37 | The Beach [Part 2]
Tempat yang sama, dua puluh tahun yang lalu.
Seorang pemuda berambut pirang dengan kemeja putih panjang yang lengannya dilipat hingga sepertiga duduk di bangku komunal. Ia mengeluarkan sekotak rokok dari dalam saku celana, menyalakannya dengan pemantik, kemudian mengisapnya. Ia mengembuskan napas dari mulut, disusul oleh hadirnya asap tipis-tipis yang mengepul di udara sekitar.
Pemuda itu duduk bersandar di kursi panjang sambil bertumpang kaki. Mengisap tembakau yang dilinting membuatnya rileks. Ia beruntung mendapatkan kursi yang teduh, berhubung matahari siang ini begitu terik hingga terasa membakar kulit. Di dekat bibir pantai, ia melihat banyak pengunjung dengan pakaian renang, baik yang berlalu lalang maupun bersantai. Gadis-gadis seusianya terobsesi dengan kulit eksotis, hingga rela melakukan tanning di siang bolong. Ia menggeleng, masih tidak mengerti mengapa seseorang rela menyiksa diri untuk menjadi cantik.
"Idiots," desisnya. Ia kembali mengisap rokok. "Bagaimana jika kanker kulit lebih dulu menghampiri mereka sebelum kulit mereka berubah menjadi cantik?"
Pemuda itu kembali mengembuskan rokok, kemudian memejamkan mata. Tidak, ia tidak seharusnya menghakimi pilihan orang lain, itu akan membawa efek buruk pada suasana hatinya. Siang ini, ia memang sengaja pergi dari kantor untuk menenangkan pikiran. Pada awalnya, pemuda itu berniat untuk mengunjungi lokasi yang lebih sejuk, tetapi hanya pantai inilah yang berada paling dekat dengan kantor. Untung saja ia memiliki waktu satu jam sebelum kembali berkutat dengan desain furnitur-furnitur bongkar pasang itu. Seharusnya di waktu yang singkat ini, ia hanya memikirkan dirinya sendiri.
"Ah, senang rasanya terbebas dari pria tua yang hobinya memerintah itu." Pemuda berambut pirang itu mengomel soal bosnya, lalu membuka mata. "Menyebalkan. Ia hampir tidak pernah menghargai desain yang kubuat dengan susah payah."
Pandangannya kembali mengedar. Long Beach Boardwalk di hari kerja tentu tidak sepadat akhir pekan. Kios-kios makanan sedikit sepi, sehingga pengunjung yang datang tidak perlu mengantre terlalu lama. Tidak banyak pula yang berlalu lalang di jalanan setapak beraspal. Area pantai pun terlihat tidak sepadat biasanya, begitu pula dengan bangku-bangku komunal, hanya beberapa saja yang terisi.
Namun, bukan itu yang menjadi fokus Andrian muda, melainkan seorang gadis yang duduk di komunal samping kanannya. Jaraknya mungkin sekitar tiga meter. Sosok itu mengenakan tanktop berwarna navy yang dimasukkan ke dalam celana jeans hitam, dilengkapi dengan sneakers dengan warna senada.
Gadis muda itu memiliki rambut hitam panjang yang tergerai rapi. Tidak ada garis lipatan kelopak mata, khas orang Asia, tetapi kulitnya lebih gelap. Ia duduk bertumpang kaki, sama seperti Andrian. Atensinya tertuju pada buku kecil yang diletakan di atas paha. Tangan kanannya sibuk mencatat sesuatu dengan pensil. Entah mengapa, ekspresinya yang menggebu-gebu membuat Andrian ingin tertawa. Mengapa gadis itu harus menorehkan pensil dengan ekspresi seperti itu? Apa sebenarnya yang ia tulis?
Cukup lama Andrian mencuri-curi pandang, hingga gadis itu merasa diperhatikan dan balas menoleh. Pemuda berambut pirang itu buru-buru mengalihkan pandangan. Mendadak, jantungnya berdetak lebih cepat. Ia merutuki diri sendiri, tetapi tidak kuasa menahan senyum. Lagi pula, siapa yang bisa menahan diri dari kecantikan gadis di sampingnya?
Andrian kembali melirik gadis itu, lagi-lagi pandangan mereka bertemu. Merasa tidak boleh berpaling lagi, Andrian menyunggingkan senyum. Di luar dugaan, gadis itu pun membalas. Seketika kepercayaan diri Andrian meningkat. Ya, ia tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan berharga seperti ini. Kapan lagi ia bisa berkenalan dengan sosok itu? New York adalah kota dengan penduduk yang sangat padat, jika ia tidak melakukannya sekarang, mungkin tidak akan ada lagi kesempatan lainnya.
"Alright, Andrian, you got this!" gumamnya sambil mengatur napas. Ia membuang rokok di atas aspal, kemudian menginjaknya hingga padam. Pemuda itu mengibaskan tangan di udara, mengusir kepulan asap tembakau agar tidak menempel di kemejanya.
Andrian beranjak, kemudian berjalan menghampiri. Merasakan seseorang berdiri di dekatnya, gadis itu mendongak, mendapati pemuda yang tadi tersenyum kini sudah berada tepat di depannya. Sinar matahari yang terik kini tertutup oleh tubuhnya yang jangkung, layaknya pemuda kaukasia lainnya.
"Bangku di sampingmu kosong?" tanya Andrian.
Gadis itu mengangguk santai. Langsung saja Andrian mendaratkan bokongnya di sana.
"Apa yang sedang dilakukan gadis seeksotis dirimu sendirian di siang bolong seperti ini?" tanya Andrian.
Gadis itu mengangkat salah satu alisnya. "Eksotis? Seperti hewan langka?"
"Tidak, bukan hewan, tetapi untuk langka ... ya, kau tidak sepenuhnya salah." Andrian mengamati pakaian yang dikenakan gadis di sampingnya. "Karena aku belum pernah melihat gadis eksotis sepertimu dengan gaya berpakaian yang unik."
Gadis itu menunduk, melihat pakaian yang dikenakannya saat ini dengan raut keheranan. "Kau tahu ini hanya tanktop navy dan jeans hitam, 'kan?"
"Exactly!" Andrian menjentikkan jari. "Maksudku, lihatlah tren berpakaian masa kini. Semuanya kedodoran dan berwarna warni. Yucks! Terlalu menyilaukan di mata!"
"Alright, Mr. Fashionista." Gadis itu tertawa. "How about you?"
"Me?"
"Apa yang sedang dilakukan seorang pemuda dengan kemeja lengan panjang dan celana kantoran berwarna hitam di pantai? Di siang bolong seperti ini?" Gadis itu menyeringai.
Andrian mengedikkan bahu. "Well, aku ini adalah seorang seniman dengan visi cemerlang. Aku terbiasa mencari inspirasi di mana saja."
"Seniman?" Gadis itu mengangkat salah satu alis. Jika dibandingkan seniman, pemuda di hadapannya kini lebih mirip dengan budak korporat yang sering bekerja di bawah tekanan, dan tentu saja otak kirinya yang dominan dipakai, bukan kanan.
"Yeah, dan sayangnya dunia terlalu kejam untuk menerima seseorang yang bertalenta sepertiku." ujar Andrian, sedikit meninggi.
Gadis itu tertawa sarkas. "Apakah kau selalu meninggi seperti ini?"
"Aku menyebutnya kepercayaan diri."
"Whatever." Gadis itu tersenyum, melirik pemuda di sampingnya dari ujung kepala hingga ujung kaki, kemudian menopangkan tangan di paha, menunggunya berbicara lagi.
"Oke, sudah cukup tentangku." Andrian melirik buku catatan kecil di pangkuan gadis itu. "Tell me about what you wrote there!"
"Oh, this book?" Gadis itu memperlihatkan buku kecil di tangannya. "Just a list of my targets to kill."
Andrian bergeming sesaat dengan wajah datar. "To kill?"
"Yep!" Gadis itu tersenyum manis sambil mengangguk.
Mendengarnya, Andrian tertawa. Rupanya gadis ini punya selera humor yang unik. "Ah ... you mean, your competitors, right?" tanyanya
"I guess, if you put it that way," balasnya, gadis itu lanjut menulis.
Sebenarnya Andrian ingin sekali mengintip apa yang ditulis oleh gadis itu, tetapi jarak pandangnya terbatas dan ia tidak ingin tertangkap basah. Satu saja kesalahan, pendekatan yang dilakukannya akan sia-sia.
"So ... what are you doing for a living?" Andrian mengalihkan pembicaraan.
Gadis itu berhenti menulis, menoleh ke arahnya. "Bukankah aku sudah bilang bahwa aku ini seorang pembunuh?"
"Oh, right, my bad!" Andrian tertawa hambar.
Setelahnya, hening untuk sesaat, hanya terdengar deburan ombak dan percakapan orang-orang di sekitar mereka. Diam-diam, Andrian melirik gadis di sampingnya dengan sudut mata. Sebenarnya, pemuda itu masih berusaha mencerna apa yang baru saja didengarnya. Gadis secantik itu adalah seorang pembunuh? Ah, rasanya tidak mungkin. Namun, bagaimana bisa ia melontarkan candaan dengan raut wajah seserius itu? Apakah gadis itu benar-benar sedang mengerjai Andrian?
Dalam keheningan, gadis itu berhenti menulis, kemudian menoleh. Melihat raut wajah Andrian yang begitu tegang, ia tertawa. "Well, well, Andrian Reyes. Kau terkejut?"
"Dari mana kau tahu namaku?" Andrian terkejut, mendadak merasa ngeri. Gadis ini tidak akan membuat boneka voodoo yang mirip denganku dan melenyapkanku begitu saja demi menjaga identitasnya, 'kan?
Gadis itu meraih ID tag yang menggantung di kemeja Andrian. "Di sini tertulis Andrian Reyes, seorang junior designer dengan visi yang cemerlang."
"Oh, right!" Andrian tertawa canggung, kedua pipinya memanas. Ia tidak pernah merasa semalu ini seumur hidupnya.
"Kagumi," ucap gadis itu tiba-tiba.
"Sorry?"
"Kagumi. Itulah namaku." Gadis itu tersenyum, membuat Andrian semakin salah tingkah. Ya, tidak mungkin ia berhadapan dengan pembunuh semanis ini, 'kan?
"Okay ...." Andrian mengulurkan tangan. "Nice to meet you, Kagumi."
Kagumi melirik tangan Andrian, kemudian kembali menatap sepasang netra lawan bicaranya. Ia menyambut uluran tangan tersebut.
"Kau cukup menyenangkan untuk diajak bicara," ucap Kagumi.
Mendengar pujian itu, Andrian senang bukan main. Sekitar satu menit ke depan, keduanya tidak saling melempar kata. Andrian bersandar pada kursi komunal, mengedarkan pandangan ke sekitar untuk meredam perasaan gugupnya. Di kejauhan, ia melihat kios yang didominasi dengan warna merah. Antreannya cukup panjang, dan entah mengapa itu begitu menarik perhatiannya, terlebih lagi banyak pengunjung yang membawa es krim cone setelah pergi dari kios itu.
"Mau mengobrol sambil makan es krim?" tanya Andrian, memecah keheningan di antara mereka.
Kagumi mengangguk. "Tapi kau yang bayar, dan aku akan membayar kudapan di pertemuan kita selanjutnya."
Andrian tidak kuasa menahan senyum. Ia mengangguk, kemudian mengajak gadis itu untuk membeli es krim. Tanpa sepengetahuan Kagumi Andrian mengepalkan tangan, meneriaki 'yes!' dalam hati. Itu artinya, pendekatan yang dilakukannya berhasil dan akan ada pertemuan-pertemuan selanjutnya, 'kan?
Dukung Dream Walker dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top