27 | Responsibility
Setelah makan malam, Tadashi bergegas kembali ke kamarnya, berharap sang kakek lupa pada rencananya dan membiarkan pemuda itu beristirahat dengan damai malam ini. Tadashi duduk di meja belajar dan berkutat dengan laptop, mengerjakan tugas-tugas sekolahnya sambil mempersiapkan berkas pendaftaran mahasiswa baru Yale University.
Ia merentangkan kedua tangannya ke atas sambil menguap, kemudian melirik jam kecil yang tertera pada layar laptop. Tidak terasa waktu menunjukkan pukul sepuluh kurang lima menit dan Dakota tidak kunjung menampakkan batang hidungnya.
"Yeah, kurasa Grandpa melupakannya. Kalau begitu, aku akan tidur saja," ucapnya tanpa rasa bersalah.
Tadashi mengulas senyum penuh kemenangan, kemudian mematikan laptop dan merapikan buku-bukunya. Ia beranjak dari meja belajarnya dan melangkah menuju kamar mandi. Setelah menyikat gigi, mencuci wajah serta kaki, pemuda beretnik asia-kaukasia itu menggerakan tungkainya menuju ranjang dan menjatuhkan diri di atas sana.
Ketika tubuhnya sudah ditutupi selimut tebal, ia memejamkan mata, senyumnya tidak kunjung pudar sejak tadi. Ia menghela napas dalam-dalam, kemudian mengembuskannya lewat mulut, menikmati ketenangan yang dimilikinya malam ini. Setelah beraktivitas di sekolah dan belajar ekstra keras untuk ujian akhir, dirinya pantas mendapatkan tidur yang berkualitas tanpa dibayang-bayangi takdirnya sebagai seorang dream walker.
Menit demi menit berlalu, Tadashi tidak kunjung terlelap. Mungkin tubuhnya memang butuh istirahat, tetapi pemuda itu tidak merasakan kantuk sama sekali. Ia membuka kembali kedua netranya dan menatap dream catcher berwarna biru-hitam yang digantung di bedhead kamarnya. Pikirannya melayang, dirinya teringat perkataan sang kakek ketika menggantungkan benda itu di sana.
"Mulai saat ini, kau harus berani melawan mimpi-mimpi buruk itu. Jangan khawatir, benda ini akan menjagamu."
Di tengah lamunan, mimpi buruknya minggu lalu kembali berputar di otaknya. Sosok makhluk pemakan manusia dengan tubuh ceking berkepala rusa itu berhasil membuatnya bergidik ngeri. Jeritan Evelyn juga masih terdengar jelas di otaknya ketika Wendigo menyeret tubuh gadis itu.
Tadashi menyibakkan selimut tebalnya dan duduk tegak di atas ranjang. Bagaimana ia bisa pergi dari mimpi buruknya jika pemuda itu tidak tahu bagaimana cara mengendalikan diri? Jika pikirannya kembali kalut, ia bisa saja menarik Evelyn ke dalam mimpinya lagi. Tidak hanya Evelyn, mungkin Robert dan kedua orang tuanya pun bisa berada di posisi yang sama bahayanya.
"Ah, sial!" umpatnya pelan. Pada akhirnya, Tadashi mengabaikan rasa malas dan lelah di tubuhnya, lalu turun dari ranjang dan keluar dari kamar. Pemuda itu melangkahkan kedua tungkainya menuruni anak-anak tangga, kemudian berbelok hingga sampai di depan kamar kakeknya dan mengetuk pintu pelan.
"Grandpa?" panggilnya. Namun, tidak ada jawaban dari pria tua berusia tujuh puluh tahun itu.
Di luar dugaan, justru rasa penasaran Tadashi kian membuncah. Ia membuka pintu dan mengintip melalui celah kecil. Sejauh mata memandang, tidak ada sosok sang kakek di atas ranjang. Pemuda itu membuka daun pintu lebih lebar lagi dan melihat presensi Dakota di salah satu sudut kamar. Pria tua itu sedang duduk bersila di atas karpet. Kedua tangannya diletakkan di paha dengan posisi rileks, kedua netranya terpejam. Samar-samar, ia melihat kepulan asap di sekitar tubuh Dakota. Kedua alis Tadashi bertaut. Untuk apa kakeknya bermeditasi selarut ini?
"Um, Grandpa?" panggil Tadashi lagi.
Dakota menggerakan tangannya tanpa membuka mata, mengisyaratkan sang cucu untuk mendekat. Tadashi yang paham akan itu, melangkah masuk dan menutup pintu kamar pelan. Setelahnya, ia duduk bersila di atas karpet, tepat di hadapan sang kakek. Aroma mint serta dedaunan yang terbakar memenuhi udara sekitar.
"Aku tahu kau akan datang pada akhirnya," ucap Dakota tanpa membuka mata. Seringai kecil terulas di wajahnya.
"Aku hanya penasaran apa yang Grandpa lakukan selarut ini." Tadashi berkilah.
"Kau menjadi penasaran karena takut," sindir sang kakek.
Pria itu kemudian mengambil sebuah batang kayu panjang yang tergeletak di samping pahanya, kemudian menyerahkannya pada Tadashi. Benda itu mirip seperti pipa cangklong yang sering digunakan oleh Sherlock Holmes di dalam film, tetapi dengan bentuk yang lebih kuno dan lebih panjang, dilengkapi dengan hiasan bulu-bulu elang di tengah batangnya. Barulah Tadashi tahu dari mana datangnya asap di kamar ini.
"Isaplah!" perintah Dakota.
Mendengarnya, kedua netra Tadashi membola. "Grandpa, aku masih di bawah umur dan aku tidak merokok!"
"Ini bukan tembakau dan tidak akan membuatmu ketagihan." Pada akhirnya, Dakota membuka mata. Ia mengibas-ngibas kepulan asap tipis di atas kepalanya. "Hiruplah! Baunya tidak seperti tembakau, 'kan?"
"Yeah, aku sedikit mencium aroma mint dan ... oh, apakah ini aroma teh?" Tadashi menghirup dalam-dalam udara di sekitarnya. "Apa yang sebenarnya akan kita lakukan?"
"Kita akan melakukan salah satu ritual asli suku Indian. Manusia abad dua puluh satu kemudian mengadaptasi ritual ini menjadi kegiatan yang dinamakan 'merokok'," terang Dakota, "aku memasukkan daun herbal pilihan ke dalam sini. Secara teknis, ini pipa cangklong yang aman dikonsumsi anak di bawah umur."
"Tapi ... entahlah, Grandpa. Ini tetap terasa salah di mataku. Mau bagaimanapun, aku tidak mau merokok." Tadashi bersikeras.
"Isaplah, dan latihan malam ini selesai. Kau bisa tidur lebih cepat dan datang ke sekolah tepat waktu," tegas Dakota.
Tadashi menatap lekat netra Dakota, tersirat keseriusan di dalam sana. Rasanya tidak mungkin sang kakek sampai mengajarinya merokok jika hal itu tidak bermanfaat untuknya. Dengan setengah hati, Tadashi meraih batang kayu berbulu elang di tangan kakeknya.
"This is awkward," ucap Tadashi pelan, "kakekku menyuruhku untuk merokok."
Mendengarnya, Dakota terkekeh. "Kau ingin segera tidur atau tidak?"
"Ah, baiklah." Buru-buru Tadashi mengarahkan pangkal pipa cangklong ke mulutnya, kemudian ia melirik sang kakek yang sedang menatapnya sejak tadi. "Grandpa, berhenti melihatku seperti itu! Aku merasa tidak nyaman!"
"Alright." Dakota mengalihkan pandangan ke arah lain. "Aku tidak akan melihat."
Tadashi menahan napas selama kurang lebih tiga detik sebelum melakukan perintah kakeknya. Pemuda itu menutup mata dan mulai menghirup pipa cangklong di tangannya, kemudian terbatuk-batuk ketika asap dari benda itu menusuk hidung dan kerongkongannya. Oh, Tuhan, ia merasa berdosa sudah menghakimi murid-murid nakal seumurannya yang sering diam-diam merokok di belakang sekolah. Sekarang, ia malah melakukan hal yang sama.
"Astaga, rasanya sangat aneh! Mengapa orang-orang terobsesi dengan rokok?" keluh pemuda setelah berhenti batuk. Ia membuka kembali kedua matanya.
"Tidak seburuk kelihatannya 'kan?" tanya Dakota.
"No! Bahkan rasanya lebih buruk dari kelihatannya!"
"Isaplah lagi! Biasakanlah dirimu!" perintah pria tua itu.
Meskipun sebal setengah mati, Tadashi menurut saja. Selama kira-kira sepuluh menit, pemuda beretnik asia-kaukasia itu berkali-kali menghirup dan mengembuskan ramuan herbal di pipa cangklong kuno milik kakeknya. Pada awalnya, ia tersiksa akibat aroma dedaunan terbakar yang menusuk hidung dan tenggorokannya, tetapi lama kelamaan terbiasa juga.
"Yeah, tidak buruk, aku mulai merasa menjadi—" Mendadak, Tadashi berhenti berbicara ketika melihat keanehan pada tubuh kakeknya. "Grandpa, wajahmu ...."
"Ada apa dengan wajahku?"
"Wajahmu ... memanjang, seperti ketika aku menarik permen karet yang sudah tidak memiliki rasa," ucapnya. Ya, Tadashi tidak bercanda. Ia melihat wajah kakeknya menjadi lebih lonjong, begitu pula dengan seluruh furnitur di kamar pria tua itu. Segalanya terasa melembek dan berputar. Pemuda bermata sipit itu mengerjap beberapa kali untuk menghilangkan halusinasinya, tetapi tidak berhasil.
"Grandpa, apa yang terjadi? Apa kau memasukkan obat-obatan terlarang ke dalam pipa cangklong ini?" gumamnya panik. Ia berdiri, tetapi sedetik kemudian limbung, merasa kesulitan untuk menopang bobot tubuhnya.
"Kembalilah duduk dan pejamkan matamu." Dakota menarik lengan cucunya untuk kembali duduk.
Tadashi menurut, tetapi kepanikan yang dirasakannya tidak kunjung hilang. Lingkungan sekitarnya semakin abstrak saja, dirinya seperti berada di dalam lukisan karya Edvard Munch. Pemuda itu nyaris kehilangan akal sehat ketika melihat lantai kamar sang kakek yang mendadak ditumbuhi rerumputan.
"Mengapa ada rumput di sini?" beonya lagi.
"Tutup matamu!" perintah Dakota.
"I can't! Aku tidak boleh mabuk! Tolong beri aku penawar dari herbal ini!" Tadashi mengguncang tubuh sang kakek yang semakin tidak berbentuk. Meskipun panik, pemuda itu merasakan kantuk yang luar biasa. Tidak, tidak persis seperti kantuk, pemuda itu merasakan tubuhnya seakan melayang. Selain rerumputan, kini pucuk tanaman juga muncul dari dalam lantai keramik, perlahan tumbuh menjadi pepohonan besar. Sekilas, Tadashi melihat sesuatu terbang melintasinya. Oh, astaga, apa itu tadi? Kupu-kupu?
"Pejamkan matamu," ujar Dakota pelan.
Akibat tak kuasa menahan sensasi aneh di tubuhnya, Tadashi menyerah, ia menutup kelopak matanya yang terasa berat. Ketika kegelapan hampa menguasainya, dirinya menjadi sedikit lebih tenang, debaran jantungnya melambat, napasnya kembali teratur seperti semula.
Dukung Dream Walker dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟
1 Agustus 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top