29 | Fear [Part 2]
Lagi, benda kecil bersuhu dingin jatuh mengenai pipi Tadashi. Ia mendongak, melihat langit yang semula cerah berubah keruh. Kepingan salju berjatuhan, semakin lebat setiap detiknya. Ia mengangkat tangan, menangkap benda kecil bersuhu rendah yang berjatuhan di telapaknya. Mendadak, bulu kuduknya berdiri. Intuisinya berkata, hal buruk akan datang. Tidak, lebih tepatnya 'sesuatu' yang buruk akan datang.
"Oh, no," gumamnya panik.
Tadashi beranjak, kemudian menoleh ke kanan kirinya. Padang rumput yang semula hijau, perlahan diselimuti salju hingga seluruh permukaannya nyaris memutih. Ia mengusap-usap kedua lengan untuk menghantarkan kalor. Napasnya berembun, ia kesulitan berkonsentrasi untuk pergi dari tempat ini jika tubuhnya dilanda kepanikan dan terlalu sibuk melawan dingin. Angin berembus kencang membawa kepingan-kepingan salju, membuat jarak pandang Tadashi kian memendek. Ia memicingkan mata, berusaha mencari tempat berlindung. Namun percuma, lingkungan sekitarnya semakin memburam, pemuda itu tidak bisa melihat apa-apa.
Samar-samar, ia mendengar bunyi rumput yang saling bergesekan. Tadashi menoleh, mendapati pergerakan di tengah badai salju. Kedua netranya kembali menyipit untuk memindai bayangan hitam di kejauhan. Ia membelalak ketika bayangan tersebut kian mendekat, membentuk rupa makhluk kurus kering dengan tanduk rusa yang besar. Lolongan mengerikan membuat pemuda itu tersentak, bulu kuduknya berdiri. Tadashi menyadari bahwa dirinya kini begitu dekat dengan kematian.
Dengan jantung yang berdetak puluhan kali lebih cepat, Tadashi berbalik, melangkahkan kedua tungkai secepat mungkin untuk menjauh dari makhluk mengerikan pemakan manusia itu. Napasnya memburu, dadanya terasa sesak akibat suhu yang sangat rendah.
Pemuda beretnik asia-kaukasia itu telah mencapai limitnya. Ia merunduk, menopangkan kedua tangan di lutut sambil menormalkan kembali napasnya. Tadashi kembali mendongak dan mengedarkan pandangan ke sekitar. Binar cerah di wajahnya kembali ketika ia melihat pohon besar tanpa daun, tidak jauh dari tempatnya berdiri. Ia mengerahkan tenaganya untuk kembali berlari dan bersembunyi di balik sana.
Punggungnya bersandar pada batang kayu besar, ia mengintip sedikit untuk memprediksi sudah sampai mana Wendigo itu mengejarnya. Tadashi mengembuskan napas lega ketika tidak melihat makhluk mengerikan itu di sana. Ia memejamkan mata, berusaha menormalkan deru napasnya, kemudian kembali berkonsentrasi untuk membawa jiwanya kembali ke dunia nyata.
Pemuda itu mengerjap ketika mendengar lolongan Wendigo untuk yang kedua kali. Ketakutannya kembali, membuat tubuhnya bergetar hebat, konsentrasinya buyar.
"Berkonsentrasilah, sialan!" umpatnya pada diri sendiri.
Tadashi menahan napas ketika ujung matanya menangkap pergerakan bayangan hitam di samping kanan. Ia menahan diri untuk tidak bergerak atau membuat suara, meskipun kedinginan setengah mati. Geraman halus dari makhluk berkepala tengkorak rusa itu membuatnya nyaris kehilangan akal sehat.
Makhluk itu menoleh kanan kirinya pelan sambil mendengus. Cukup sulit untuk mengetahui apa yang dilihatnya, berhubung Wendigo tidak memiliki bola mata. Wajahnya hanya terdiri dari tengkorak rusa tanpa daging dan organ. Wendigo itu berjalan menjauh, pada akhirnya Tadashi dapat mengembuskan napas lega. Ia mengendap-endap untuk berpindah ke sisi lain pohon. Yang terpenting, sekarang makhluk mengerikan itu tidak dapat melihatnya.
Tadashi berjalan berlawanan arah dengan Wendigo, kemudian berhenti dan merunduk, menyapukan salju di rerumputan dan mendaratkan bokongnya di sana. Angin dingin menerpa wajahnya, membuat rambutnya berkibar. Tubuhnya menggigil semakin hebat. Ia kembali memejamkan mata dan berkonsentrasi untuk pulang.
Detik demi detik berlalu, Tadashi masih duduk bersila di atas rumput dengan kedua netra tertutup. Temperatur semakin menurun, begitu pula dengan udara yang berembus semakin kencang. Tadashi merasakan sesuatu yang lembap menabrak dahinya. Ia membuka mata, menyingkirkan sehelai daun yang terbawa oleh badai dan melemparnya ke sembarang arah.
Pemuda berambut hitam itu kembali memejamkan mata untuk berkonsentrasi. Kali ini, sesuatu yang panjang dan kasar menabrak pipinya dengan cukup keras. Tadashi membuka mata dan berteriak, kemudian pandangannya mengikuti ke mana benda itu pergi terbawa angin sambil mengelus permukaan kulitnya yang terasa perih.
"Ranting sialan!" umpatnya.
Di kejauhan, Wendigo meraung liar, merasa menang telah menemukan keberadaan mangsanya melalui suara.
"Oh, shit, I'm screwed," gumamnya. Tadashi mengembuskan napas berat. Sungguh, ia ingin lari, tetapi kedua tungkainya sudah sangat lelah. Maka, dirinya memutuskan untuk tetap dalam posisinya dan kembali berkonsentrasi. Ia kembali memejamkan mata.
Derap langkah kaki yang berat dan raungan makhluk buas kian mendekat. Tadashi mencoba mengabaikan itu semua. Sesuai arahan sang kakek, ia membuang jauh-jauh rasa takutnya. Kepercayaan dirinya sedikit demi sedikit meningkat. Tadashi pernah keluar dari tempat ini dengan selamat. Maka, dirinya pun yakin akan selamat kali ini.
Keinginannya untuk pulang semakin besar. Meskipun langkah kaki yang berat itu terasa semakin dekat, Tadashi tetap percaya pada dirinya sendiri. Lolongan makhluk pemakan manusia itu semakin kencang hingga menusuk indra pendengarannya. Tanah sekitarnya sedikit bergetar tiap kali Wendigo menghujamkan kaki besarnya ke daratan. Pemuda itu berada sangat dekat dengan kematian, bahkan ia dapat merasakan secara langsung hangat napas dari monster itu.
Di satu titik, Tadashi merasakan tubuhnya seakan melayang. Suara lolongan itu memudar dan pada akhirnya menghilang. Perlahan, kehangatan menjalar di seluruh tubuhnya. Kepingan salju di sekitar tidak lagi membuatnya menggigil. Tadashi membuka mata, mendapati Dakota yang sedang bersila di hadapannya dengan pipa cangklong berasap. Pemuda malang itu mengedarkan pandangan ke sekitar dan melihat furnitur kayu mahoni dengan ukiran klasik di mana-mana. Aroma mint dan teh memenuhi udara sekitar.
"Congratulations! Kau berhasil keluar sendiri dari dalam sana," ucap Dakota dengan senyuman.
Alih-alih menjawab, Tadashi buru-buru memeluk kakeknya erat, tubuhnya bergetar hebat. Melihat cucunya ketakutan setengah mati, Dakota terkekeh. Pria tua itu menepuk-nepuk punggung cucunya.
"It's okay. You're safe now," lirih Dakota.
"Jangan pernah tinggalkan aku sendirian lagi!" cicit Tadashi.
"Aku tidak berniat meninggalkanmu. Kendalimu di dunia mimpi masih lemah. Jika kau sudah mampu menguasainya, kau bisa menahanku di sana lebih lama." Dakota melepas pelukan cucunya.
Tadashi mengembuskan napas berat. Ia kembali pada posisi semula, duduk bersila di hadapan sang kakek. Pandangannya kosong, menerawang jauh ke sisi lain kamar kakeknya. Meskipun telah kembali, bayangan hitam bertanduk rusa di tengah badai salju itu masih melekat di ingatannya.
"Apakah kau bertemu Wendigo di sana?" tanya Dakota pelan. Dirinya tahu bahwa sang cucu masih merasa syok dengan sesi latihannya malam ini.
Tadashi mengangguk pelan sebagai jawaban. Pandangannya masih kosong.
"Lalu, bagaimana caranya kau keluar dari tempat itu? Apa kau menemukan sebuah pintu?" tanya Dakota lagi.
Tadashi melirik sang kakek, kemudian menggeleng pelan. "Aku bermeditasi, sesuai perkataanmu. Aku juga melawan ketakutanku."
Mendengarnya, Dakota menyunggingkan senyum. "Not bad for your first time. Jika kita melakukan sesi latihan beberapa kali lagi, kau mungkin dapat masuk dan keluar dari dunia mimpi semudah mengedipkan mata."
Tadashi kembali mengangguk pelan sebagai jawaban. Pikirannya melayang entah ke mana.
Pria tua itu melirik jam digital di atas nakas. Waktu menunjukkan pukul sebelas malam, ia beranjak dari posisinya dan membawa pipa cangklong beraroma daun teh dan mint itu di tangannya. "Latihan malam ini selesai. Segera kembali ke kamarmu dan tidurlah."
Dakota membuka pintu kamar untuk membersihkan dedaunan herbal di pipa cangklong kuno miliknya, lalu menoleh ke belakang ketika menyadari sang cucu tidak berjalan mengikutinya untuk keluar. Ia mengernyit melihat Tadashi masih duduk di atas karpet sambil menekuk kaki dan memeluknya dengan kedua tangan. Pandangannya masih menerawang jauh ke sisi lain ruangan.
"Mengapa kau diam saja di sana?" tanyanya.
Tadashi melirik kakeknya. "Rasa kantukku mendadak hilang. Aku ... terlalu takut untuk tidur sendirian."
Salah satu alis Dakota terangkat. "Kau ingin tidur bersamaku di sini?"
"Yeah, itu ide yang bagus, Grandpa. Bolehkah aku tidur di sini?"
"What are you? A four years old?" Ucapan Tadashi membuat Dakota tertawa. "Kukira kau membenci aroma kamarku? Apa kau benar-benar ingin tidur bersamaku? Aku tidak memasang dream catcher di kamar ini."
Mendengarnya, Tadashi mengerutkan hidung. Tanpa dream catcher, Wendigo itu berkemungkinan besar akan mendatanginya lagi di dalam mimpi. Dengan segera ia beranjak dari posisinya dan berjalan menghampiri Dakota. "Nope. Aku akan tidur di kamarku saja!"
Dakota masih terkekeh melihat perilaku manja cucunya. Ia merangkul Tadashi keluar kamar. "Kalau begitu, aku akan mengantarmu ke atas."
Dukung Dream Walker dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟
13 Agustus 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top