40 | Sunset [Part 1]
"Anyway ... setelah lulus nanti, apa yang akan kalian lakukan?"
"Get ready. Kita akan berangkat sekarang juga," ujar Tadashi.
Robert dan Evelyn mengangguk bersamaan, binar semangat terpancar di kedua manik mereka. Lalu, Tadashi memejamkan mata, kalung serigala yang ada di lehernya memancarkan cahaya putih kebiruan. Senyap untuk beberapa saat, tetapi tidak ada yang berubah, ketiganya masih berada di dalam mobil.
Evelyn menoleh ke jendela, mengamati tetesan air yang mengalir. Gadis itu mengernyit ketika air hujan yang baru saja jatuh tidak lagi berwarna bening, melainkan hitam pekat. Ia membelalak, lalu menoleh ke jendela lain, hal yang sama pun terjadi.
"Robert?" bisik Evelyn.
Pemuda berambut merah dengan freckles itu baru menyadari ada hal yang ganjil ketika Evelyn memanggilnya. Kedua mata Robert membola ketika menyadari mobilnya kini diguyur semacam cairan pekat berwarna hitam.
"Mobilku! My dad is going to kill me!" serunya panik.
Lama kelamaan, interior Mercedes-Benz putih itu kehilangan sumber cahaya dari luar akibat cairan tinta yang menghalangi jendela. Akhirnya, kegelapan total meliputi mereka, hanya kalung Tadashi-lah yang bersinar terang di sana. Bagaikan besi yang dipanaskan, jok mobil, dashboard, kemudi, pedal, semuanya meleleh. Ketika segala sesuatunya mencair, tiga remaja itu ikut terjatuh, bagai terisap ke lubang yang sangat dalam. Berbeda dengan Tadashi yang terlihat tenang, Robert dan Evelyn memekik, kedua tangan mereka meronta-ronta di udara.
"Apakah ada seseorang yang memiliki parasut?" pekik Robert. Ia menunduk, melihat kegelapan yang hampa di bawah kakinya, lalu semakin panik.
"Tadashi, bisakah kau membuat kita berhenti jatuh?" teriak Evelyn.
Tadashi terkekeh. "Chill out, guys, sebentar lagi kita akan mendarat."
"Jadi kita akan mendarat tanpa parasut?" pekik Robert lagi. Ia menutup mata rapat-rapat, tidak sanggup membayangkan akan mendarat dengan begitu mengenaskan.
Di titik tertentu, kecepatan jatuh ketiga remaja itu melambat, seperti ada sesuatu yang menahan gaya gravitasi. Kalung serigala di leher Tadashi padam. Robert membuka mata, dirinya menjadi sedikit lebih tenang sekarang. Evelyn sampai lebih dulu, kaki gadis itu menapak ke daratan dengan mulus, disusul oleh dua pemuda lainnya. Ketiganya menoleh ke kanan kiri. Namun, lingkungan sekitar masih berwarna hitam pekat, cukup sulit untuk mengamati keadaan.
"Where are we?" tanya Robert.
Tidak ada yang merespons. Permukaan tempat mereka berpijak kini membentuk sebidang tanah yang melebar, kian meluas setiap detiknya. Evelyn menunduk ketika sesuatu menggelitik kakinya. Perlahan, rumput liar tumbuh, membuat tanah yang semula kecokelatan kini nyaris didominasi oleh warna hijau. Tunas-tunas kecil tumbuh menjadi pepohonan rindang dengan diameter yang cukup luas. Ruangan gelap yang semua hening, kini dihiasi oleh kicauan burung di kejauhan. Ketiganya mendongak, langit hitam pekat perlahan berubah cerah. Gumpalan kapas putih memenuhi langit biru. Hangatnya cahaya matahari menerpa wajah ketiga remaja itu, membuat mereka tidak kuasa menahan senyum.
"Selamat datang di alam mimpi," ucap Tadashi.
"Apa yang terjadi dengan diri kita di dunia nyata?" tanya Evelyn.
Tadashi mengedikkan bahu. "Mungkin kau sedang bersandar di jok mobil? Dengan kedua mata tertutup?"
"Jadi, kita sedang tertidur di dalam mobil?" tanya Robert, sahabatnya itu menjawab dengan anggukan. "Lalu, bagaimana jika ada yang membangunkan kita?" tanyanya lagi.
"Jika itu terjadi, maka aku akan mengetahuinya, dan kita akan terbangun," jawab Tadashi.
Evelyn masih mendongak, pandangannya mengedar. "Entah mengapa aku merasa familier dengan tempat ini."
"Kau memang pernah ke sini, 'kan?" jawab pemuda bermata sipit itu. "Bedanya, waktu itu sedang terjadi badai salju."
Robert menjatuhkan dirinya di atas rumput. Ia berbaring, menjadikan kedua lengannya sebagai bantal. "Aku tidak ingat kapan terakhir kali mengunjungi alam yang masih asri, jadi biarkan aku beristirahat sebentar dan menikmati aroma rerumputan ini!"
"Hey, get up! Bukan ini tujuan utama kita," perintah Tadashi.
Robert mengerang protes. "Oh, ayolah, aku baru saja berbaring!"
Tadashi mendesah pelan, kemudian menggeleng. Evelyn juga masih sibuk mengagumi pemandangan sekitar, tidak mungkin mereka bertiga langsung melanjutkan perjalanan sekarang. Sepertinya tidak ada cara lain selain membawa lokasi tujuan untuk mendekat.
Tadashi memejamkan mata, berkonsentrasi untuk membawa lokasi tujuan tepat ke hadapan mereka. Sejurus kemudian, padang rumput di sekitar bergerak cepat, mengejutkan Evelyn dan Robert yang masih sibuk dengan urusan masing-masing. Dalam sekejap, lingkungan sekitar mereka berganti menjadi tebing dengan langit berwarna jingga kemerahan. Dari kejauhan, terdengar deru ombak di lautan yang begitu jernih. Cakrawala terbentang di hadapan mereka. Dengan cepat Robert bangun, duduk tegak, pandangannya mengedar cepat memindai tempat baru, begitu pula Evelyn.
"Apa yang kau lakukan, Tadashi?" tanya Robert panik.
Tadashi mengedikkan bahu. "Kau tidak mau berjalan, jadi kubuat tebing ini yang menghampiri kita."
"Astaga, kau bisa melakukan itu? Keren!" Robert bangun, menyapukan debu dan kerikil kecil di celananya.
Atensi Evelyn tertuju pada garis horizon yang memisahkan langit dan lautan. Gadis itu berjalan mendekati ujung tebing dengan binar cerah di kedua maniknya. Senyumnya seindah matahari terbenam sore ini.
"It's beautiful," lirihnya.
"Aku setuju." Tadashi berjalan mendekat, kemudian duduk bersila di sebelah Evelyn. Sesekali, ia mencuri pandang ke arah gadis cantik itu. "Aku bisa melakukan ini seharian, menikmati matahari terbenam bersama kalian berdua."
"Well, kurasa kita bisa merayakan kelulusanmu di sini, Tadashi." Robert ikut duduk di sebelah sahabatnya. "Hanya ada sunset dan kita bertiga."
"Meskipun tanpa makanan?" tanya Tadashi.
Robert mengedikkan bahu. "Entahlah, di sini rasa laparku mendadak hilang."
Evelyn tersenyum, gadis itu turut mendaratkan bokongnya di rerumputan, tepat di sebelah Tadashi. Untuk sesaat, ketiganya tidak saling melempar kata. Angin menerpa lembut wajah mereka, membuat anak-anak rambut berkibar. Samar-samar, terdengar kicauan burung camar di kejauhan. Matahari sore ini terasa sangat hangat, berbeda sekali dengan ketika mereka berada di tengah kota.
"Minggu lalu, aku dan Dad mengunjungi Long Beach Boardwalk, tapi sayangnya kami tidak berkesempatan untuk menikmati matahari terbenam. Saat itu adalah akhir pekan. Dibandingkan pemandangan itu sendiri, fokus kami malah teralihkan pada pengunjung yang berlalu lalang." Tadashi memecah keheningan. "Tiba-tiba saja aku punya ide untuk membawa kalian ke sini."
"Ini tempat yang sempurna. Kita harus sering-sering melakukannya!" seru Robert antusias, tatapannya tidak lepas dari garis horizon di hadapannya.
"Yeah." Evelyn mengangguk setuju. "Entah kapan terakhir kali aku mendengar deburan ombak sejernih ini, dan lihatlah langit berwarna jingga itu! Kita terlalu lama terjebak dalam kemacetan dan gedung-gedung pencakar langit."
"Juga terjebak dengan tugas-tugas dan ujian." Robert menimpali. "Jangan khawatir, semua itu akan berakhir, karena kita akan segera lulus!"
Tadashi menyipit. "Robert, kau tahu, 'kan, dunia perkuliahan akan memberikan kita tugas yang lebih banyak?"
"Tentu saja aku tahu, tapi aku bisa beristirahat sejenak saat musim panas, 'kan?"
"Anyway ... setelah lulus nanti, apa yang akan kalian lakukan?" tanya Evelyn.
Robert mengedikkan bahu. "Aku akan berkuliah sambil mempelajari segalanya tentang bisnis. Dad berharap setelah lulus nanti, aku dapat langsung berkontribusi pada bisnis keluarga kami."
Evelyn menoleh ke arat Tadashi. "Kau?"
"Aku belum memikirkan karierku sampai sejauh itu. Mungkin sambil berkuliah, aku akan mendapatkan jawabannya." Tadashi tersenyum. "Sebagai lulusan Seni, tentu banyak yang dapat kulakukan, tetapi aku tidak bisa memutuskannya sekarang. Bagaimana denganmu, Ev?"
"Melihat ibuku tidak bisa melakukan apa-apa ketika masih terjebak oleh status pernikahannya, aku ingin sekali menjadi seorang pengacara, maka karena itu aku benar-benar ingin Yale menerima pengajuan beasiswaku." Kini, giliran Evelyn yang bercerita. "Namun, sejak melakukan kerja sambilan di restoran Tiongkok, aku mendadak ingin menjadi koki. Mungkin aku bisa melakukan keduanya?" Gadis itu terkekeh.
"Well, kau tetap bisa menjadi pengacara dengan hobi memasak." Tadashi menimpali.
"Kau juga bisa membuat puluhan konten video memasak dan mengunggahnya di Youtube. Kau akan terkenal!" seru Robert.
Evelyn terbahak. "Oh, no, itu terlalu berlebihan. Aku tidak pernah bermimpi untuk menjadi terkenal. Itu semua menyebalkan. Hidup terlalu singkat untuk memikirkan pendapat orang lain tentang kita."
"Yeah ...." Robert kembali berbaring, menjadikan kedua lengannya sebagai bantal. "Segalanya memang terlalu singkat, seperti matahari terbenam di hadapan kita. Bisakah waktu berhenti? Satu jam saja, agar kita bisa menikmatinya tanpa terburu-buru?"
"Kau tahu ini mimpi, 'kan? Dan aku dapat membuat senja di hadapan kita tetap seperti ini sampai kita kembali?" ucap Tadashi.
"Tadashi, you're the best!" seru Robert ceria. "Astaga, aku masih tidak terbiasa dengan semua ini."
Tadashi terkekeh. "Jangan terlalu lama bersantai, karena masih ada yang ingin kutunjukkan pada kalian."
Pemuda berambut merah itu menoleh. "Kau ingin membawa kami ke tempat lain?"
Tadashi menggeleng. Pemuda itu beranjak, kemudian berdiri membelakangi matahari. Robert dan Evelyn tidak berkomentar, masih penasaran dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Tadashi menunduk, mengamati bayangan dirinya yang terdistorsi cukup panjang akibat cahaya matahari sore. Tiba-tiba, bayangan tersebut bergerak. Dari sana, sesuatu menyembul keluar, seperti seseorang yang baru saja keluar dari dalam air. Bayangan Tadashi menghilang, tergantikan oleh sosok berwujud manusia tiga dimensi, seperti yang lainnya.
Evelyn terkejut. Ia membelalak, beringsut menjauh, begitu pula dengan Robert yang buru-buru duduk tegak. Namun, keduanya menjadi lebih tenang ketika rupa bayangan tersebut kini membentuk sesuatu yang lebih sempurna, seorang wanita yang cukup familier bagi Robert. Kedua matanya berkilau kuning keemasan, kemudian padam ketika dirinya mengerjap. Sebuah katana digenggam erat di tangan kanannya. Tidak hanya itu, seekor gagak berbulu hitam pekat bertengger di bahunya.
"Hi, Mom. Kuharap kau tidak keberatan untuk datang ke sini," ujar Tadashi pada wanita itu.
"Wait ... apakah itu benar-benar ibumu?" tanya Robert pada Tadashi dengan suara bergetar.
Wanita cantik keturunan Jepang-Indian itu tersenyum ramah. "Aku senang kau masih mengingatku, Robert."
Dukung Dream Walker dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟
14 April 2022
Ada yang penasaran gimana wujud Kagumi waktu muncul? 🤭
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top