33 | Consequence

Ketika erangan frustrasi Tadashi mereda, Kagumi membawa putranya keluar dari kamar Dakota dan menyuruhnya untuk duduk di meja makan. Kini, pemuda beretnik asia-kaukasia itu lebih banyak diam, pandangannya menatap kosong ke depan tanpa berkedip. Di hadapannya, sang kakek terlihat sedang berjalan cepat menuju ke luar rumah sambil membawa tali tambang.

Kagumi menyeduh daun teh melati di dalam gelas dengan air hangat, kemudian meletakkannya di hadapan putranya. Tadashi mendongak pelan, menatap ibunya sayu. Melihat raut wajah Tadashi membuat hati Kagumi hancur berkeping-keping. Ia tersenyum simpul dan mengelus lembut pucuk kepala Tadashi, menahan diri untuk tidak menangis lagi.

Terdengar kegaduhan dari luar rumah, disusul oleh sesuatu yang diseret dengan kasar. Kagumi dan Tadashi menoleh, mendapati Dakota sedang membawa seorang pria berwajah kotak dengan jaket kulit hitam dan celana jeans yang sudah tercabik-cabik secara harfiah. Kaus putihnya bersimbah darah, tatapan pria itu kosong, tubuhnya melemas, seperti tidak merasakan sakit tetapi pasrah akan perlakuan Dakota.

Tadashi menatap pria berwajah kotak dengan alis tebal itu dari ujung kepala hingga ujung kaki. Pakaiannya normal layaknya penduduk Amerika biasa, tidak seperti pakaian kuno khas suku Indian yang dikenakan Akando. Ia sempat bertanya-tanya dalam hati, apakah kakek dan ibunya menangkap orang yang salah?

"Bantu aku membawa pria sialan ini ke basement!" titah Dakota pada putrinya.

Kagumi mengangguk, ia menoleh ke arah Tadashi, mengelus pipi pemuda itu lembut. "Tetap di sini dan habiskan tehmu, oke?" bisiknya.

Tadashi mengangguk lemah ketika ibunya pergi menyusul pria tua yang masih bugar itu, kemudian membantu menggotong anak buah Akando ke basement. Dirinya tidak berhasrat untuk menikmati apa pun, bahkan untuk meneguk secangkir teh hangat yang dapat mengurangi beban di kepalanya.

"Tadashi!" teriak Dakota dari dalam basement, suaranya bergaung. Tadashi melirik sekilas ke sumber suara, tetapi tidak merespons.

Hening untuk sejenak. Dari arah basement, terdengar suara langkah kaki. Kagumi menampakkan diri dari balik tembok, masih menggenggam katana-nya dengan bercak darah yang sudah mengering. "Kau mau ikut bersama kami?" tanya wanita itu.

Tadashi melirik Kagumi, kemudian menggeleng pelan dengan tatapan kosong. Pemuda itu menyadari bahwa seharusnya ia menjawab panggilan sang kakek dan melangkah dengan berani menuju basement, tetapi dirinya masih sedikit ragu. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi di dalam sana. Maka, berdiam diri adalah hal yang tepat, 'kan? Biarlah orang dewasa yang menangani hal-hal seperti itu.

Melihat respons anaknya, Kagumi mendesah pelan. Ia mendekat dan berjongkok di depan Tadashi. Sambil tersenyum, wanita itu mengelus dagu Tadashi, mengisyaratkan putranya untuk menunduk dan menatapnya. "Aku tahu malam ini sangat berat untukmu, hidup terkadang tidak berjalan sesuai dengan apa yang kita harapkan. Kita hanya berencana, tetapi siapa yang tahu apa yang akan terjadi kedepannya?" lirih wanita itu.

Tadashi mengalihkan pandangannya dari sang ibu. Kagumi berdiri tegak, meletakkan katana-nya di atas meja, tepat di samping secangkir teh yang sudah mendingin. "Tanpa kita sadari, dalam kehidupan, tidak melakukan apa pun juga termasuk pilihan, dan setiap pilihan memiliki konsekuensi," ucap wanita itu lagi.

Tadashi kemudian melirik senjata milik sang ibu. "Dari mana Mom mendapatkan katana ini? Mengapa aku tidak tahu Mom mahir menggunakannya? Mengapa hanya aku yang tidak tahu apa-apa di sini?" tanya pemuda itu, "juga tentang Grandpa, takdir keturunan suku Indian, semuanya terlalu sulit untuk diterima sekaligus. Aku ... aku belum siap ...."

"Katana ini adalah relik milik keluarga kita, bukti bahwa kami semua pernah mengalami hal yang lebih buruk dan bertahan hingga detik ini," jawab Kagumi, "aku akan menceritakan segalanya setelah kau merasa lebih baik, oke?"

Tadashi mengangguk pelan, meskipun merasa tidak puas dengan jawaban sang ibu. Kagumi berbalik dan menyusul Dakota ke dalam basement, meninggalkan putra semata wayangnya sendirian di ruang makan.

Lagi-lagi, Tadashi sendirian, terjebak dalam keheningan panjang. Tubuhnya sudah terlalu lelah, seakan mati rasa, tetapi tidak merasakan kantuk sedikit pun. Untuk beberapa menit ke depan, Tadashi tidak melepas pandangannya dari cangkir putih dengan uap panas yang kian menipis, hingga teh menjadi dingin secara keseluruhan. Benang-benang pikirannya semakin kusut, membuatnya sangat ingin memberontak, tetapi ia menahannya. Tadashi memejamkan mata, kemudian menghela napas dalam-dalam dan mengembuskannya lewat mulut.

Kemudian, Tadashi membuka kedua netranya, nyaris terlonjak dari posisi duduknya ketika melihat sosok ber-hoodie duduk tepat di seberangnya sambil bersedekap. Pemuda beretnik asia-kaukasia itu kesulitan melihat fitur wajah seseorang di hadapannya akibat pencahayaan yang minim, sekaligus bayangan yang menutupi sebagian besar wajahnya.

"Untuk remaja seperti kita, bukankah semua ini terlalu berat untuk diterima? I mean, there's people who want us dead?" ucap sosok ber-hoodie itu.

Alih-alih menanyakan identitas sosok itu, Tadashi menjawab, "Yeah. I don't really know what to do anymore."

Sosok ber-hoodie dengan suara yang identik dengan Tadashi itu tertawa satir. "Oh, I think you know what to do. Run away, of course." Kemudian ia menggerutu, "Kita bahkan belum pernah berkencan atau mencium seorang gadis. Mereka bilang remaja seperti kita seharusnya menikmati masa muda, 'kan?"

"I know, I know," jawab Tadashi lemah.

"Screw it! Aku masih ingin bermain dan bersantai!" Sosok ber-hoodie itu menggebrak meja makan, membuat jantung Tadashi nyaris copot, kemudian beranjak dan berkeliling ruangan. Pandangan Tadashi mengikuti ke mana sosok itu berjalan. Seperti anak berusia sepuluh tahun yang tidak memiliki beban hidup, sosok misterius itu mengambil piring dan gelas di rak dapur, kemudian melemparnya satu per satu.

"What are you doing?" desis Tadashi, tidak kuasa mendengar suara nyaring dari beling dan keramik yang pecah.

Di balik hoodie, sosok itu tersenyum sambil mengedikkan bahu. "Bersenang-senang."

"Bisakah kau berhenti melakukan itu?" desis Tadashi lagi.

Sosok misterius itu tertawa remeh. "Kau benar-benar membosankan. Cobalah sendiri! Ini sangat menyenangkan!"

"Nope," jawab Tadashi singkat.

Pemuda ber-hoodie itu menyerahkan salah satu cangkir keramik dan meletakkannya di hadapan Tadashi. "Try it!"

Sebenarnya, Tadashi masih memiliki sedikit tenaga untuk melawan, tetapi rasanya percuma. Ia hanya bisa mengembuskan napas berat dan mencoba untuk tidak emosi. Mungkin dengan bersikap abai, sosok kekanak-kanakan di hadapannya akan menyerah.

Melihat tidak ada respons dari Tadashi, sosok misterius itu berdecak. Ia menarik lengan Tadashi, meletakkan gelas keramik itu di telapak tangan.

"What the hell?" Tadashi berontak, tetapi cengkeraman sosok itu terlalu kuat.

"Sttt, just calm down and watch. I'll show you the way," jawab sosok itu. Ia memaksa Tadashi untuk mencengkeram cangkir itu kuat-kuat, kemudian menggiring tangan pemuda itu untuk melemparnya ke lantai.

Lagi-lagi suara keramik yang pecah membuat Tadashi kehilangan kata-kata. Kedua netranya membola, terkesiap melihat cangkir yang sudah terbelah menjadi beberapa bagian. Sosok ber-hoodie itu menyeringai. Ia berjalan ke belakang Tadashi, kemudian memijit kedua bahu Tadashi.

"Do you like it?" bisik sosok itu di telinga Tadashi, membuat pemuda berambut hitam itu bergidik jijik.

Ada desiran aneh di dada Tadashi. Pemuda itu jengkel dengan sosok misterius yang sedang memanipulasinya. Memang, ada sedikit perasaan lega yang ia rasakan, tetapi di sisi lain, ia merasa tidak boleh melampiaskannya dengan memecahkan cangkir. Bagaimana dengan respons ibu dan kakeknya ketika melihat pecahan-pecahan keramik di lantai?

Sosok ber-hoodie itu menyeringai. Ia mengambil beberapa piring keramik dari lemari penyimpanan dan meletakkannya di hadapan Tadashi, kemudian melakukan gestur mematahkan lehernya ke arah benda pecah belah itu, mengisyaratkan Tadashi untuk mencoba kembali.

Tangan Tadashi bergerak sendirinya mengambil piring di atas meja, kemudian melemparnya ke lantai. Bunyi nyaring dari keramik yang pecah sama sekali tidak mengganggunya, tetapi justru sebaliknya. Pemuda itu merasa lepas, dan ia menyukainya. Selama ini, dirinya selalu menahan diri, menjadi Tadashi Reyes yang pasrah terombang-ambing terbawa arus sungai. Namun malam ini, ia berani melawan arus dan mengarahkan segenap tenaganya untuk berenang, tidak lagi pasrah akan keadaan.

Satu per satu piring keramik hancur, seiring dengan emosinya yang kian meluap, Tadashi melemparnya dengan tenaga yang semakin besar. Tidak puas dengan menghancurkan perkakas makan, ia beranjak dan menerjang sosok ber-hoodie di hadapannya. Rasa muak dan jijik menguasainya, Tadashi mengapit sosok itu, berancang-ancang akan mendaratkan bogem mentahnya ke wajah pemuda misterius itu.

Pukulan demi pukulan dilepaskan, sosok ber-hoodie itu tidak berteriak ataupun melawan, seolah-olah saraf-saraf perasa di tubuhnya telah mati. Napas Tadashi kian memendek, ia berhenti ketika tidak lagi memiliki tenaga untuk memukul. Amarahnya mereda, tergantikan oleh rasa sesak yang luar biasa. Tubuhnya bergetar hebat, tangisnya pecah, air mata menetes di hoodie sosok misterius itu.

"I know you realize this isn't the real world." ucap sosok misterius itu dengan seringai kecil.

Dengan cepat Tadashi bangun dan melangkah mundur, pandangannya masih tertuju pada sosok misterius yang terlihat bersusah payah untuk berdiri. Tubuh Tadashi masih bergetar, meskipun tidak sehebat sebelumnya. Sosok itu berdiri tegak, kemudian membuka hoodie yang menutupi wajahnya, membuat kedua netra pemuda berambut hitam itu membola.

"What are you?" desis Tadashi.

"I don't know. Mengapa tidak kau tanyakan pada dirimu sendiri?" Ia membalas, terlihat sedikit kesulitan untuk bicara akibat sudut bibirnya yang robek. Namun, bukan itu yang membuat Tadashi terkejut setengah mati. Sosok itu tidak memiliki mata dan alis layaknya manusia biasa, serta tidak adanya rambut yang melapisi kepalanya.

Dengan tanda tanya besar di kepalanya, Tadashi mengulurkan tangan perlahan ke wajah makhluk plontos itu. Di luar dugaan, sosok ber-hoodie itu mengelak.

"Kau bisa melihat?" tanya Tadashi.

"Aku dapat melihat sekelilingku dengan baik," jawabnya, "Dulu, aku punya sepasang netra cokelat tua, persis sepertimu. Namun, aku jarang menggunakannya, dan lama kelamaan mataku menghilang."

Tadashi mengerjap beberapa kali, dirinya kesulitan untuk memercayai perkataan sosok ber-hoodie itu. "Bagaimana bisa seseorang jarang menggunakan matanya?"

"Jika kau jadi aku, mungkin kau akan mengerti," jawabnya, "ya, itulah konsekuensi ketika kau hidup di dunia tanpa kehadiran cahaya. Segalanya yang kau lihat hanyalah kegelapan."

"Ah, konsekuensi!" Tadashi tertawa hambar. "Ya ... konsekuensi ...." Pemuda itu bergeming sesaat, kata tersebut membayangi pikirannya. Untuk menenangkan diri, ia menutup mata dan menghela napas dalam-dalam, kemudian mengembuskannya lewat mulut.

Kemudian Tadashi membuka kedua netranya. Sosok tanpa mata itu telah menghilang, begitu pula dengan pecahan-pecahan piring yang ada di lantai. Dapur rumahnya terlihat sangat normal, alat-alat makan tertata rapi di rak penyimpanan. Ketika melirik jam dinding, Tadashi menyadari bahwa dirinya telah melewatkan satu setengah jam dengan tertidur.

"Rupanya aku berjalan-jalan di alam mimpi tanpa sengaja ...," gumamnya.

Tadashi menyadari, di atas meja makan, tepat di samping cangkir berisikan teh yang sudah mendingin, terdapat senjata khas Jepang milik sang ibu. Pemuda itu menatap katana di hadapannya untuk waktu yang lama.

Tiba-tiba, dirinya teringat kembali oleh perkataan Kagumi. Tadashi meraih senjata di hadapannya, memisahkan belati dari penutupnya. Kedua netra cokelat tuanya terpantul di permukaan baja yang mengkilap itu.

"Apa pun pilihanku, tetap memiliki konsekuensi," ucapnya sambil tersenyum. Ia menutup kembali katana tersebut. "Jadi, percuma saja jika aku memilih untuk terus melarikan diri, 'kan?"

Tadashi beranjak dan berjalan menuju basement, menyusul ibu dan kakeknya yang sudah berada di sana terlebih dahulu. Ia membawa senjata khas Jepang itu bersamanya. Adrenalinnya terpacu, Tadashi merasa sangat bergairah, dan dirinya tidak pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya.

Ya, dirinya yakin sudah membuat keputusan yang tepat.

Dukung Dream Walker dengan menekan 🌟 di pojok kiri bawah!

29 Agustus 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top