu telah berubah menjadi interior mobil mewah milik Robert. Hujan di luar tidak kunjung reda, bahkan lebih deras dari sebelumnya. Bedanya, air yang jatuh kini tidak lagi berwarna hitam pekat. Bagaikan flash kamera yang menyala, kilatan cahaya datang dari langit, disusul oleh gemuruh yang memekakkan telinga, membuat tiga remaja itu tersentak.
"Kita ... terbangun dan keluar dari alam mimpi?" ucap Robert.
Evelyn tidak mengindahkan. Ia menoleh ke arah Tadashi di jok penumpang depan, mengguncang lengan pemuda beretnik Asia-Kaukasia itu. "Hey, Tadashi, you okay? Yang tadi itu bukan ibumu? Apa maksudnya?" ucap gadis itu panik, mendesak Tadashi untuk menjawabnya sekarang juga.
Seperti kesetanan, pemuda itu menangkis lengan Evelyn kasar. "No! Go away! Leave us alone!" pekik Tadashi histeris.
Melihat sahabatnya yang sedang panik. Robert buru-buru menenangkan pemuda itu, mengelus lengannya lembut. "Tadashi! Ini kami! Sadarlah, kita sudah kembali!"
Tadashi mengerjap setelah menyadari keadaan sudah aman. Ia melunak, tidak lagi berontak. Pandangannya kosong, menerawang jauh ke luar mobil. Hening untuk sesaat, hanya terdengar rintik-rintik air yang jatuh ke atap mobil.
Robert dan Evelyn saling pandang. Keduanya sama-sama bingung dengan sikap Tadashi, begitu pula dengan Kagumi dan gagaknya yang tiba-tiba menghilang dari alam mimpi. Robert mengambil air mineral yang disimpan di dekat tuas gigi mobil, kemudian memberikannya pada Tadashi. Pemuda bermata sipit itu meneguk habis minuman di tangannya, lalu bergeming sejenak. Lama kelamaan, detak jantungnya kembali teratur dan napasnya tidak lagi memburu.
Setelah sahabatnya sudah kembali tenang, Robert berinisiatif untuk bertanya, "Wanna talk about it?"
Awalnya, Tadashi ragu. Namun, cepat atau lambat ia harus memberitahu Robert dan Evelyn segalanya, 'kan? Maka, pemuda itu mulai bercerita, berawal dari penyerangan anak buah Akando satu minggu yang lalu, serta Wendigo yang menyamar sebagai sang ibu, maka karena itu ia tahu betul sosok yang mereka temui tadi bukan lagi Kagumi. Ia masih mengenali senyum itu, senyuman tanpa emosi dan belas kasih. Selain itu, Tadashi juga bercerita bahwa Wendigo Beta adalah seorang manusia yang melupakan jati dirinya, mereka lebih mementingkan hawa nafsu dibandingkan kemanusiaan.
Robert dan Evelyn tentu saja terkejut mendengarnya. Apa yang Tadashi katakan terasa seperti bualan, begitu sulit untuk dipercaya.
"Oke, oke. Terlalu banyak informasi yang kuterima dalam satu waktu. Rasanya aku ingin muntah," ucap Evelyn sambil memijat pangkal hidungnya. "Bisakah kau memberiku waktu untuk mencerna segalanya?"
"Lalu apa yang terjadi setelah itu? Apa Wendigo Beta itu benar-benar tewas? Mengapa kau tidak melapor polisi?" Robert menghujani Tadashi dengan banyak pertanyaan. Lama kelamaan, nadanya semakin meninggi. "Mengapa kau tidak menceritakannya lebih awal? Astaga, sampai-sampai kepalaku terasa sakit!"
Tadashi menekuk wajah, kemudian menunduk. "A-aku ... seharusnya aku tidak memendamnya sendirian. Maaf," lirihnya.
*****
Hujan tidak kunjung mereda, petir berkali-kali menyambar sesuatu di kejauhan, menghasilkan kilatan cahaya menyilaukan dan gemuruh yang memekakkan telinga. Setelah perdebatan panjang, ketiga remaja itu memutuskan untuk mengunjungi rumah Robert, berdiskusi lebih lanjut apa yang harus mereka lakukan selanjutnya. Tiga remaja itu tidak saling melempar kata sepanjang perjalanan, masih merasakan syok atas segalanya.
Tadashi tidak menyukai keheningan ini. Di mana senyum yang ada di wajah Robert dan Evelyn? Padahal, sebelum memasuki alam mimpi, mereka bertiga masih bisa saling melempar tawa. Bahkan, Robert bilang masih ingin berteman dengannya. Ya, ia paham mereka perlu waktu untuk mencerna ceritanya, tetapi di sisi lain, pemuda itu takut memikirkan apa yang ada di dalam kepala Robert dan Evelyn sekarang. Apa yang mereka berdua pikirkan tentangnya sekarang? Kesal? Kagum? Jijik? Atau biasa saja?
Robert masih berkutat dengan kemudi dan pedal dalam keheningan, menatap lurus ke arah jalanan New York yang padat merayap. Pikirannya berkecamuk, di satu sisi ia lega sahabatnya itu mau membuka diri dan tidak memendam masalahnya sendirian. Namun, mengapa Tadashi harus menceritakannya sekaligus, bahkan setelah gagak milik Kagumi menakut-nakutinya setengah mati? Robert merasa seperti dibombardir oleh informasi yang sulit dipercaya. Apa Tadashi berpikir dirinya tidak kesulitan mencerna semuanya? Terlebih lagi, apa yang baru saja didengarnya bukan hal sepele.
"Kurasa kita harus pergi ke rumah Tadashi." Evelyn memecah keheningan dari jok belakang. "Dengan kemampuan Tadashi, seharusnya kita bisa membantu Mrs. Reyes seandainya benar sesuatu terjadi pada wanita itu."
"How? Kau tidak lihat Tadashi sekarang? Melihat sosok ibunya yang palsu saja ia langsung kabur. Bagaimana jika kita bertemu dengan Wendigo sungguhan?" Robert menaikkan nada bicaranya. Ia mulai kesal dengan perilaku sahabatnya yang selalu bertahan di zona aman, terlalu takut untuk menghadapi masalahnya sendiri.
"He has a point." Evelyn mencondongkan tubuh di antara dua jok depan. "Bagaimana menurutmu, Tadashi? Melarikan diri tentu tidak akan menyelesaikan masalah."
"Touche, Ev," celetuk Robert.
"Well, aku yakin kau juga kewalahan mendengar semua informasi yang diberikan Tadashi," ketus Evelyn.
Robert tidak menjawab. Ia mengembuskan napas pelan, masih fokus menyetir.
"But hey, it's your call, Tadashi. Kau yang memutuskan, kami hanya bisa membantu untuk sekarang," ujar Evelyn lagi.
Masih tidak ada jawaban dari Tadashi. Pandangannya terlihat kosong, menerawang jauh ke depan. Hanya sekitar dua kilometer lagi mereka sampai di rumah Robert, tetapi pemuda berambut merah itu menepikan mobilnya secara mendadak di pinggir jalan yang sepi. Dengan emosi yang membuncah, ia mengerang, menekan klakson secara kasar, berkali-kali hingga Tadashi dan Evelyn terkejut. Tidak selesai sampai di sana, Robert juga tiba-tiba membuka laci dashboard mobilnya, mencari sesuatu di antara tumpukan kertas dan barang-barang.
"Robert, what are you doing?" tanya Evelyn.
Robert tidak menjawab. Ia mengeluarkan senjata api ringan berwarna hitam dan meletakkannya di atas dashboard. Refleks, mata Tadashi dan Evelyn membola.
"Are you out of your mind? Selama ini kau menyimpan pistol di mobilmu?" bentak Evelyn.
Robert tidak menjawab. Ia menoleh ke arah sahabatnya. "Listen, Tadashi, I know you are in immense stress, tapi, kita harus bertindak. Aku tidak ingin kau menyesal di kemudian hari karena tidak berani bertindak. Kau tidak bisa terus-terusan menjadi idiot penakut yang selalu bersembunyi di balik tempurung."
"Apa-apaan pistol itu? Apa yang kau pikirkan?" bentak Evelyn lagi.
Robert melirik Glock 43 di atas dashboard mobilnya, kemudian balas menatap Evelyn. "Jangan khawatir, ini hanya untuk berjaga-jaga."
Evelyn menelan saliva. Walaupun hanya untuk berjaga-jaga, rasanya berlebihan jika remaja seperti mereka harus menggunakan pistol.
Pemuda berambut merah itu kembali melirik sahabatnya. "So, what's your answer?" tanyanya, sedikit mendesak.
Tadashi menggigit pipi bagian dalamnya pelan. Pikirannya masih berkecamuk, ia menimbang-nimbang segala kemungkinan buruk yang akan terjadi jika dirinya kembali ke rumah dan mengabaikan perintah sang ibu. Namun, segalanya akan menjadi lebih buruk lagi jika ia diam, tidak melakukan apa pun untuk mengubah keadaan.
Pada akhirnya, pemuda bermata sipit itu mengangguk pelan. "Putar balik mobilmu, Robert. Kita ke rumahku sekarang."
Dukung Dream Walker dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟
5 Mei 2022
Maaf banget update-nya super telat, karena dari H-1 lebaran aku bulak-balik ke luar rumah terus dan begitu pulang antara aku kecapekan atau malah migrain (maklum, kalo ketemu banyak orang social energy-nya cepet abis lol, tapi seneng sih), jadi baru nyempetin revisi + update sekarang. Terus harus tunggu-tungguan ilustrasi dulu sama ilustratorku. Aku mulai kehabisan tabungan draft, jadi maaf kalau belum bisa nulis lebih panjang 🥺😩
Semoga vibes lebarannya belum abis. Aku mau minta maaf kalau ada salah kata ataupun perbuatan. Selamat Idulfitri untuk semua pembaca Dream Walker yang merayakan, mohon maaf lahir batin. Semoga ibadah kita sebulan ke belakang diterima oleh Allah, tetap istiqamah, dan semoga kebaikan selalu menghampiri kita semua . Aamiin🤗❤️🙏
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top