34 | The Dark Truth
Tangga kayu berdecit ketika Tadashi melangkah turun menuju basement. Pemuda itu mengintip, mendapati pria asing yang baru saja menyerang rumahnya kini telah siuman. Ia duduk di sebuah kursi kayu dengan tali tambang yang mengikat tubuhnya kuat-kuat. Tatapannya kosong, meskipun terdapat luka di perutnya, pria itu tampak seperti tidak merasakan sakit. Padahal, Tadashi sendiri sudah merasa ngilu ketika melihat pakaiannya bersimbah darah. Keadaannya cukup mengenaskan. Wajahnya membiru akibat memar, mungkin akibat dari pukulan Dakota beberapa saat lalu. Sudut bibirnya robek, terdapat noda darah yang telah mengering di sana.
Pemuda berambut hitam itu berhenti di belakang tubuh sang ibu yang sedang bersedekap. Di depannya, sang kakek sedang berhadapan langsung dengan pria asing itu.
Kagumi menoleh, tersenyum pada putranya. "Sudah merasa lebih baik?"
Tadashi mengangguk. "Yeah ... I will try my best to face whatever comes."
Obrolan itu terputus ketika terdengar suara pukulan, disusul oleh erangan kesakitan. Tadashi dan Kagumi menoleh, mendapati Dakota meninju perut pria itu. Tadashi dengan refleks meringis sambil memegang perutnya yang terasa ngilu. Dakota adalah pria berusia tujuh puluh tahun paling bugar yang pernah Tadashi kenal, dirinya seperti menonton pertandingan tinju secara langsung.
"Well, baru sekitar dua puluh detik aku berada di basement dan sudah disuguhkan dengan pemandangan seperti ini?" Tadashi tertawa hambar, sedikit menyesali keputusannya untuk menyusul.
"Siapa yang mengirimmu ke sini?" tanya Dakota pada pria itu.
Senyap untuk beberapa saat. Lagi-lagi, Dakota melayangkan tinjunya, kali ini ke rahang sebelah kiri. Sibuk menahan rasa sakit, pria yang diikat di kursi tersebut masih bungkam, terlihat enggan menjawab pertanyaan Dakota sebelumnya.
"Ini akan memakan waktu semalaman," ucap Dakota pada Kagumi, "si bodoh ini tidak berkata satu kata pun sejak satu setengah jam yang lalu." Pria tua itu kemudian berbalik badan sambil menggaruk kasar kepala belakangnya yang tidak gatal. Embusan napas berat lolos dari mulutnya.
Basement kembali diliputi keheningan. Setelah mondar-mandir sambil bersedekap, pada akhirnya atensi Dakota tertuju pada cucunya yang sedang berdiri di belakang Kagumi dengan ekspresi kebingungan. "Ah, akhirnya kau datang. You're a big man now, huh?" tanyanya dengan nada mengejek. Berbeda dengan beberapa saat yang lalu, air mukanya tampak cerah.
"Grandpa, kau sadar kita sedang berada di tengah-tengah interogasi, 'kan? Kita tidak boleh bercanda atau wibawamu akan jatuh!" bisik Tadashi.
Mendengarnya, Dakota tertawa. "Definisimu soal wibawa masih terlalu dangkal, Nak."
"Lalu apa yang harus kita lakukan?" tanya Kagumi pada ayahnya.
Dakota mendesah pelan sambil melipat tangan di dada, bertatapan dengan putrinya selama beberapa saat. Perlahan, keduanya menoleh ke arah Tadashi.
"What?" tanya pemuda itu, sedikit tidak nyaman ketika dua pasang mata menatapnya tiba-tiba.
"Kita harus mencoba cara lain ...," lirih Dakota. Ia kembali menoleh ke arah putrinya, meminta persetujuan. "Kagumi, may I?"
Wanita berparas Jepang itu bergeming sesaat, terlihat menimbang-nimbang. "Okay ... but please be gentle with him."
Dakota mengangguk. Ia mengambil katana di tangan Tadashi dan menyerahkannya pada Kagumi. Tadashi menelan saliva, ia mencium sesuatu yang tidak akan disukainya. Sang kakek merangkulnya, membawanya untuk berhadapan langsung dengan anak buah Akando. Ketika Tadashi sudah berhadapan langsung dengan pria itu, jantungnya mendadak berdetak lebih cepat.
"Apa yang akan kita lakukan sekarang?" tanya Tadashi.
Dakota tidak menjawab. Ia melepas kalung taring serigala di leher cucunya, kemudian bersalaman dengan pemuda itu. Dililitkannya benda keramat itu di antara kedua tangan mereka.
"Letakkan tanganmu di pelipisnya, Tadashi," perintah Dakota.
Pada awalnya, Tadashi ragu. Namun, melihat keseriusan di wajah kakeknya, pemuda itu menurut saja. Ketika telapak tangannya bersentuhan dengan dahi pria itu, Tadashi merasakan ada sesuatu yang ganjil. Berbeda dengan orang-orang normal kebanyakan, tubuh pria itu terasa dingin. Dirinya hampir berpikir pria itu telah meregang nyawa, tetapi perutnya masih terlihat kembang kempis.
"Biar kutebak, kita akan berjalan-jalan ke sisi lain?" ucap Tadashi.
Mendengarnya, senyum di wajah Dakota mengembang. "Tadashi, you're a smart man. Yes, we will."
"How about Mom?" Tadashi menoleh ke arah Kagumi.
"Harus ada seseorang yang menjaga pria ini, 'kan?" Kagumi mengambil kursi kayu lain dari sudut basement, lalu meletakkannya tepat di hadapan pria itu. Kemudian, ia mendaratkan bokongnya di sana. "I'll be here. It's okay, Tadashi. Semakin cepat selesai akan semakin baik."
"Be careful, okay?" lirih Tadashi.
Kurva lengkung terulas di wajah Kagumi. Ia duduk bertumpang kaki dengan katana di pangkuannya, kemudian mengelus pipi Tadashi dan mengangguk. "Berhati-hatilah juga di sana, oke?"
Tadashi mengangguk singkat. Pemuda itu kembali menghadap sang kakek. Keduanya memejamkan mata, masih dengan tangan yang saling bertautan. Tadashi berkonsentrasi untuk membawa dirinya dan Dakota menuju kesadaran pria itu. Setelah menjalani latihan yang cukup keras satu minggu ini, Tadashi tidak merasa kesulitan lagi.
Pemuda itu membuka kedua netra ketika merasakan dingin yang menusuk kulit. Angin kencang menerpa wajahnya, membuat helaian rambut hitamnya berkibar. Sejauh mata memandang, segalanya berwarna putih. Lagi-lagi, Tadashi dan Dakota berada di tengah badai salju.
"Seriously?" protes Tadashi. "Jika tahu kita akan berada di tengah badai salju lagi, aku akan mengambil jaket terlebih dahulu."
"Siapa yang tahu kita akan mendapatkan jawaban di sini, 'kan?" balas Dakota.
Tadashi memeluk tubuhnya sendiri, mengusap-usap lengannya untuk menghangatkan kalor. "Astaga, dingin sekali."
Dakota mengedarkan pandangan ke sekeliling. Dari kejauhan, kedua netranya menangkap lubang besar di antara pepohonan dengan cahaya berwarna jingga kemerahan di dalamnya. Ia memicingkan mata, berusaha mempertajam indra penglihatannya.
"Apakah itu sebuah gua?" tanya pria tua itu.
Sambil menggigil, Tadashi mengikuti pandangan kakeknya, kemudian mengangguk. "Yeah, sepertinya. Dan ada cahaya dari dalam sana."
"Itu artinya ada seseorang yang menetap di sana."
"Let's go! Atau kita akan membeku di sini." Perlahan, Tadashi melangkahkan kedua tungkainya yang bergetar akibat temperatur yang rendah.
"Aku tidak ingat apakah aku pernah memberitahumu sebelumnya. Dulu, mendiang ayahku juga seorang dream walker." Dakota bercerita sambil berjalan di sebelah cucunya. "Ia memiliki satu kemampuan yang tidak biasa."
"Berjalan-jalan di dalam mimpi? Yeah, aku tahu," jawab Tadashi asal.
"Tidak, tidak." Pria tua itu menggeleng sambil berjalan. "Ayahku bisa mengatur alam di dunia mimpi. Seperti ... membawa gua itu mendekat pada kita, jadi kita tidak perlu repot-repot berjalan di tengah badai salju."
"Apa maksudmu, Grandpa?"
"Aku tidak tahu pasti. Aku hanya bisa mendeskripsikan apa yang kualami saat itu," jawab Dakota. "Anggap saja seperti alam di sekitarmu berpindah ke tempat yang kau inginkan."
Tadashi berhenti berjalan, mendongak ke arah sang kakek. "Itu kemampuan yang sangat praktis. Bagaimana ia melakukannya?"
"I don't know!" seru Dakota. "Anggap saja ada seutas tambang yang menghubungkan dirimu dengan gua itu. Maka, kau tinggal menariknya saja, 'kan?"
"That doesn't help!" keluh Tadashi.
"Bagaimana jika cara kerjanya memang sesederhana menarik seutas tali? Mengapa kau tidak mencobanya saja?" tanya Dakota. "Ingat, kau seorang dream walker. Alam mimpi berada di dalam kuasamu."
Tadashi menghirup napas dalam-dalam. Sejujurnya, ia masih tidak mengerti cara kerja dari kemampuan kakek buyutnya. Dakota juga tidak membantu banyak. Namun, Tadashi merasa tidak bisa protes karena pria tua itu hanya menceritakan sesuai dengan apa yang dirasakannya. Tidak ada cara lain, pemuda itu memejamkan kedua netra.
"Seperti menarik seutas tali ... baiklah." Tadashi bergumam.
Pemuda beretnik asia-kaukasia itu mencoba mengatur napas, menenangkan diri dan mempertajam seluruh indranya. Lama kelamaan, ia merasa kesadarannya seakan terpisah dari tubuh. Ketika Tadashi membuka mata, ia fokus pada gua di seberang sana, membuat alam sekitar, serta segala sesuatu yang berada di luar atensinya terlihat memburam.
Dalam pikirannya, Tadashi mencoba membuat gua itu mendekat. Sesuai dengan keinginan Tadashi, alam sekitar mereka bergerak cepat, jaraknya kian memendek hingga gua tersebut tiba-tiba sudah berada di hadapan mereka. Tadashi lalu menggelengkan kepala cepat, membawa kesadarannya kembali.
Kakek dan cucu itu merasakan udara hangat menyeruak dari dalam gua. Keduanya tidak lagi menggigil seperti beberapa saat lalu. Tadashi tidak dapat menahan senyum lebarnya, ia menoleh ke arah Dakota. "Whoaaa, did I do it?" tanyanya antusias.
"Yeah, you did." Dakota mengangguk bangga.
"Rasanya sangat aneh! Gua tersebut bergerak mendekat, dan seakan-akan kesadaranku melayang dari dalam tubuh."
Mendengarnya, Dakota terkekeh. Ia menepuk bahu cucunya. "Simpan euforiamu setelah kita berhasil mendapatkan jawaban. Sekarang, mari kita cek ada apa di dalam gua ini!"
Dukung Dream Walker dengan menekan 🌟 di pojok kiri bawah!
6 September 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top