30 | Fear [Part 3]

Siang ini, matahari terasa begitu dekat dengan daratan. Panasnya begitu membakar kulit sehingga murid-murid Red Valley High yang berniat untuk membolos dan makan siang di tempat lain berpikir bahwa itu ide yang sangat bodoh. Tadashi dan Robert lebih memilih berdiam diri di ruangan kelas Kalkulus dengan AC yang sedang menyala. Pemuda beretnik asia-kaukasia itu sedang sibuk berkutat dengan berkas-berkas Yale School of Art dan laptop, sedangkan Robert duduk di sampingnya sambil memainkan ponsel.

"Party." Robert menggulir ponselnya ke samping. "Party lagi." Ia melihat puluhan video Instastory, tetapi tidak pernah menontonnya hingga selesai. "Movie marathon night, video game, oh, yang benar saja. Bagaimana bisa murid-murid senior di sekolah ini begitu santai menghadapi ujian akhir dan tes masuk universitas yang akan diadakan dalam hitungan minggu?" Pemuda berambut merah itu berkata dengan ketus.

"Yeah, katakan pada dirimu sekitar tiga bulan yang lalu," respons Tadashi tanpa memalingkan pandangan dari laptop.

Robert mengalihkan pandangan pada Tadashi dan mengernyit. "Aku tidak mendatangi pesta setiap murid-murid kaya di sekolah ini dan hanya menghabiskan waktu bermain game di akhir pekan!"

Tadashi menoleh ke arah sahabatnya, kemudian tersenyum simpul dan mengangkat kedua alisnya.

"Yeah, I mean ... aku agak selektif. Tidak semua pesta harus dihadiri, 'kan?" Robert berdalih. "Lagi pula aku akan berkuliah musim gugur nanti."

"Sebaiknya kau simpan ponselmu di meja dan bantu aku," ucap pemuda bermata sipit itu.

"Sure." Robert menurut. Ia meletakkan benda pipih itu di atas meja. "Apa yang bisa kubantu?"

Tadashi menggulir website Yale University dengan trackpad laptopnya. "Kukira aku sudah memenuhi semua persyaratan dan portofolio. Namun, rupanya ada satu persyaratan yang kulupakan."

"Dan apa itu?"

"Mereka memintaku untuk membuat esai."

"Menarik." Robert membaca persyaratan yang tertera pada layar. "Apa topiknya?"

"Aku harus meyakinkan mereka, seberapa besarnya minatku untuk berkuliah di Yale dan menjadi mahasiswa jurusan Seni."

"Well, ceritakan apa pun tentang seni dan dirimu." Robert mengedikkan bahu. "Apa yang membuatmu mencintai seni? Apa yang membuatmu merasa hidup ketika menorehkan pensil di atas kertas ataupun kuas di atas kanvas? Kau mengerti apa maksudku, 'kan?"

"Hanya itu? Tentu saja seluruh pelamar akan menuliskan hal yang sama!" ucap Tadashi.

"Kau harus sedikit meninggi. Oh, tunggu, maksudku bukan menjadi sombong. Namun, kau harus terlihat percaya diri dengan tulisanmu. Yale tentu tidak menginginkan mahasiswa yang mendaftar dengan setengah hati, 'kan?"

Tadashi bergeming sejenak, kemudian mengangguk. "Kau benar."

"Kesimpulannya, curahkan kecintaanmu terhadap seni dengan sedikit kepercayaan diri."

"Got it." Tadashi mengangguk lagi. Ia menutup browser dan menonaktifkan laptopnya. "Aku akan mulai menulis malam ini."

"Anyway, bagaimana sesi latihanmu dengan Dakota?" Robert mengalihkan topik.

"Tidak buruk." Tadashi merapikan berkas-berkas di atas meja dan mengumpulkannya menjadi satu. "Aku bertemu Wendigo, tetapi berhasil kabur."

"Oh, kukira kau akan bertemu Noah dan dukun suku Indian itu di mimpimu. Um ... siapa namanya?"

"Akando."

Robert menjentikkan jari. "Yeah, Akando."

"Mereka menghilang dan tidak pernah datang lagi sejak itu." Tadashi mengangkat bahu. "Atau ... sebenarnya mereka diam-diam mengawasiku di sini, entahlah. Untuk sekarang, aku dan Grandpa punya musuh yang lebih nyata."

"Which is ...?"

"That Wendigo," jawab Tadashi sambil memasukkan laptopnya ke dalam ransel.

Robert tersenyum simpul dan mengangkat kedua alisnya. "Yeah, monster pemakan manusia itu."

Kedua sahabat itu diliputi keheningan yang panjang sebelum Robert kembali berbicara. "Anyway ... karena kau pernah menceritakan soal Wendigo padaku dan Evelyn, aku jadi penasaran. Ketika aku mencarinya di Google ...." Robert terdiam sejenak. "Aku baru sadar bahwa makhluk itu pernah mendatangiku juga."

Kedua netra Tadashi membola. "What?"

Robert mengangguk pelan. "Yeah ... makhluk berkepala tengkorak rusa itu."

"Tell me." Tadashi mengubah posisi duduknya, kemudian menaruh atensi penuh pada sahabat berambut merahnya.

"Kau ingat rumah kayu kepunyaan keluargaku di Vancouver, Kanada? Yang letaknya di sebuah pedesaan yang tidak jauh dari hutan? Aku sering menceritakannya padamu, 'kan?" tanya Robert, dan Tadashi menjawab dengan anggukan. "Well, ketika aku kecil, aku sering pergi ke sana untuk berlibur. Ketika umurku tujuh tahun, Dad harus meninggalkanku di sana dengan Mom karena urusan bisnis yang tidak bisa ditinggal. Jeez, aku sangat membenci pekerjaan ayahku saat itu."

"Langsung saja pada intinya!" seru Tadashi.

"Astaga, bisakah kau sabar sedikit?" Robert protes. "Malam itu, aku dan Mom tidur di kamar yang sama. Beliau menceritakanku dongeng tiga anak babi dan seekor serigala. Yeah, kau tahu, anak-anak babi yang hidup di hutan dan memutuskan untuk membuat rumah jerami, kayu, dan batu bata? Dulu aku sangat menyukai dongeng itu. Pada akhirnya aku mengantuk, Mom menutup buku dongengnya dan tidur bersamaku."

"Lalu?" tanya Tadashi tak sabar.

"Aku dan Mom tidak bisa tidur akibat banyaknya suara ranting yang patah. Seperti ... ada seseorang yang mondar-mandir di sekitar rumah kayu kami! Mom memintaku untuk mengabaikan semua itu, tetapi aku masih sangat kecil dan beliau baru saja menceritakan dongeng tentang anak-anak babi yang menjadi santapan serigala. Apalagi, rumah yang kami tempati saat itu terbuat dari kayu. Ya, tentu saja aku takut!" ucap Robert dengan dramatis.

Mendengar sahabatnya bereaksi begitu dramatis, Tadashi tertawa. "Kurasa ibumu melakukan kesalahan yang besar dengan menceritakan dongeng itu."

Namun, tidak dengan Robert. Raut wajah pemuda itu justru terlihat sangat serius. "Setelah itu, suara ranting yang patah hilang, digantikan oleh langkah kaki yang berat di atap rumah kayu kami. Sungguh, aku sangat panik kala itu. Bagaimana jika itu adalah serigala di dalam dongeng tiga anak babi? Mom menyuruhku untuk diam di kamar. Beliau mengambil senapan, kemudian mengendap-endap menuju sumber suara. Syukurlah, sebelum Mom melangkah keluar dari pintu, langkah kaki itu bergerak melewati rumah kami dan kemudian menghilang. Hari-hari berikutnya, tidak ada lagi sang serigala yang berjalan-jalan di atap."

"Jadi ... yang berjalan-jalan di atap rumah kayu keluargamu adalah serigala sungguhan?" tanya Tadashi.

"Awalnya, kami mengira begitu." Ucapan Robert membuat Tadashi sadar bahwa sahabatnya itu belum selesai bercerita. Pemuda berambut hitam itu kembali mengubah posisi duduknya, sedangkan Robert melanjutkan ceritanya. "Oh, astaga. Setelah mendengar ceritamu di Central Park, aku mulai mendapatkan titik terang soal apa yang aku dan Mom alami kala itu! Aku benar-benar lupa, tetapi kemudian mengingatnya kembali setelah kau bercerita."

"Tell me! Tell me!" seru Tadashi tak sabar.

"Oke, oke." Robert menenangkan sahabatnya. "Setelah langkah kaki itu pergi, aku dan Mom memutuskan untuk pergi tidur. Namun, kami berdua tidak bisa tidur nyenyak akibat bermimpi buruk."

"Mimpi buruk?"

Pemuda berambut merah itu mengangguk. "Di dalam mimpi, aku dan Mom berjalan sendirian di tengah badai salju dengan berbekal satu batang obor saja, tidak ada senapan kali ini. Langit begitu gelap, hanya salju dan angin kencang sejauh mata memandang. Kami terus berjalan, meskipun tidak tahu harus pergi ke mana. Kami hanya ingin menemukan rumah kayu itu untuk berlindung."

Mendengar cerita sahabatnya, kedua netra Tadashi membola. Apa yang Robert dan ibunya lihat sama persis dengan apa yang ia impikan ketika melakukan sesi latihan bersama Dakota.

"Lagi-lagi, kami mendengar langkah kaki yang berat, serta lolongan mengerikan, tapi tidak mirip dengan serigala." Robert menatap intens kedua netra sahabatnya. "Kami berbalik badan, mendapati bayangan hitam di tengah badai salju. Mom melangkah maju, menyuruhku untuk berlindung di belakang tubuhnya. Bayangan itu kian mendekat hingga sosoknya perlahan-lahan terlihat jelas. Karena tidak memiliki senapan, Mom tidak bisa memikirkan cara lain selain melempar obor di tangannya pada sosok itu. Cahaya merefleksikan rupanya. Aku melihat makhluk bertubuh kurus dengan tengkorak berkepala rusa, rahangnya terbuka lebar dengan gigi-gigi yang tajam. Lalu kami berdua berteriak dan dengan ajaibnya terbangun di pagi hari." Robert mengedikkan bahu. "Mimpi buruk itu selesai."

Tadashi kehilangan kata. Ia menggeleng pelan, mulutnya sedikit menganga. "Kau ... melihat Wendigo di dalam mimpimu?"

"Tidak hanya aku. Mom juga memimpikan hal yang sama," jawab Robert, "aku selalu menganggap mimpi itu adalah angin lalu. Namun, setelah kau bercerita dan aku mencarinya di Google ... aku semakin yakin apa yang kulihat itu adalah Wendigo. Deskripsi yang tertulis di internet semuanya sama dengan apa yang kulihat dulu."

"That's weird ...," gumam Tadashi.

"Jadi ... menurutmu Wendigo itu juga ada di dunia nyata?" tanya Robert.

"Kita tidak tahu apakah yang berjalan-jalan di rumah kayumu adalah Wendigo sungguhan atau bukan. Tapi ... bagaimana bisa makhluk itu mendatangimu juga? Untuk apa?"

Robert mengedikkan bahu. "Mungkin agar aku dan keluargaku ketakutan, lalu tidak pernah lagi mengunjungi tempat itu?"

"Apakah kau masih sering berlibur ke Vancouver?"

Robert menggeleng. "Tidak, karena Mom bersikeras menyuruh Dad menjual rumah itu. Ketika ditanya alasannya, Mom tidak pernah mau menceritakannya."

Tadashi mengangguk pelan. Ia menunduk, menatap kosong sepasang sneakers putih yang dikenakannya. Selama ini, ia meyakini bahwa Wendigo adalah makhluk yang tinggal di alam mimpi. Namun, setelah mendengar cerita Robert, besar kemungkinan makhluk pemakan manusia itu benar-benar nyata.

Bagaimana jika makhluk mengerikan itu mendatanginya di dunia nyata?

Membayangkannya saja sudah membuat Tadashi bergidik ngeri. Ia menggeleng pelan, berusaha membuang rasa takutnya, meski tak dapat dipungkiri bahwa cerita Robert benar-benar membuatnya ciut.

"Apakah Noah dan Akando memiliki hubungan dengan Wendigo?" tanya Robert lagi.

"Kurasa tidak secara langsung. Leluhur penduduk asli di negara ini mendapatkan kekuatan dari makhluk itu, 'kan?" jawab Tadashi.

Robert mengangguk lagi. Bel sekolah berbunyi, membuyarkan lamunan kedua pemuda itu. Jam mata pelajaran terakhir akan segera dimulai.

"Hei, aku tahu kita berdua sama takutnya. Namun, sebaiknya jangan terlalu ambil pusing soal kehadiran Wendigo di dunia nyata sebelum benar-benar terbukti," ujar Tadashi. Ia menyampirkan salah satu strap ranselnya di bahu kanan dan beranjak dari bangku, kemudian berjalan menuju kelas yang akan ia hadiri selanjutnya.

Robert turut berdiri sambil menggendong ranselnya, kemudian berjalan mengikuti sahabatnya. "Yeah, bicara memang mudah. Aku sudah telanjur ketakutan setengah mati," cicitnya.

Dukung Dream Walker dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟

13 Agustus 2021

Hai hai, maaf telat update. Seperti yang pernah aku bilang di announcement, aku lagi garap Riflettore juga biar bisa tamat bulan ini.

Tapi aku bayar dengan double update, hitung-hitung sekalian up part yang minggu kemarin juga.

Sampai jumpa lagi minggu depan, makasih banyak udah ngikutin DW sampai part 30🤗❤️✨

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top