4 | I've Made a Decision
Beberapa hari kemudian, jam makan siang, Tadashi dan Robert duduk di bangku kafetaria Red Valley High School. Di hadapan mereka, terdapat roti isi tuna dengan vegetable mix, serta sekarton kecil susu full cream. Kafetaria siang ini tidak terlalu ramai, Sebagian murid yang menikmati makan siang sudah kembali ke kelas maupun ruangan klub ekstrakurikuler masing-masing, berhubung waktu istirahat sudah hampir berakhir.
Ketika sedang mengunyah sandwich-nya, ujung mata Robert menangkap presensi seorang gadis berambut hitam sebahu yang sedang berjalan sambil membawa nampan. Tanpa banyak berpikir, pemuda itu berteriak, "Hai, Ev!"
Gadis yang bernama Evelyn itu menoleh, lalu membalas sapaan pemuda itu. "Hai, Robert!"
"Jam istirahat sudah hampir berakhir dan kau baru mengambil makan siang?" tanya Robert.
"Ah, itu karena aku sibuk membuat catatan setelah kelas selesai. Ketika aku mengunjungi meja klub debat, ternyata semuanya sudah terisi penuh," jawab gadis itu, sedikit kecewa.
Bola mata Robert mengarah ke bangku kosong di seberangnya. "Kalau begitu bergabunglah bersama kami!"
"Sure," jawab Evelyn singkat. Gadis itu berjalan mendekat dan duduk di hadapan mereka.
Mendadak, kupu-kupu yang semula tertidur di perut Tadashi bangun dan menggelitik dinding lambungnya. Mengetahui bahwa pujaan hatinya kini duduk tepat di seberangnya saat makan siang, dirinya menjadi gugup tidak karuan. Beruntung, pemuda beretnik Asia-Kaukasia itu masih pandai menutupinya. Terkadang dirinya bertanya-tanya, bagaimana caranya ia bisa bersikap natural di depan Evelyn, persis seperti yang Robert lakukan saat ini?
Ketika Evelyn sibuk menyuap vegetable mix miliknya, Robert menendang kaki Tadashi. Pemuda berambut hitam itu melirik sahabatnya. Hanya dari mata, Tadashi dapat membaca kode-kode yang diberikan Robert. Kira-kira, sahabatnya itu berkata semacam 'Itu Evelyn. Ajak dia bicara!' Namun, Tadashi balik menatapnya nyalang sambil menggeleng kecil, membuat Robert frustrasi setengah mati.
"Apa kau masih aktif di klub debat?" Pada akhirnya, Robert-lah yang harus berinisiatif membuka percakapan.
"Tidak terlalu. Dulu, aku selalu mengikuti perlombaan tanpa absen. Namun, kini pelatih kami lebih banyak mengirimkan murid tingkat pertama dan kedua untuk dijadikan peserta. Kami, para senior, hanya bertugas untuk membimbing mereka." Evelyn bercerita.
"Yeah, lagi pula, sebentar lagi kita lulus. Ada hal yang lebih penting untuk diprioritaskan." Tadashi menimpali sambil mengigit tuna sandwich.
Evelyn mengangguk setuju. "Yeah, kita harus fokus pada ujian. Beberapa universitas bahkan sudah membuka pendaftaran."
"Kau sudah memutuskan akan melanjutkan kuliah di mana?" tanya Tadashi.
"Yale University," jawab Evelyn dengan penuh percaya diri. Senyumnya merekah. "Jurusan Hukum."
"Wow, kau memilih jurusan yang diminati hampir semua orang," respons Robert
"Yeah, tapi mereka juga menerima pengajuan beasiswa, meskipun kuotanya tidak banyak," terang Evelyn. "Di setiap sekolah mungkin hanya diterima satu atau dua murid saja. Namun, itu bukan masalah, yang mendaftar lewat jalur beasiswa memang tidak banyak."
"Tampaknya persaingan yang kau hadapi akan sangat ketat. Kau sudah mendaftar?" tanya Tadashi.
"Aku sudah mendaftar online dua minggu yang lalu."
"Yale juga membuka pendaftaran via online?" tanya Tadashi lagi.
Gadis itu mengangguk. "Kuharap aku bisa unggul dan tidak perlu bersaing dengan murid-murid jalur reguler dari seluruh penjuru Amerika, bahkan luar negeri." Evelyn meneguk susu full cream-nya. "Bagaimana dengan kalian?"
"Aku belum memutuskan akan lanjut berkuliah atau tidak. Namun, jika iya, mungkin aku akan mengambil jurusan Bisnis," jawab Robert, "Dad mengelola bisnis keluarga, dan ia ingin menjadikanku penerusnya di masa depan."
Mendengarnya, Evelyn tersenyum dan mengangguk antusias. "Cool! Bisnis apa yang ayahmu kelola?"
"Dad memiliki usaha percetakan, spesifiknya di industri bungkus makanan." Robert mengambil karton susu full cream di atas meja dan menunjukannya pada Evelyn. "Seperti karton susu ini." Kemudian, pemuda berambut merah itu menoleh ke arah pemuda di sampingnya. "Bagaimana denganmu, Tadashi?"
"Sudah pasti berkuliah, tapi aku belum menemukan jurusan dan universitas apa yang cocok untukku," jawab Tadashi seadanya.
"Sebaiknya kau segera menentukan pilihan. Beberapa universitas terbaik sudah membuka penerimaan mahasiswa baru. Kesempatan tidak datang dua kali," ucap gadis berambut hitam pendek itu.
"Menurutmu ... jurusan apa yang kira-kira cocok untukku?" tanya Tadashi.
Evelyn mengedikkan bahu. "I don't know. Kau harus memilih berdasarkan keinginan hatimu. Jika kau sendiri tidak bisa menjawabnya, bagaimana orang lain bisa mengetahuinya?"
"She has a point." Robert menjentikkan jari. "Masalahnya ada padamu. Hanya kau yang bisa menjawabnya."
"Sudah pernah mengunjungi guru konseling untuk meminta saran?" tanya Evelyn pada Tadashi.
"Not yet." Tadashi menggeleng.
"Kalau begitu, kau harus mencobanya."
"Itu ide yang cukup bagus. Aku akan mempertimbangkannya." Tadashi tersenyum.
Kini, keheningan meliputi ketiganya. Tadashi tidak sengaja menutup percakapannya dengan Evelyn. Untuk mengalihkan rasa canggung, ia meneguk habis susu full cream-nya.
Akibat kebodohan Tadashi dalam mencari topik pembicaraaan, makan siangnya dengan Evelyn lebih banyak dihabiskan dengan tidak saling bicara satu sama lain. Pada akhirnya, bel masuk kelas berbunyi dan gadis berambut hitam sebahu dengan highlight biru itu memutuskan untuk merapikan nampan makan siangnya, lalu bergegas kembali ke kelas. Melihat tidak adanya perkembangan yang signifikan, tampaknya Robert harus bersabar lebih keras lagi.
Namun, setelah pembicaraannya dengan Evelyn tadi, Robert menangkap perubahan raut wajah sahabatnya. Air muka Tadashi mendadak cerah, seolah-olah pemuda itu baru saja memenangkan lotre seharga ribuan dolar.
"Ada apa dengan wajahmu?" tanya Robert sambil berjalan di koridor, tepat di samping Tadashi. Dua pemuda itu kini bergegas menuju kelas Bahasa Inggris.
"Aku sudah menentukan pilihan akan berkuliah di mana," jawab Tadashi dengan senyum lebarnya.
*****
Sepulang sekolah, keduanya duduk di lab komputer, menatap monitor yang sama. Tadashi sedang asyik menggulir kursor, tampilan layar 21 inch di hadapannya menampilkan website Yale University.
"Dari mana kau mendapatkan ide untuk berkuliah di Yale?" tanya Robert. "Kukira kau hanya mempertimbangkan MIT, Stanford, atau Harvard."
"Yale adalah salah satu universitas Ivy League. Selama kelas Bahasa Inggris tadi, aku sibuk mencari-cari informasi di Google. Rupanya, Yale Law School menawarkan program terbaik untuk Jurusan Hukum," jawab Tadashi tanpa memalingkan pandangan dari layar komputer.
"Wait, what? Hukum? Sejak kapan kau tertarik mempelajari hukum?" tanya Robert lagi, sedikit skeptis.
Tadashi tidak menjawab, masih sibuk pada tampilan website di hadapannya.
"Jangan bilang kau ...." Robert menjeda perkataannya. "Memilih Yale karena Evelyn?"
Pemuda berambut sewarna langit malam itu mengedikkan bahu. "Evelyn hanya menginspirasiku. Ketika aku mencari informasi lebih jauh, rupanya program yang mereka tawarkan cukup menarik. Banyak lulusan Yale yang memiliki karier cemerlang."
"Are you sure about this?" tanya Robert lagi.
"Diterima atau tidak, yang terpenting aku sudah mencoba untuk mendaftar." Tadashi membuka halaman program beasiswa sarjana hukum yang diadakan oleh Yale University, kemudian menguduh formulir pendaftarannya.
"Setidaknya mulai sekarang kau harus rajin mengunjungi perpustakaan untuk mencari tahu segalanya tentang hukum," ujar Robert.
"Itu gampang," ucap Tadashi tanpa beban. Pemuda itu memasukkan formulir pendaftaran beasiswa Yale ke dalam flash disk, kemudian menyerahkan mouse pada Robert. "The computer is yours now!"
Pemuda berambut merah dengan freckles di pipi itu mengambil alih mouse, kemudian mendesah pelan. "I have a bad feeling about this," gumamnya.
Jika dibandingkan dengan Tadashi, Robert membutuhkan waktu lebih lama untuk berselancar di dunia maya. Awalnya, ia ingin mengunduh formulir pendaftaran jurusan Bisnis di Harvard, tetapi pemuda itu mengurungkannya.
"Mengapa kau tidak mencobanya?" tanya Tadashi tanpa memalingkan pandangan dari ponsel. Pemuda itu duduk bersandar di kursi.
"Nilaiku tidak sebagus kau. Ditambah lagi, aku masih hobi membolos. Berkuliah di Harvard adalah ide yang buruk," jawab Robert pahit.
"Robert!" Tadashi menegakkan tubuhnya sambil berseru. Atensinya masih tertuju pada ponsel. "Kurasa NYU cocok untukmu!"
"New York University?" tanya Robert datar. "Cool, universitas itu hanya beberapa langkah dari rumah."
"Kau tahu mereka juga memiliki jurusan Bisnis?"
"Really? Aku tidak pernah tahu soal itu," jawab Robert tanpa beban sedikit pun.
"Cobalah mendaftar ke NYU!" Tadashi bersikeras.
"Kau gila! Universitas bergengsi seperti NYU tidak akan mau menampung calon mahasiswa sepertiku!" seru Robert.
"Bagaimana dengan Yale University? Apakah mereka sudah pasti menerimaku?" Tadashi membalikkan pertanyaan sahabatnya.
"No ... but ...."
"Coba saja! Siapa tahu kali ini keberuntungan berpihak padamu!"
"Baiklah, jika kau memaksa." Robert langsung membuka website New York University dan membuka halaman pendaftaran mahasiswa baru Jurusan Bisnis, kemudian mengunduh formulir tanpa membaca isi halamannya.
"Kau mengunduh formulirnya tanpa mencari informasi terlebih dahulu?" protes Tadashi.
"Itu tidak perlu, aku percaya pada omonganmu." Robert terkekeh. Padahal, ia hanya malas membaca halaman website di hadapannya untuk mencari informasi.
Keduanya telah menentukan pilihan, lalu pulang ke rumah masing-masing dengan perasaan lega. Tadashi merasakan seolah-olah beban berat yang dipikulnya selama ini menghilang seketika. Kegundahannya tentang masa depan berkurang. Setidaknya, ia sudah menentukan pilihan. Sisanya, biarlah semesta yang bekerja untuknya.
Dukung Dream Walker dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟
8 Mei 2021
*****
GLOSSARIUM
Sebagai bagian dari Yale University, Yale Law School merupakan salah satu sekolah hukum terbaik di dunia.
Sekolah hukum yang terletak di Connecnticut, Amerika Serikat ini dikenal sebagai sangat selektif dalam menyeleksi mahasiswa yang akan berkuliah di sini. Yale Law School hanya menyediakan jatah kursi yang sangat sedikit dan tidak sebanding dengan jumlah pendaftar yang berasal dari seluruh penjuru dunia.
Sekolah ini berdiri sejak 1824 dan memiliki program Sarjana, Master hingga Doktoral. Bahkan, sejak 2013 lalu, Yale Law School membuka program doctor filosofi dengan gelar Ph.D.
Sekolah hukum yang satu ini berhasil meluluskan pemimpin-pemimpin dunia dan hakum agung Amerika Serikat. Tak heran jika setiap tahun, peminat di Yale Law School selalu bertambah.
Jika berkunjung ke New York, pasti tidak mungkin melupakan New York University (NYU). Pada akhir 1970-an, NYU adalah sekolah komuter regional, rumah bagi anak-anak asli seperti John Paulson, yang dibesarkan di East River, yakni kompleks apartemen kelas menengah di Queens. Paulson kemudian meninggalkan NYU untuk bepergian, lalu kembali untuk mengambil gelar bisnis sebelum pergi ke Harvard untuk meraih gelar MBA (Master of Business and Administration).
Bagi yang belum tahu, John Alfred Paulson adalah seorang investor dan manajer hedge fund terkemuka. Dia memimpin Paulson & Co., perusahaan manajemen investasi yang berbasis di New York. Dia disebut sebagai "salah satu nama paling menonjol di bidang keuangan" dan "seseorang yang telah membuat salah satu kekayaan terbesar dalam sejarah Wall Street".
Saat ini, sekitar 74% alumni miliarder NYU tercetak dengan usaha sendiri. Persentase yang sama seperti Harvard.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top