39 | Another Rainy Day in New York
"Yeah, I'm a sorcerer supreme now."
Satu minggu berlalu tanpa terasa. Sejak mengetahui jati diri sang ibu, Tadashi dapat sedikit bernapas lega. Kagumi adalah wanita hebat yang akan melindunginya, baik dari Wendigo maupun Akando. Jangan lupakan Dakota yang juga merupakan seorang pemanggil petir keturunan suku Indian. Tadashi bisa kembali fokus pada pendidikannya.
Hari ini bisa dibilang spesial bagi Tadashi, karena Yale School of Art akan mengumumkan penerimaan mahasiswa baru lewat website. Sejak pagi tadi, pemuda itu merasa sangat gelisah sampai-sampai tidak bisa berkonsentrasi melakukan apa pun. Ini adalah kesempatan terakhirnya. Jika gagal, ia harus berjuang kembali dari awal.
Untuk mengurangi rasa cemas yang dirasakan Tadashi, Robert berinisiatif untuk mengajak sahabatnya pergi menghirup udara segar. Pemuda berambut merah itu juga turut mengajak Evelyn. Awalnya, mereka berniat mengunjungi Central Park. Namun, tiba-tiba saja langit menjadi tidak bersahabat. Gumpalan kapas mendung menutupi cahaya matahari, diikuti oleh air hujan yang susul menyusul jatuh ke daratan, semakin deras hingga ketiganya tidak mungkin keluar dari dalam mobil.
"Hujannya semakin deras," ujar Robert ketika Mercedes-Benz putihnya terjebak lampu merah. Terdengar rintik-rintik hujan baik di kaca maupun atap mobil. Kedua tangannya menggenggam kemudi. "Perubahan rencana. Kita tidak bisa pergi ke lokasi outdoor."
"Dang! Sialnya kita," gerutu Tadashi di bangku penumpang depan. Rona di wajahnya semakin keruh. Ia setuju pergi ke luar rumah untuk menenangkan pikiran, tetapi benang kusut di dalam kepalanya malah semakin menjadi.
Evelyn duduk tegak di kursi belakang, menempatkan tubuh di antara dua kursi depan. "Hei, hei, ada apa dengan wajahmu? Kau sudah memikirkan soal kuliah selama lima hari dalam seminggu. Sekarang akhir pekan, biarkan otakmu beristirahat! Jangan biarkan hujan di luar merusak suasana hatimu."
"Yeah, Ev benar. Aku tahu kau tegang, but chill, Man. We know you'll pass," ujar Robert.
"Dan jika kau lulus, kami akan menemanimu berkendara ke Yale untuk interview terakhir," tambah Evelyn.
"Sounds like a plan!" seru pemuda berambut merah itu, sedikit antusias.
"Yeah ... that's the plan, at least," ucap Tadashi datar.
Lampu lalu lintas kembali hijau. Robert menginjak pedal gas, membawa mobil mewahnya tanpa arah dan tujuan. Namun, hal itu tidak sepenuhnya buruk. Kota New York yang dilanda hujan dengan intensitas sedang cukup menarik untuk dinikmati. Beberapa pejalan kaki dengan pakaian tebal menyeberang dengan payung. Berbagai kendaraan bermotor melaju lebih lambat dari biasanya, tidak ingin mengambil risiko untuk memercikan kubangan air ke sekitar. Akibat langit yang mendung, lampu-lampu pertokoan dan perkantoran terlihat menyala lebih terang, membuktikan bahwa New York memang kota yang tidak pernah beristirahat.
"Anyway, how's your work, Ev? Mengapa kau bisa ikut dengan kami? Apa kau cuti hari ini?" Robert memecah keheningan.
"Apa aku belum bilang? Aku tidak lagi bekerja sambilan sejak bulan lalu," jawab Evelyn.
Robert menoleh sekilas ke arah gadis itu. "Really?"
Evelyn mengangguk. "Jadi ... ini semua berawal ketika aku jarang menghabiskan waktu di apartemen dan sesekali pulang ke rumah."
"Kukira kau membenci rumahmu?" tanya Robert.
"Pada awalnya, tetapi kini kedua orang tuaku telah memutuskan untuk bercerai."
"Oooh ... I'm really sorry to hear that," lirih Robert.
"Sebenarnya aku cukup senang." Evelyn tersenyum. "Dengan menghilangnya ayahku dari rumah, tidak akan ada lagi pertengkaran dan Mom akan baik-baik saja."
"Jadi, hubunganmu dan keluargamu sudah membaik?" tanya Robert lagi.
Evelyn mengangguk ceria. "Setelah diterima jalur beasiswa, hubunganku dan Mom membaik, bahkan keluarga dari pihak ibuku sempat mengadakan pesta kecil-kecilan di apartemen. Mom bahkan memasak orange chicken selama dua hari berturut-turut! Lalu setelah lulus, aku dan Mom memutuskan untuk tinggal bersama lagi di New Haven. Kami akan mencari apartemen kecil yang dekat dengan kampus."
"Ah, aku turut senang. Kau dapat berkuliah dengan tenang pada akhirnya." Robert memutar kemudi ketika sampai di persimpangan.
"I guess." Evelyn kemudian melirik Tadashi yang tidak mengucapkan sepatah kata pun sejak tadi dan malah fokus pada ponselnya. "Hey, van Gogh? Are you listening?"
Tadashi tersentak. Konsentrasinya buyar. "Maaf, aku sedang mengecek hasil kelulusan."
Evelyn mendengkus. "Bisakah kau singkirkan ponselmu sedetik saja?"
"Baiklah." Tadashi memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. "Lagi pula, aku lulus."
"Yeah, aku sudah tahu kau pasti akan lulus." Robert terkekeh. "Right, Ev?"
"Yeah!" Evelyn ikut tertawa kecil.
Beberapa detik kemudian, tawa mereka pudar. Setelah menyadari ada sesuatu yang ganjil, keduanya saling pandang. Senyap untuk sesaat.
"You what?" seru Robert dan Evelyn bersamaan.
*****
Setelah mendengar kabar mengejutkan itu, ketiganya heboh bukan main. Setelah luapan euforia kelulusan Tadashi sedikit mereda, mereka bertiga memutuskan untuk merayakannya secara resmi. Mercedes-Benz putih itu menepi di halaman parkir sebuah restoran fast food. Langit masih membasahi bumi, tetapi dengan intensitas yang lebih rendah.
"Just another fried chicken and french fries. It doesn't feel like celebrating," keluh Evelyn dengan sekaleng soft drink di tangannya.
"Well, bukan kau yang sedari tadi duduk di bangku kemudi dan berkutat dengan pedal gas. Mengelilingi New York tanpa arah dan tujuan tentu membuatku lapar," cibir Robert. Pemuda berambut merah itu menoleh ke arah sahabatnya. "Ngomong-ngomong, apa jadwal interview-mu sudah keluar?"
Tadashi tidak menggubris. Ia tersenyum kecil menatap ponselnya, masih terhanyut dengan berita menggembirakan itu. Robert menyikut Evelyn, kemudian mengarahkan dagunya pada Tadashi. Evelyn yang paham akan kode tersebut, menempelkan minuman dingin di tangannya ke pipi Tadashi.
"Whoa!" Tadashi terkejut.
"Earth to Tadashi?" seru Robert.
"Yeah, sorry, sorry." Pemuda bermata sipit itu melepas pandangannya dari ponsel, kemudian menoleh ke sekitar. "Jadi ... apa yang akan kita lakukan sekarang?"
Evelyn melotot. "Aku dan Robert berdebat sejak tadi dan kau tidak mendengarnya sama sekali?"
"Aku lapar, dan aku ingin makan. Kebetulan kita melewati restoran fast food, bagaimana jika kita merayakan penerimaan mahasiswa barumu di sini?" Robert menimpali.
"Yeah, itu bukan ide yang buruk," jawab Tadashi seadanya.
"Tapi apa kau tidak ingin merayakannya dengan hal yang lebih menarik?" tanya Evelyn. "Seperti ... pergi ke restoran Italia? Atau Thailand?"
"Ev, yang baru saja mendapat pengumuman penerimaan itu Tadashi, bukan kau!" protes Robert.
"Aku bertanya pada Tadashi, bukan kau!" Evelyn membalas.
"I don't have any idea," ucap Tadashi lagi.
"Mau bagaimanapun, ini hari spesialmu. Apa kau tidak punya ide sama sekali?" tanya Robert pada sahabatnya.
Tadashi bersedekap, mencoba berpikir. Hening, hanya terdengar rintik-rintik hujan yang membasahi jendela mobil. Evelyn kembali bersandar pada bangku penumpang belakang, menghabiskan minuman dinginnya yang tinggal separuh. Robert mengambil ponselnya di atas dashboard, kemudian memainkannya. Cukup lama ketiganya tidak saling melempar kata, hingga hujan yang mengguyur Kota New York kembali membesar.
Tadashi menerawang jauh melewati kaca mobil yang memburam akibat tetesan air yang mengalir deras. Tidak ada yang spesial di sana, hanya sebuah restoran fast food dengan beberapa pelanggan yang berlalu lalang di dalamnya. Tiba-tiba saja, terlintas satu ide yang cukup cemerlang. "Kita tidak harus merayakannya di sini, 'kan?"
Robert mengedikkan bahu. "Well, jika kau ingin mengunjungi restoran lain, aku tidak bisa memaksa. Aku masih bisa menahan lapar, yeah, walaupun sebentar."
"No, no, maksudku, di New York, di dunia kita." Tadashi menatap Robert dan Evelyn bergantian. "Kalian ingin merasakan apa yang disebut dream walking?"
Mendengar ide Tadashi, spontan kening Robert dan Evelyn bertaut.
"Bukankah itu berbahaya?" tanya Robert skeptis.
"Yeah. Aku ingat betul terakhir kali tidak sengaja melakukan dream walking, Wendigo nyaris memakanku hidup-hidup." Evelyn menimpali.
"Okay, first, you guys don't have to worry. Let me show you something," ujar Tadashi dengan percaya diri.
Pemuda berambut hitam itu mengeluarkan kalung taring serigala pemberian Dakota dari balik jaket dan kaus katun yang dikenakannya, lalu memejamkan mata. Hening untuk sesaat. Robert dan Evelyn tidak berkedip sama sekali, masih menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Ketika Tadashi membuka mata, cahaya kuning keemasan terpancar di kedua netranya. Baik Robert maupun Evelyn, keduanya terkejut bukan main, nyaris terperanjat dari posisi duduknya. Namun, setelah pemuda itu menceritakan segalanya tentang suku Indian dan kemampuan dream walking-nya, hal tersebut menjadi lazim.
"Your eyes ...," bisik Evelyn, masih terkejut.
"Whoa, kau sudah naik level!" celetuk Robert, membuat Tadashi tertawa.
"Yeah, I'm a sorcerer supreme now," gurau pemuda keturunan asia-kaukasia itu. Ia mengangkat jari tengah dan telunjuk, kemudian menyatukannya. Tangan lainnya ia gerakan sedemikian rupa, layaknya Doctor Strange yang sedang merapalkan mantra.
"Bagaimana kau bisa bercanda di saat seperti ini?" desis Evelyn. "Apa yang terjadi dengan matamu?" tanya gadis itu panik.
"Daripada menjelaskan, bagaimana jika aku menunjukannya secara langsung?" tanya Tadashi. Ia berkedip, cahaya di kedua netranya padam.
Robert dan Evelyn tidak langsung menjawab. Keduanya saling pandang. Perlahan mereka tersenyum, lalu menoleh kembali kepada Tadashi dan mengangguk antusias.
Tadashi mengarahkan telapak tangannya ke atas, lalu menyodorkannya pada dua remaja itu. "Letakkan tangan kalian di sini."
"Apa ini? Kau akan melakukan ritual, seperti seorang dukun?" tanya Robert. Ia tidak ragu sama sekali. Kini tangannya sudah berada di atas milik Tadashi.
"Sssttt!" desis Evelyn, menginterupsi. Gadis itu turut meletakkan miliknya di atas tangan Tadashi yang lain.
"Get ready. Kita akan berangkat sekarang juga," ujar Tadashi.
Dukung Dream Walker dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟
9 April 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top